Oleh: Aditya Pratama
Setiap menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), masyarakat Pangkalpinang seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tampak sepele, namun sebenarnya sarat makna: apakah kota ini disebut PKP atau PGK? Perbedaan dua singkatan ini tidak hanya muncul dalam obrolan santai di warung kopi atau media sosial, tapi juga dalam strategi branding politik, identitas sosial, bahkan hingga dokumen resmi.
Dari Mana Asal Kode PGK?
Secara administratif, kode PGK merupakan kode IATA (International Air Transport Association) untuk Bandar Udara Depati Amir yang melayani Kota Pangkalpinang. Kode ini digunakan dalam penerbangan, pengiriman barang, dan sistem informasi internasional. Dalam konteks global dan teknis, PGK lebih dikenal sebagai identifikasi Kota Pangkalpinang di dunia penerbangan dan logistik.
Namun di sisi lain, warga lokal lebih akrab dengan istilah PKP, singkatan dari "PangKalPinang". Singkatan ini dianggap lebih mewakili identitas lokal dan sering digunakan dalam penamaan komunitas, organisasi sosial, hingga branding UMKM.
Mengapa Selalu Jadi Perdebatan?
Perdebatan antara PGK dan PKP mencuat karena lebih dari sekadar persoalan teknis. Ini adalah simbol tarik-menarik antara identitas lokal dengan sistem nasional atau bahkan global. Menjelang Pilkada, isu ini kerap digunakan sebagai bagian dari pendekatan emosional oleh para calon pemimpin daerah---dengan maksud menunjukkan kedekatan mereka pada "wong kampung" atau justru menampilkan diri sebagai figur modern dan nasionalis.
Selain itu, ada anggapan bahwa penggunaan PGK lebih "elitis", karena diasosiasikan dengan sistem pemerintahan dan internasionalisasi, sementara PKP terasa lebih "merakyat". Perbedaan persepsi ini menjadikan singkatan kota sebagai medan simbolik yang potensial dijadikan alat politisasi.
Antara Formalitas dan Rasa Memiliki
Perbedaan ini mencerminkan adanya ketegangan antara struktur formal dan rasa memiliki komunitas terhadap identitas kota. Pemerintah dan institusi resmi kadang menggunakan PGK karena terintegrasi dalam sistem nasional dan internasional, sementara masyarakat mempertahankan PKP sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap birokratisasi identitas.