Pendahuluan dan latar belakang : Perkawinan merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28B UUD 1945, dan menjadi ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang sangat terkait dengan ajaran agama. Di Indonesia, keberagaman agama menimbulkan fenomena perkawinan beda agama yang semakin nyata, meskipun tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan. Praktik ini sering kali menimbulkan masalah hukum, khususnya menyangkut status anak hasil perkawinan beda agama dalam konteks waris. Dalam KUHPerdata, warisan didasarkan pada hubungan darah, tanpa melihat agama, sehingga anak dari perkawinan beda agama tetap berhak atas warisan. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perbedaan agama menjadi penghalang dalam pewarisan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 171 huruf (c) KHI yang mensyaratkan pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama Islam. Ketidaksesuaian ini memicu perdebatan yuridis, terutama ketika ahli waris dan pewaris berbeda agama, sehingga hak anak dalam memperoleh warisan menjadi problematik. Fenomena ini menggambarkan ketegangan antara nilai pluralisme yang berkembang di masyarakat dan norma-norma hukum Islam yang berlaku secara formal. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis lebih dalam bagaimana hak waris anak dari perkawinan beda agama diatur dalam dua sistem hukum yang berbeda---KUHPerdata dan KHI---serta menelusuri alasan yuridis yang digunakan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk menghalangi pewarisan karena perbedaan agama.Â
Rumusan masalah dan tujuan  : Permasalahan hukum waris bagi anak yang lahir dari perkawinan beda agama merupakan isu yang kompleks dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia. Di satu sisi, hukum perdata mengakui hak waris berdasarkan hubungan darah, tanpa mempermasalahkan perbedaan agama. Namun di sisi lain, hukum Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang seseorang untuk menerima warisan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi anak yang lahir dari pasangan beda agama. Dalam kenyataan masyarakat yang majemuk, fenomena keluarga dengan latar belakang agama berbeda bukanlah hal asing, dan ini menimbulkan tantangan yuridis yang perlu dianalisis secara mendalam. Penelitian ini bertujuan menjawab persoalan tentang bagaimana kedudukan hukum anak dalam memperoleh warisan ketika orang tuanya berasal dari agama yang berbeda. Untuk memperjelas arah dan batasan analisis, penulis merumuskan dua pokok masalah utama. Pertama, bagaimana hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama ditinjau dari dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedua, apa alasan yuridis yang menjadi dasar penghalang hak waris tersebut menurut KHI.
Rumusan masalah tersebut penting untuk menjawab kekosongan norma yang belum secara tegas diatur dalam undang-undang, terutama mengenai nasib hukum anak dari perkawinan beda agama. Sering kali anak dari perkawinan beda agama mengalami ketidakpastian dalam pembagian warisan karena perbedaan interpretasi antara sistem hukum yang berlaku. Dalam hukum perdata, Pasal 832 KUHPerdata memberikan hak waris kepada semua anak sah, tanpa mempertimbangkan agama. Namun, dalam KHI, Pasal 171 huruf (c) menegaskan bahwa ahli waris dan pewaris harus beragama Islam. Oleh karena itu, anak dari pasangan beda agama dapat kehilangan haknya jika ia berbeda agama dengan pewaris.
 Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana hukum waris menurut KUHPerdata dan KHI mengatur hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Kedua, untuk menjelaskan landasan yuridis yang menyebabkan adanya penghalang waris dalam hukum Islam terhadap anak yang berbeda agama dengan pewaris. Tujuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman hukum yang lebih adil dan menjembatani kesenjangan antara kebutuhan masyarakat majemuk dengan sistem hukum yang masih dualistik.Dengan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini ingin menelusuri secara doktrinal dan konseptual bagaimana hukum memandang hak waris anak dari perkawinan beda agama. Penelitian ini tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga secara praktis, karena hasilnya dapat digunakan oleh masyarakat umum, pembuat kebijakan, serta mahasiswa hukum untuk memahami lebih dalam permasalahan waris dalam konteks pluralitas agama. Di tengah meningkatnya angka perkawinan beda agama, analisis semacam ini sangat relevan dan dibutuhkan dalam proses pembentukan hukum yang lebih inklusif di masa mendatang.Â
Metode penelitian dan tinjauan pustaka Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengkaji bahan pustaka atau data sekunder sebagai sumber utama. Tujuannya adalah untuk menemukan norma hukum, asas, dan doktrin hukum yang berkaitan dengan persoalan waris bagi anak hasil perkawinan beda agama. Pendekatan ini cocok karena penelitian bersifat teoritis, bukan empiris. 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif-analitis, artinya menjelaskan secara sistematis dan menyeluruh tentang norma-norma hukum waris dalam KUHPerdata dan KHI, serta menganalisis keterkaitannya dengan status anak dari perkawinan beda agama. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data adalah data sekunder, yang dibagi menjadi: Bahan hukum primer, seperti UUD 1945, KUHPerdata, KHI, UU Perkawinan, Instruksi Presiden, dan Fatwa MUI. Â Bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku, jurnal, dan artikel ilmiah terkait hukum waris dan perkawinan beda agama. Bahan hukum tersier, berupa kamus hukum dan ensiklopedia untuk memperkuat pemahaman istilah hukum.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dikumpulkan melalui studi pustaka, yaitu pengumpulan informasi dari dokumen-dokumen hukum dan referensi ilmiah lainnya. Kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan metode deduktif: menarik kesimpulan dari prinsip hukum umum ke kasus khusus yang dibahas. Tinjauan pustaka dalam skripsi ini mencakup pembahasan mendalam tentang konsep-konsep dasar yang menjadi fondasi dalam menganalisis permasalahan hak waris anak dari perkawinan beda agama. Ruang lingkupnya dibagi menjadi beberapa bagian: 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam, perkawinan disebut mitsaqan ghalidzan (akad yang kuat) dan bertujuan mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. 2. Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama tidak diatur secara eksplisit dalam UU Perkawinan, namun Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Ini menyebabkan perkawinan beda agama sulit diakui secara hukum. Meskipun terjadi di masyarakat, status hukum anak dan akibat hukumnya masih diperdebatkan. Fatwa MUI No. 4/MUNAS VII/MUI/2005 menegaskan bahwa perkawinan beda agama tidak sah dan haram. Selain itu, SEMA No. 2 Tahun 2023 juga menginstruksikan agar hakim tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
 Tinjauan Waris dalam Perspektif KUHPerdata dan Hukum Islam
1. Waris Menurut KUHPerdata KUHPerdata tidak mempertimbangkan perbedaan agama dalam hal waris. Pasal 832 menyatakan bahwa ahli waris adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau perkawinan sah, sehingga anak dari perkawinan beda agama tetap memiliki hak mewaris, tanpa diskriminasi agama. 2. Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Sebaliknya, KHI, khususnya Pasal 171 huruf (c), mengharuskan pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam. Dalam Islam, perbedaan agama merupakan penghalang mutlak (hijab) dalam warisan. Hadis Rasulullah SAW menyatakan: "Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi Muslim." Oleh karena itu, anak yang berbeda agama dengan pewaris Muslim dianggap tidak berhak mewaris.Namun demikian, untuk menghindari ketidakadilan, diterapkan solusi berupa wasiat wajibah kepada anak yang tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris karena perbedaan agama. Wasiat wajibah adalah pemberian maksimal sepertiga harta yang ditetapkan oleh hakim untuk menjamin keadilan dan rasa kemanusiaan.Â
Analisis hukum waris menurut KUHPerdataÂ
Hukum waris dalam KUHPerdata termasuk dalam ranah hukum perdata barat (BW) yang mengatur peralihan hak atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia. Pewarisan dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II, mulai dari Pasal 830 hingga Pasal 1130. KUHPerdata mengenal dua bentuk pewarisan, yaitu: 1. Ab intestato (berdasarkan undang-undang), dan 2. Testamentair (berdasarkan surat wasiat). Syarat terjadinya pewarisan menurut KUHPerdata adalah: (1) adanya pewaris yang telah meninggal dunia; (2) adanya ahli waris yang masih hidup saat pewaris meninggal; dan (3) adanya harta peninggalan. Hak mewaris bersifat kebendaan, yang berarti ahli waris memiliki hak atas benda atau kekayaan si pewaris. Pasal 584 KUHPerdata menyatakan bahwa warisan adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas kebendaan. KUHPerdata mengatur dua kategori ahli waris: Ahli waris ab intestato, yaitu mereka yang ditentukan berdasarkan hubungan darah atau perkawinan, tanpa adanya surat wasiat. Ahli waris testamentair, yaitu yang ditunjuk dalam surat wasiat. Golongan ahli waris ab intestato dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan derajat kedekatan: 1. Golongan I: Anak-anak sah atau yang diakui, termasuk anak angkat yang diangkat sah oleh pengadilan, serta suami/istri yang hidup lebih lama. 2. Golongan II: Orang tua dan saudara kandung. 3. Golongan III: Kakek dan nenek. 4. Golongan IV: Paman, bibi, sepupu dari kedua pihak orang tua. Jika terdapat ahli waris dari golongan lebih tinggi, maka golongan di bawahnya gugur haknya. Tidak terdapat perbedaan gender atau urutan kelahiran dalam pembagian waris.Â
KUHPerdata juga menjelaskan kondisi-kondisi yang dapat menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris, yaitu apabila: Melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap pewaris, Mengajukan pengaduan fitnah terhadap pewaris, Menghalangi pewaris dalam membuat atau mencabut surat wasiat, Menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris. Tindakan-tindakan tersebut diatur lebih lanjut dalam KUHPidana, khususnya Pasal 338 hingga 340 tentang pembunuhan, serta pasal-pasal lainnya yang terkait kejahatan terhadap pewaris. KUHPerdata juga mengatur mengenai hak penggantian (plaatsvervulling) yang diberikan kepada keturunan dari ahli waris yang tidak layak atau telah meninggal terlebih dahulu. Hal ini diatur dalam Pasal 840--842 KUHPerdata. Misalnya, jika seorang ayah tidak layak mewaris karena pembunuhan, maka anaknya tetap dapat menggantikan posisi sebagai ahli waris. Secara historis, pemberlakuan hukum waris dalam KUHPerdata ditentukan oleh Staatsblad: Staatsblad 1925 No. 145 jo. 447: berlaku bagi orang Eropa. Staatsblad 1917 No. 129 jo. 1924 No. 557: untuk Timur Asing Tionghoa. Staatsblad 1917 No. 12: memberi kemungkinan bagi warga pribumi untuk tunduk secara sukarela pada hukum waris Eropa. Oleh sebab itu, KUHPerdata secara eksplisit tidak melarang atau membatasi ahli waris berdasarkan agama, termasuk dalam kasus anak dari perkawinan beda agama. Namun demikian, tidak adanya ketentuan eksplisit tentang perbedaan agama membuka ruang perdebatan dalam praktik hukum waris di masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini menjadi latar belakang penting untuk menganalisis bagaimana hak mewaris anak dari perkawinan beda agama dapat diakui dan dilindungi dalam sistem hukum nasional yang pluralistik.Â
Analisis Hukum Waris Menurut Kompilasi Hukum IslamÂ
1. Konsep Dasar Hukum Waris Islam Hukum waris Islam di Indonesia secara normatif diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan kodifikasi hukum Islam non-formal dan menjadi acuan utama dalam penyelesaian waris bagi umat Islam. Dalam hukum Islam, warisan adalah pemindahan hak milik atas harta peninggalan pewaris kepada ahli waris yang sah. KHI mendefinisikan ahli waris sebagai orang yang saat pewaris meninggal dunia memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. 2. Asas-Asas Waris dalam Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam mengenal beberapa asas penting dalam sistem kewarisan, antara lain: Asas Bilateral (Parental): Tidak membedakan antara kerabat dari garis ayah atau ibu. Asas Individual: Warisan dibagikan kepada individu, bukan kelompok atau keluarga. Asas Ijab Qabul: Pembagian warisan dilakukan setelah adanya kesepakatan atau ijab kabul dari semua pihak yang berhak. Asas Keadilan Relatif: Pembagian disesuaikan dengan ketentuan syar'i dan mempertimbangkan nilai keadilan dalam keluarga. Asas-asas ini mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Misalnya, meskipun anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih banyak dari anak perempuan, hal ini dianggap adil karena kewajiban finansial keluarga berada pada laki-laki. 3. Syarat dan Sebab Waris Menurut KHI Untuk menjadi ahli waris, seseorang harus memenuhi dua syarat utama: Pewaris telah meninggal dunia. Adanya hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Sementara sebab-sebab yang melahirkan hak waris mencakup: Hubungan darah Hubungan perkawinan Adanya pengangkatan anak (dalam konteks wasiat wajibah) Namun, terdapat penghalang warisan, di antaranya: Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Pembunuhan terhadap pewaris oleh calon ahli waris. Keterlibatan dalam kejahatan tertentu terhadap pewaris. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa "tidak mewarisi seorang Muslim dari orang kafir, dan tidak pula orang kafir dari Muslim," menjadi dasar utama dalam penghalang perbedaan agama. 4. Pembagian Waris Berdasarkan KHI Menurut KHI, ahli waris dibagi ke dalam dua golongan: Ahli Waris berdasarkan hubungan darah, misalnya: anak, orang tua, saudara, kakek-nenek. Ahli Waris berdasarkan hubungan perkawinan, yakni suami atau istri. Jika terdapat semua ahli waris, yang berhak menerima bagian waris hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda (Pasal 174 KHI). KHI juga mengatur ahli waris pengganti melalui Pasal 185, yang menyatakan bahwa jika seorang ahli waris meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka haknya dapat digantikan oleh keturunannya. Namun, bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari yang digantikan. 5. Wasiat Wajibah sebagai Solusi Perbedaan Agama Untuk menjembatani ketentuan penghalang karena beda agama, KHI menyediakan konsep wasiat wajibah. Konsep ini memberikan hak kepada anak angkat atau ahli waris non-Muslim dalam bentuk wasiat paksa meskipun tidak disebutkan dalam surat wasiat. Pasal 209 KHI mengatur bahwa orang tua angkat yang tidak memperoleh bagian warisan dari anak angkat, diberi hak berupa wasiat wajibah sebesar paling banyak 1/3 dari harta warisan. Ketentuan ini diadopsi oleh pengadilan dalam banyak kasus pewarisan beda agama sebagai alternatif solusi yang adil dan konstitusional. 6. Implikasi terhadap Anak dari Perkawinan Beda Agama Dalam konteks anak dari perkawinan beda agama, apabila anak tersebut beragama Islam dan orang tuanya yang meninggal juga Islam, maka anak tersebut berhak menerima warisan. Namun, apabila pewaris berbeda agama dengan ahli waris (misalnya pewaris Muslim dan anak non-Muslim), maka anak tidak berhak menerima warisan secara langsung. Namun demikian, melalui pendekatan keadilan substantif, Mahkamah Agung dan sejumlah pengadilan telah mulai membuka ruang penerapan wasiat wajibah untuk anak beda agama sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai keadilan dan perlindungan anak.Â
Dasar Hukum Penghalang Waris dalam IslamÂ
Dalam hukum Islam, waris diatur berdasarkan prinsip keimanan dan kesatuan akidah. Salah satu prinsip penting adalah bahwa agama menjadi syarat sahnya hubungan pewarisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara eksplisit menyebutkan hal ini dalam Pasal 171 huruf (c), yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama Islam. Ketentuan ini bukan hanya bersifat administratif, melainkan berakar dari dasar syar'i. Dalil penghalang waris karena perbedaan agama juga ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam." (HR. Bukhari dan Muslim) Dari hadits ini, dapat dipahami bahwa perbedaan agama merupakan penghalang mutlak (hijab al-mani') dalam pewarisan menurut hukum Islam. Artinya, anak yang tidak seagama dengan pewaris tidak dapat menerima harta warisan secara hukum Islam.Â
Konsekuensi Perbedaan Agama dan Pandangan YuridisÂ
Perbedaan agama dipandang sebagai penghalang karena dianggap menggugurkan prinsip wala' (loyalitas keagamaan) dalam hubungan kekeluargaan Islam. Dalam sistem hukum waris Islam, hubungan darah tidak cukup bila tidak didasari oleh kesamaan akidah. Oleh sebab itu, meskipun anak adalah keturunan sah, bila berbeda agama dengan orang tua yang meninggal, ia tidak berhak menerima warisan menurut fikih maupun KHI. Pandangan ini dikuatkan oleh: Fatwa MUI No. 5/MUNAS VII/2005, yang menyatakan bahwa ahli waris non-Muslim tidak dapat mewarisi dari pewaris Muslim. SEMA No. 2 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa pengadilan tidak dapat mencatat perkawinan beda agama, karena tidak sah menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Namun dalam praktik, muncul konflik antara hukum normatif Islam dan nilai keadilan substantif, terutama ketika anak-anak tersebut tetap membina hubungan baik dengan orang tua Muslimnya. Pengadilan kemudian mencari solusi hukum lain seperti wasiat wajibah.Â
Wasiat Wajibah sebagai Jalan TengahÂ
Meskipun ahli waris beda agama secara fikih tidak dapat menerima warisan, dalam praktik yurisprudensi di Indonesia, konsep wasiat wajibah digunakan sebagai solusi moderat. Konsep ini memberi ruang bagi anak (atau kerabat) beda agama untuk menerima sebagian harta peninggalan, bukan sebagai waris tetapi sebagai penerima wasiat yang diwajibkan oleh hakim. Menurut Pasal 209 ayat (2) KHI: "Terhadap anak angkat yang tidak mendapat warisan dari orang tua angkatnya, dapat diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya." Melalui analogi, ketentuan ini kemudian diperluas untuk kasus anak beda agama, terutama dalam praktik Mahkamah Agung. Contohnya: Putusan MA No. 368 K/AG/1995 Putusan MA No. 51 K/AG/1999 Putusan-putusan tersebut menunjukkan bahwa hakim menggunakan asas keadilan dan kemanusiaan untuk memberikan harta melalui wasiat wajibah meskipun perbedaan agama menjadi penghalang waris secara normatif.Â
