Data dari WTO (2023) menegaskan posisi ini:
China menguasai 14,4% ekspor global barang manufaktur, tertinggi di dunia, meninggalkan Amerika Serikat (8,4%) dan Jerman (7,7%).
Artinya, dunia tidak hanya membeli karena murah, tapi juga karena produk mereka memenuhi ekspektasi "toleransi harga dan mutu" masyarakat global.
Pelajaran bagi Industri Nasional
Indonesia ,dan banyak negara berkembang lain  sering terjebak di dua kutub ekstrem, ingin membuat produk premium tapi kalah teknologi atau menjual barang murah tapi tanpa strategi efisiensi yang berkelanjutan.
Padahal, China menunjukkan jalan tengah: sesuaikan produk dengan daya beli mayoritas masyarakat, tapi tetap jaga nilai guna dan pengalaman pelanggan.
Jika Indonesia bisa meniru strategi ini dengan pendekatan lokal --- misalnya pada industri UMKM, produk digital, atau manufaktur ringan --- bukan tidak mungkin kita bisa mengambil ceruk pasar yang sama luasnya.
Toleransi Harga, Bukan Sekadar Murah
Toleransi harga bukan trik murahan. Ia adalah strategi memahami psikologi ekonomi konsumen global. China berhasil karena tidak menilai konsumen dari kantongnya, tapi dari keseharian hidupnya: apa yang mereka sanggupi, apa yang mereka butuhkan, dan berapa harga yang membuat mereka tetap tersenyum.
Dengan memahami batas-batas "toleransi harga", China bukan hanya menjual produk, tapi membeli kepercayaan konsumen dunia . Dan itulah alasan mereka kini duduk di puncak rantai perdagangan global.
Apakah industri kita siap berhenti menjual "impian mahal" dan mulai memahami kemampuan nyata Masyarakat, sebagaimana China membaca denyut nadi pasar dunia?