Melalui berbagai diskusi dan pengamatan lapangan, ada beberapa penyebab utama:
1. Ketidakpercayaan terhadap elit politik. Gen Z melihat politik sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan solusi.
2. Minimnya literasi politik di sekolah dan lingkungan sosial.
3. Tidak adanya tokoh atau calon yang dirasa mewakili visi mereka tentang masa depan.
4. Jargon-jargon politik yang tidak membumi dan tidak terhubung dengan realitas keseharian mereka.
5. Alergi terhadap simbolisme tanpa aksi nyata. Bagi mereka, tindakan lebih penting dari pidato.
Apatis atau Justru Kritis?
Pertanyaan pentingnya: apakah mereka benar-benar apatis? Atau justru kritis dalam diam?
Banyak dari Gen Z yang aktif menyuarakan isu iklim, keadilan sosial, digitalisasi pendidikan, atau kesehatan mental melalui media sosial. Namun, mereka enggan masuk ke dunia politik formal karena merasa bahwa politik tidak menyentuh isu-isu tersebut secara nyata. Mereka tidak buta arah mereka hanya tidak melihat arah dari sistem yang berjalan.
Pilkada Ulang, Momentum Edukasi Politik?
Pemilihan ulang kepala daerah di Bangka Belitung bisa menjadi momentum perubahan---jika dan hanya jika para aktor politik dan penyelenggara mau berpikir di luar kotak. Edukasi politik harus dilakukan dengan pendekatan baru: visual, digital, dan emosional. Gen Z tidak butuh janji. Mereka butuh narasi yang masuk akal dan bisa dirasakan.