Selama bertahun-tahun, masyarakat modern telah percaya bahwa ilmu dan agama adalah satu sama lain. Agama ditempatkan dalam ruang spiritual yang dianggap subjektif, sedangkan ilmu dianggap netral, rasional, dan empiris. Ilmuwan sosial positivis, yang sejak awal menolak nilai dalam sains sosial, mendukung asumsi ini.
Apakah mungkin untuk memahami dan mengendalikan masyarakat tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan, moral, dan spiritual? Pendekatan ilmu sosial tanpa nilai tampaknya tidak lagi relevan di tengah dunia yang semakin kompleks dan dilanda krisis sosial seperti hoaks, intoleransi, dan kemiskinan struktural. Di sinilah Kuntowijoyo menghidupkan kembali konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP).
Ilmu Sosial Profetik: Ilmu yang Bernilai
Kuntowijoyo menawarkan gagasan Ilmu Sosial Profetik dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) sebagai cara untuk mengkritik ilmu sosial Barat yang tidak memiliki nilai. Dia percaya bahwa ilmu sosial harus mengikuti etika. Tidak hanya memberikan penjelasan tentang fenomena sosial, tetapi juga memberikan garis besar tentang ke mana masyarakat seharusnya bergerak.
Tiga nilai dasar ISP:
Transendensi (tu'minuna billah) mengaitkan sains dengan nilai ilahiyahÂ
Humanisasi (amar ma'ruf) memanusiakan manusiaÂ
Liberasi (nahi munkar) membebaskan dari penindasan.
Ketiga prinsip ini sebenarnya berasal dari misi kenabian, yang disebutkan dalam QS. Ali Imran ayat 110:
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh yang baik, mencegah yang buruk, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)
Konsep ini menggabungkan ilmu dan iman dan menjadikan sains sebagai alat untuk mengubah masyarakat. ISP telah menjadi sangat penting dalam menangani masalah saat ini, terutama berkaitan dengan etika verifikasi informasi (tabayyun).