Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Harga Dan Strategi China Menguasai Perdagangan Dunia

10 Oktober 2025   17:09 Diperbarui: 10 Oktober 2025   17:09 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Data dari WTO (2023) menegaskan posisi ini:

China menguasai 14,4% ekspor global barang manufaktur, tertinggi di dunia, meninggalkan Amerika Serikat (8,4%) dan Jerman (7,7%).

Artinya, dunia tidak hanya membeli karena murah, tapi juga karena produk mereka memenuhi ekspektasi "toleransi harga dan mutu" masyarakat global.

Pelajaran bagi Industri Nasional

Indonesia ,dan banyak negara berkembang lain  sering terjebak di dua kutub ekstrem, ingin membuat produk premium tapi kalah teknologi atau menjual barang murah tapi tanpa strategi efisiensi yang berkelanjutan.

Padahal, China menunjukkan jalan tengah: sesuaikan produk dengan daya beli mayoritas masyarakat, tapi tetap jaga nilai guna dan pengalaman pelanggan.

Jika Indonesia bisa meniru strategi ini dengan pendekatan lokal --- misalnya pada industri UMKM, produk digital, atau manufaktur ringan --- bukan tidak mungkin kita bisa mengambil ceruk pasar yang sama luasnya.

Toleransi Harga, Bukan Sekadar Murah

Toleransi harga bukan trik murahan. Ia adalah strategi memahami psikologi ekonomi konsumen global. China berhasil karena tidak menilai konsumen dari kantongnya, tapi dari keseharian hidupnya: apa yang mereka sanggupi, apa yang mereka butuhkan, dan berapa harga yang membuat mereka tetap tersenyum.

Dengan memahami batas-batas "toleransi harga", China bukan hanya menjual produk, tapi membeli kepercayaan konsumen dunia . Dan itulah alasan mereka kini duduk di puncak rantai perdagangan global.

Apakah industri kita siap berhenti menjual "impian mahal" dan mulai memahami kemampuan nyata Masyarakat, sebagaimana China membaca denyut nadi pasar dunia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun