Mereka membuat barang, mengikuti kemampuan membeli calon konsumennya  . Bukan memaksakan konsumen  untuk membeli barang berkualitas bagus. Tetapi memberatkan pengeluaran para konsumen.
Â
China tidak sekadar menekan harga, tapi mengatur seluruh rantai produksi agar sesuai daya beli pasar. Caranya antara lain , Mereka memproduksi massal untuk menurunkan biaya satuan (economies of scale). Mereka menekan margin keuntungan per produk, tapi mengandalkan volume penjualan. Mereka menciptakan "kelas harga" untuk tiap negara tujuan ekspor.
Contohnya, menurut laporan Statista (2023), harga produk elektronik buatan China di pasar Asia Tenggara rata-rata 20--30% lebih murah dibandingkan produk dari Jepang atau Korea Selatan, dengan fitur yang hampir setara. Mereka tahu, bagi konsumen dengan pendapatan terbatas, "cukup baik dan murah" lebih menarik daripada "sempurna tapi mahal".
Dari Toleransi Harga ke Toleransi Mutu
Harga produk yang sudah disesuaikan dengan toleransi harga dari konsumen akan menghasilkan toleransi mutu. Ketika harga sudah dianggap murah, konsumen tidak lagi terlalu menuntut daya tahan produk. Mereka tidak marah atau mengeluhkan ketika barang rusak setelah setahun --- malah cenderung membeli lagi. Terlebih jika harga barang barang tadi dikategorikan murah, tapi dengan fitur melimpah.
Lihat saja di pasar lokal: kipas angin, blender, atau lampu LED murah asal China tetap laris meski konsumen tahu barang itu "tidak awet". Dalam survei NielsenIQ (2022), 68% konsumen Indonesia menyebut harga murah dan kemudahan mendapatkan produk lebih penting dibanding umur pakai.
Bagi China, kepuasan bukan berarti barang tahan 10 tahun, tapi barang yang bisa terus dibeli ulang tanpa beban finansial berat. Sebuah filosofi ekonomi yang sangat membumi.
Â
Standar Mutu yang Diterima Dunia
Sekarang, produk China bukan lagi sinonim dari "murahan". Mereka belajar menyesuaikan mutu dengan segmen pasar. Untuk pasar Afrika, mereka fokus pada ketahanan harga. Untuk Eropa, mereka memoles desain dan standar keamanan.