Penalaran bayani memiliki sejumlah kekuatan, antara lain:
Menjaga kemurnian ajaran dengan berpegang teguh pada sumber otentik.
Membangun sistem hukum Islam yang jelas dan sistematis.
Menjamin kepastian norma bagi kehidupan sosial-keagamaan umat Islam.
Menanamkan disiplin metodologis melalui kaidah bahasa dan usul fikih.
Keterbatasan Penalaran Bayani
Meski penting, penalaran bayani juga memiliki keterbatasan. Pertama, kecenderungan tekstual membuatnya kurang responsif terhadap perubahan sosial yang cepat. Kedua, dominasi otoritas ulama dapat membatasi kreativitas ijtihad. Ketiga, penalaran bayani sering dianggap kurang mampu menjawab isu-isu kontemporer seperti demokrasi, HAM, atau bioetika.
Abid al-Jabiri mengkritik kecenderungan ini dan mendorong integrasi dengan penalaran burhani (rasional) serta irfani (intuitif). Menurutnya, hanya dengan keseimbangan antara ketiganya, epistemologi Islam dapat kembali berperan dalam menjawab tantangan modern.
Relevansi Kontemporer
Di era globalisasi, penalaran bayani tetap relevan karena menjaga keterhubungan umat dengan teks suci. Namun, ia tidak dapat berdiri sendiri. Dalam praktik hukum Islam, misalnya, pendekatan bayani digunakan untuk menggali hukum dari teks, sementara pendekatan burhani diperlukan untuk memahami konteks sosial, dan pendekatan irfani dibutuhkan untuk menanamkan nilai spiritual.
Dengan integrasi tersebut, penalaran bayani dapat terus berfungsi sebagai fondasi normatif yang kokoh tanpa kehilangan relevansinya dalam kehidupan modern.
Penutup