Realitas Sosial dan Urgensi Reformulasi HukumÂ
Masyarakat Indonesia yang plural menyebabkan munculnya banyak keluarga lintas agama. Anak dari perkawinan beda agama sering kali tetap memiliki loyalitas, kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap orang tua, meskipun agamanya berbeda. Dalam konteks ini, menolak mereka secara mutlak dari hak terhadap harta orang tuanya berpotensi menimbulkan ketidakadilan substantif. Maka, meskipun penghalang waris karena beda agama tetap berlaku secara formil, praktik pengadilan di Indonesia mulai membuka pintu kepada solusi berbasis keadilan progresif. Konsep wasiat wajibah dan interpretasi progresif terhadap Pasal 209 KHI menjadi bentuk akomodasi terhadap perubahan sosial yang dinamis. Namun, agar tidak terjadi konflik antar norma hukum, reformulasi aturan waris yang lebih kontekstual dan adaptif sangat dibutuhkan, baik melalui revisi KHI, fatwa MUI yang lebih terbuka, atau putusan pengadilan yang berpihak pada prinsip keadilan dan perlindungan anak.Â
Kesimpulan dan saranÂ
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam skripsi ini, dapat disimpulkan beberapa poin penting terkait hak waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama: 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): Hukum waris perdata tidak mengatur syarat agama dalam hubungan pewarisan. Asas yang digunakan adalah hubungan darah atau perkawinan sah. Pasal 832 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua anak sah (tanpa memperhatikan agama) berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya. Dengan demikian, anak yang lahir dari perkawinan beda agama tetap memiliki hak waris selama hubungan hukum keluarga dapat dibuktikan secara sah. 2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI): Hukum Islam menekankan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang mutlak (hijab) dalam pewarisan. Pasal 171 huruf (c) KHI menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu, apabila anak berbeda agama dengan pewaris yang beragama Islam, maka ia tidak dapat menjadi ahli waris menurut hukum Islam. 3. Alasan Yuridis Penghalang Waris dalam Hukum Islam: Bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW bahwa "seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim." Hal ini diperkuat oleh fatwa MUI dan yurisprudensi pengadilan agama yang konsisten menolak pewarisan beda agama secara langsung. Namun, konsep wasiat wajibah digunakan sebagai bentuk penghargaan hak moral dan solusi alternatif agar anak beda agama tetap menerima bagian dari harta peninggalan orang tuanya. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyampaikan beberapa saran berikut: 1. Bagi Pemerintah dan Legislatif Pemerintah perlu meninjau kembali regulasi yang berkaitan dengan perkawinan beda agama dan konsekuensinya dalam hukum waris. Diperlukan harmonisasi antara KUHPerdata dan KHI dalam konteks hukum waris agar tidak terjadi dualisme hukum yang merugikan masyarakat. Perlu dipertimbangkan penyusunan undang-undang khusus yang mengatur secara eksplisit hak-hak anak hasil perkawinan beda agama dalam warisan, agar ada kepastian hukum dan keadilan substantif. 2. Bagi Lembaga Peradilan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi sebaiknya memberikan pedoman atau yurisprudensi tetap mengenai pewarisan beda agama untuk menciptakan keseragaman putusan hakim di seluruh Indonesia. Pengadilan agama hendaknya lebih aktif dalam menerapkan prinsip wasiat wajibah bagi anak yang secara agama terhalang untuk menerima waris namun secara moral dan sosiologis memiliki hubungan yang erat dengan pewaris. 3. Bagi Masyarakat Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik terkait hak dan kewajiban hukum dalam keluarga beda agama, terutama berkaitan dengan konsekuensi dalam hal warisan. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan beda agama, penting untuk menyiapkan dokumen hukum yang dapat menjamin hak anak, seperti melalui pernyataan wasiat atau hibah yang sah secara hukum. 4. Bagi Akademisi dan Peneliti Perlu dilakukan penelitian lanjutan secara komprehensif terkait pengembangan konsep waris progresif berbasis multikulturalisme di Indonesia. Kajian ini dapat menjadi masukan dalam pembentukan model hukum keluarga nasional yang inklusif terhadap realitas sosial keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.Â
Judul : ANALISIS YURIDIS HAK MEWARIS ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAMÂ
Masalah Penelitian : Ketidakjelasan hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama, khususnya ketika ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan dasar hukum ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan problematika dalam masyarakat multikultural.Â
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui bagaimana hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam, serta untuk mengetahui alasan yuridis penghalang ahli waris memperoleh warisan dari pewaris yang berbeda agama menurut Kompilasi Hukum Islam.
Manfaat Penelitian : Manfaat penelitian dalam skripsi ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoritis: Memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu hukum, khususnya terkait hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama, serta menambah informasi dan wawasan dalam bidang hukum waris dan hukum perkawinan. 2. Manfaat Praktis: o Bagi masyarakat: Memberikan edukasi tentang hak waris anak dari perkawinan beda agama. o Bagi pemerintah: Menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan atau regulasi terkait isu hukum waris antaragama. o Bagi mahasiswa: Menjadi referensi dan bahan bacaan untuk memperluas pengetahuan tentang analisis yuridis dalam konteks hukum waris dan perkawinan beda agama. Â
Kajian Teoritis : Mencakup pembahasan mendalam mengenai konsep perkawinan beda agama, hak waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait hal tersebut. Penulis menguraikan pengertian perkawinan dan hukum waris dari perspektif hukum positif Indonesia dan hukum Islam, termasuk unsur-unsur, syarat-syarat, serta akibat hukum dari perkawinan beda agama terhadap anak yang dilahirkan.Â
Kerangka Berpikir  : Disusun untuk menjelaskan keterkaitan antara perbedaan agama dalam perkawinan dengan hak mewaris anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Penulis memulai dengan mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang tidak mempersoalkan perbedaan agama dalam pewarisan, dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan perbedaan agama sebagai penghalang waris.
Hipotesis : Jika anak dilahirkan dari perkawinan beda agama, maka dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), anak tersebut tetap memiliki hak mewaris karena perbedaan agama tidak menjadi penghalang pewarisan. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak tersebut tidak berhak mewaris, karena pewaris dan ahli waris harus seagama, yaitu sama-sama beragama Islam.Â
Metode Penelitian : Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan deskriptif analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber primer meliputi UU Perkawinan, KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam. Sumber sekunder meliputi buku, jurnal, dan artikel terkait topik yang dibahas. Sementara sumber tersier berupa kamus hukum dan ensiklopedia. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan kesimpulan yang deduktif.Â
Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan dalam pandangan Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Perdata tidak menjadikan perbedaan agama sebagai penghalang waris, sehingga anak berhak mewarisi baik dari pihak ayah maupun ibu. Sebaliknya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak berhak mewarisi, didasari Pasal 171 (c) yang mengharuskan pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam. Skripsi ini juga mengungkapkan alasan yuridis penghalang waris dalam KHI, yaitu larangan waris antar agama dan penekanan pada status anak hasil perkawinan beda agama yang dianggap sama dengan anak di luar kawin. Â Â
Kesimpulan dan Saran : Hhukum perdata di Indonesia tidak menghalangi anak dari perkawinan beda agama untuk mewarisi harta orang tua, namun Kompilasi Hukum Islam melarang anak tersebut mewarisi. Alasan yuridisnya adalah Pasal 171 huruf (c) KHI yang mengharuskan pewaris dan ahli waris beragama Islam. Penulis menyarankan agar pernikahan beda agama dihindari karena berdampak pada status anak, yang berpotensi merugikan anak dalam hak waris dan pentingnya menasihati pasangan yang ingin menikah beda agama untuk memahami konsekuensi hukumnya dan meningkatkan iman kepada Allah SWT.
Daftar Pustaka : Rahmat, M. N. I. (2023). Analisis Yuridis Hak Mewaris Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung Semarang).
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI