Mohon tunggu...
Aditya Muhammad
Aditya Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas

Saya adalah lulusan Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dari Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Saat ini, saya sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Andalas Padang, dan bekerja sebagai Public Relations di Universitas Negeri Padang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Industri Budaya di Era Digital dan Hegemoni Platform

19 Oktober 2025   18:51 Diperbarui: 19 Oktober 2025   18:50 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hegemoni PlatformSumber : Google.com 

Industri Budaya di Era Digital dan Hegemoni Platform

Kritik terhadap keberlangsungan industri budaya muncul pada abad ke-20 yang disampaikan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Adanya rasa khawatir yang kembali muncul terkait industri ini yang semakin kompleks, hanya saja pada saat kekhawatiran ini muncul dua ahli tersebut belum membayangkannya secara kompleks, seperti berperannya algoritma dalam dunia industri budaya sebagai bentuk baru dari kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi yang secara perlahan dapat mengontrol kesadaran individu setiap saat. Produksi budaya massal dahulunya diatur dan dijalankan oleh studio film, musik dan radio, namun di era digital itu berubah dengan menawarkan kepada pengguna platform untuk berkreasi secara mandiri. Mazhab Frankfurt dan teori hegemoni Antonio Gramsci, tulisan ini akan menjabarkan lebih dalam peran dan cara kerja platform seperti TikTok, Instagram dan Spotify, untuk menggambarkan sebuah proses standardisasi dan pseudoindividualisasi terus berlangsung dibawah kendali dan sistem kerja logika neoliberal.

Algoritma sebagai Puncak Standardisasi

Algoritma Sumber : Google.com
Algoritma Sumber : Google.com

Kritikan industri budaya yang dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer (2002) tentang produksi hiburan yang memiliki formula yang terstandar oleh kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Contohnya yaitu ketika studio film seperti Falcon Pictures, MD Entertainment dan Hollywood melahirkan suatu karya dan homogenisasi budaya yang tidak lagi mengutamakan pemikiran kritis namun melihat pangsa pasar sebagai ladang ekonomi dalam sebuah karya yang diutamakan dalam keadaan saat ini pada industri budaya. Perbedaan mendasar di era digital dengan era konvensionala adalah pada skala produksi dan kecepatan : dulu untuk menciptakan karya diperlukan riset yang lama sekarang hanya berdasarkan algoritma TikTok dalam waktu yang sangat singkat dapat menjangkau ratusan juga pengguna platformt tersebut. Kreator, rumah produksi film maupun artis jika ingin berkaya dan viral harus mengikuti pola algoritma sehingga karya yang diciptakan akan memiliki perbedaan antar kreator , missal untuk video tiga detik pertama adalah kunci untuk menarik para penonton.

Perbedaan dengan era Adorno mengenai standardisasi adalah adanya pola-pola produksi budaya tercipta tidak berdasarkan paksaan eksternal. Salah satu contohnya adalah pada platform musik yaitu Spotify yang menggambarkan kepada pengguna dalam industri musik. Menurut Prey (2018) menyatakan algoritma platform streaming menganalisa karakteristik dari jutaan lagu yang nantinya akan disukai oleh pengguna. Musisi yang ingin masuk playlist algoritmik seperti "Discover Weekly" harus menciptakan musik yang "algorithmically optimized": tidak terlalu eksperimental, harus memiliki hook yang kuat dalam 30 detik pertama. Eriksson dan kolega (2019) menyebut ini sebagai "Spotification" dari musik—proses di mana kreativitas artistik disesuaikan dengan preferensi algoritmik demi visibilitas dan revenue. Jadi, algoritma bukan hanya menstandardisasi produk budaya, tetapi juga proses kreativitas itu sendiri, selera audiens, dan bahkan struktur kognitif kita.

Ilusi Personalisasi: Pseudoindividualisasi dalam Kurasi Algoritmik Adorno dan Horkheimer (2002) memperkenalkan konsep pseudoindividualisasi untuk menggambarkan bagaimana industri budaya menciptakan ilusi keunikan melalui variasi superfisial. Platform digital menghadirkan pseudoindividualisasi dalam bentuk yang jauh lebih canggih melalui apa yang mereka sebut sebagai "kurasi personal." Mari kita ambil contoh konkret: fenomena "aesthetic" di Instagram. Duffy dan Meisner (2023) menganalisis bagaimana pengguna merasa mengekspresikan identitas unik mereka melalui pilihan aesthetic tertentu—"dark academia," "cottagecore," "clean girl aesthetic." Pada pandangan pertama, ini tampak seperti ekspresi individuality yang genuine. Namun realitasnya, setiap aesthetic ini adalah paket yang sudah terst andardisasi dengan sangat ketat. "Dark academia" memiliki aturan tidak tertulis namun rigid: filter harus warm dengan exposure rendah, props harus mencakup buku klasik, outfit harus mencakup sweater oversized. Jika Anda menyimpang dari formula ini, konten Anda tidak akan masuk ke hashtag #DarkAcademia dan tidak akan mendapat engagement dari komunitas tersebut. Algoritma Instagram memperkuat standardisasi ini.

Platform sebagai Arena Hegemoni 

Platform Digital Sumber : Google.com
Platform Digital Sumber : Google.com

Antonio Gramsci (1971) mengembangkan konsep hegemoni untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan kelas dominan dipertahankan melalui produksi konsensus dalam masyarakat sipil. Platform media digital menjelma sebagai salah satu arena paling krusial untuk perebutan hegemoni, dengan karakteristik yang paradoxical: mereka menjadi alat untuk mereproduksi hegemoni neoliberal, namun juga membuka kemungkinan untuk artikulasi counter-hegemonic. Instagram beroperasi sebagai mesin produksi dan normalisasi gaya hidup konsumeris yang sangat sophisticated.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun