Mohon tunggu...
Aditya Epriansah
Aditya Epriansah Mohon Tunggu... Guru

Menulis adalah cara sederhana untuk mengabadikan pikiran, sebelum waktu menghapusnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengorbankan Diri di Altar Orang Lain: Ketika Memberi Menjadi Sebuah Jerat

2 September 2025   08:00 Diperbarui: 2 September 2025   09:39 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

JAKARTA --- Dalam budaya yang mengagungkan pengorbanan dan kesalehan sosial, tindakan "memberi" seringkali ditempatkan pada posisi yang mulia. Namun, ada sebuah titik di mana sifat altruistik itu berubah menjadi sebuah paradoks yang membelenggu: ketika keinginan untuk membahagiakan orang lain begitu dominan, hingga keinginan atas diri sendiri bukan saja terlupakan, tetapi juga dianggap sebagai sebuah kesalahan. Fenomena ini menciptakan sebuah krisis identitas yang sunyi, di mana seseorang hanya merasa berharga saat menjadi pilar bagi orang lain, dan merasa bersalah ketika mendengar suara hatinya sendiri yang meminta untuk diperhatikan.

Psikolog klinis, Dra. A. Kasandra Putranto, dalam sebuah webinar tentang kesehatan mental, menyoroti batas tipis antara membantu secara sehat dan pengorbanan diri yang merusak.

"Perilaku membantu menjadi tidak sehat ketika itu dilakukan secara kompulsif, dengan mengorbankan kesejahteraan diri sendiri, dan didorong oleh kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan atau menghindari perasaan bersalah. Ini seringkali berakar pada pola asuh atau keyakinan bahwa 'nilai saya hanya ditentukan oleh apa yang bisa saya berikan kepada orang lain'," jelas Kasandra.

Dalam kondisi ini, tindakan "memberi" tidak lagi lahir dari rasa empati yang otentik, melainkan dari sebuah keharusan yang penuh tekanan. Setiap keinginan pribadi yang muncul seperti ingin istirahat, ingin mengejar hobi, atau sekadar mengatakan "tidak" langsung dibungkam oleh suara internal yang keras: "Egois."

Mekanisme ini menciptakan sebuah siklus yang destruktif:

  • Trigger: Munculnya keinginan atau kebutuhan pribadi.

  • Respons Internal: Perasaan bersalah, malu, dan menganggap diri "egois".

  • Kompensasi: Melakukan lebih banyak pengorbanan untuk menebus "kesalahan" tersebut.

  • Kelelahan Emosional: Habisnya energi fisik dan mental, leading to burnout, kecemasan, atau depresi.

Lambat laun, individu tersebut benar-benar kehilangan kontak dengan dirinya sendiri. Mereka tidak lagi tahu apa yang mereka sukai, apa yang mereka impikan, atau bahkan apa yang mereka rasakan. Identitas mereka seluruhnya terdefinisi oleh peran yang mereka jalani untuk orang lain: si penyelamat, si pengurus, si sandaran.

Fenomena ini tidak terjadi dalam vakum. Ia seringkali dipupuk oleh nilai-nilai budaya yang menempatkan kepentingan kolektif di atas individu secara ekstrem, tanpa keseimbangan. Untuk memutus siklus ini, langkah pertama dan terberat adalah mengakui bahwa pengorbanan tanpa batas adalah sebuah masalah, bukan sebuah virtue.

"Memiliki keinginan dan kebutuhan adalah hal yang manusiawi, bukan sebuah kejahatan. Belajar untuk menetapkan batasan (boundary) yang sehat bukanlah tindakan egois, melainkan bentuk tanggung jawab atas kesejahteraan diri sendiri. Hanya dengan diri yang 'utuh' dan terpenuhi kebutuhannya, kita bisa benar-benar hadir dan membantu orang lain dengan tulus dan berkelanjutan," tambah Kasandra.

Proses pemulihannya adalah proses belajar untuk kembali mendengarkan dan memvalidasi suara diri sendiri. Itu bisa dimulai dari hal kecil: berani menolak permintaan, meluangkan waktu "me-time" tanpa rasa bersalah, atau meminta bantuan. Terapi psikologis seringkali diperlukan untuk membongkar keyakinan dasar yang sudah tertanam sangat dalam.

Pengorbanan yang sejati tidak seharusnya mensyaratkan penghapusan diri. Ada perbedaan besar antara memberi yang lahir dari kelimpahan hati dan memberi yang lahir dari rasa takut dan kekurangan. Mencintai orang lain dan bertanggung jawab pada kebahagiaan mereka adalah sebuah kebajikan, tetapi bukanlah sebuah kewajiban mutlak yang harus dibayar dengan mengorbankan kemanusiaan dan hakikat diri sendiri.

Belajar untuk ramah pada diri sendiri bukanlah pengkhianatan terhadap orang lain, melainkan sebuah rekonsiliasi dengan bagian diri yang paling otentik yang telah lama terabaikan. Pada akhirnya, kita tidak bisa menuangkan air dari cangkir yang kosong.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun