Oleh : Aditya Pratama, S.E., M.M.
Dalam satu sesi wawancara yang saya lakukan beberapa waktu lalu di Kota Pangkalpinang, seorang mahasiswa semester akhir berkata dengan santai, "Kalau bisa milih kotak kosong aja, Bang. Capek milih tapi nggak ada yang ngasih dampak nyata." Ucapan itu mungkin terdengar sederhana, tetapi mengandung gejala besar yang tengah berkembang sebuah krisis kepercayaan politik yang menjalar ke generasi paling digital saat ini: Generasi Z.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tengah bersiap menghadapi pemilihan ulang kepala daerah, fenomena apatisme politik di kalangan Gen Z bukan sekadar asumsi. Ini adalah kenyataan sosial yang mengkhawatirkan. Semakin banyak dari mereka yang merasa jauh dari politik---bukan karena tidak cerdas, tetapi karena merasa sistem tidak lagi relevan dengan realitas hidup mereka.
Fenomena Nasional: Politik yang Terlalu Formal, Gen Z yang Terlalu Realistis
Sebuah infografis nasional menunjukkan bahwa:
53% Gen Z di Indonesia menyatakan tidak tertarik pada politik (Survei CSIS, 2022).
60% tidak pernah membaca kebijakan publik yang beredar di media.
Bahkan, 1 dari 3 Gen Z menyatakan lebih baik tidak memilih jika merasa tidak ada pilihan yang mewakili nilai mereka.
Di Bangka Belitung, kecenderungan ini makin terasa. Di luar aktivisme kampus atau organisasi keagamaan, sebagian besar anak muda tak merasa punya ruang, suara, atau kepentingan dalam proses politik yang ada.
Mengapa Mereka Memilih Diam?