Mohon tunggu...
adisya alfatihah
adisya alfatihah Mohon Tunggu... mahasiswa

saya Adisya Alfatihah mahasiswa semester 4 di UIN Raden Mas Said Surakarta. Sebagai seorang mahasiswa, Adisya selalu berusaha untuk berkembang, baik dalam akademik maupun pengalaman di luar perkuliahan. Dengan semangat belajar yang tinggi, terus mengeksplorasi ilmu dan keterampilan yang bisa menunjang masa depan. Selain fokus pada kuliah, Adisya juga mungkin aktif dalam organisasi atau kegiatan lain yang mendukung pengembangan diri. Dengan perjalanan yang masih panjang, Adisya siap menghadapi tantangan dan meraih impian dengan usaha dan dedikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

revwiu skripsi dengan judul analisis yuridis hak mewarisi yang lahir beda agama berdasar uu hukum perdata dan KHI

4 Juni 2025   07:57 Diperbarui: 4 Juni 2025   07:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan dan latar belakang : Perkawinan merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28B UUD 1945, dan menjadi ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang sangat terkait dengan ajaran agama. Di Indonesia, keberagaman agama menimbulkan fenomena perkawinan beda agama yang semakin nyata, meskipun tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan. Praktik ini sering kali menimbulkan masalah hukum, khususnya menyangkut status anak hasil perkawinan beda agama dalam konteks waris. Dalam KUHPerdata, warisan didasarkan pada hubungan darah, tanpa melihat agama, sehingga anak dari perkawinan beda agama tetap berhak atas warisan. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perbedaan agama menjadi penghalang dalam pewarisan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 171 huruf (c) KHI yang mensyaratkan pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama Islam. Ketidaksesuaian ini memicu perdebatan yuridis, terutama ketika ahli waris dan pewaris berbeda agama, sehingga hak anak dalam memperoleh warisan menjadi problematik. Fenomena ini menggambarkan ketegangan antara nilai pluralisme yang berkembang di masyarakat dan norma-norma hukum Islam yang berlaku secara formal. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis lebih dalam bagaimana hak waris anak dari perkawinan beda agama diatur dalam dua sistem hukum yang berbeda---KUHPerdata dan KHI---serta menelusuri alasan yuridis yang digunakan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk menghalangi pewarisan karena perbedaan agama. 

Rumusan masalah dan tujuan  : Permasalahan hukum waris bagi anak yang lahir dari perkawinan beda agama merupakan isu yang kompleks dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia. Di satu sisi, hukum perdata mengakui hak waris berdasarkan hubungan darah, tanpa mempermasalahkan perbedaan agama. Namun di sisi lain, hukum Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang seseorang untuk menerima warisan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi anak yang lahir dari pasangan beda agama. Dalam kenyataan masyarakat yang majemuk, fenomena keluarga dengan latar belakang agama berbeda bukanlah hal asing, dan ini menimbulkan tantangan yuridis yang perlu dianalisis secara mendalam. Penelitian ini bertujuan menjawab persoalan tentang bagaimana kedudukan hukum anak dalam memperoleh warisan ketika orang tuanya berasal dari agama yang berbeda. Untuk memperjelas arah dan batasan analisis, penulis merumuskan dua pokok masalah utama. Pertama, bagaimana hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama ditinjau dari dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedua, apa alasan yuridis yang menjadi dasar penghalang hak waris tersebut menurut KHI.

Rumusan masalah tersebut penting untuk menjawab kekosongan norma yang belum secara tegas diatur dalam undang-undang, terutama mengenai nasib hukum anak dari perkawinan beda agama. Sering kali anak dari perkawinan beda agama mengalami ketidakpastian dalam pembagian warisan karena perbedaan interpretasi antara sistem hukum yang berlaku. Dalam hukum perdata, Pasal 832 KUHPerdata memberikan hak waris kepada semua anak sah, tanpa mempertimbangkan agama. Namun, dalam KHI, Pasal 171 huruf (c) menegaskan bahwa ahli waris dan pewaris harus beragama Islam. Oleh karena itu, anak dari pasangan beda agama dapat kehilangan haknya jika ia berbeda agama dengan pewaris.

 Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana hukum waris menurut KUHPerdata dan KHI mengatur hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Kedua, untuk menjelaskan landasan yuridis yang menyebabkan adanya penghalang waris dalam hukum Islam terhadap anak yang berbeda agama dengan pewaris. Tujuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman hukum yang lebih adil dan menjembatani kesenjangan antara kebutuhan masyarakat majemuk dengan sistem hukum yang masih dualistik.Dengan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini ingin menelusuri secara doktrinal dan konseptual bagaimana hukum memandang hak waris anak dari perkawinan beda agama. Penelitian ini tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga secara praktis, karena hasilnya dapat digunakan oleh masyarakat umum, pembuat kebijakan, serta mahasiswa hukum untuk memahami lebih dalam permasalahan waris dalam konteks pluralitas agama. Di tengah meningkatnya angka perkawinan beda agama, analisis semacam ini sangat relevan dan dibutuhkan dalam proses pembentukan hukum yang lebih inklusif di masa mendatang. 

Metode penelitian dan tinjauan pustaka Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengkaji bahan pustaka atau data sekunder sebagai sumber utama. Tujuannya adalah untuk menemukan norma hukum, asas, dan doktrin hukum yang berkaitan dengan persoalan waris bagi anak hasil perkawinan beda agama. Pendekatan ini cocok karena penelitian bersifat teoritis, bukan empiris. 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif-analitis, artinya menjelaskan secara sistematis dan menyeluruh tentang norma-norma hukum waris dalam KUHPerdata dan KHI, serta menganalisis keterkaitannya dengan status anak dari perkawinan beda agama. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data adalah data sekunder, yang dibagi menjadi: Bahan hukum primer, seperti UUD 1945, KUHPerdata, KHI, UU Perkawinan, Instruksi Presiden, dan Fatwa MUI.   Bahan hukum sekunder, meliputi buku-buku, jurnal, dan artikel ilmiah terkait hukum waris dan perkawinan beda agama. Bahan hukum tersier, berupa kamus hukum dan ensiklopedia untuk memperkuat pemahaman istilah hukum.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dikumpulkan melalui studi pustaka, yaitu pengumpulan informasi dari dokumen-dokumen hukum dan referensi ilmiah lainnya. Kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan metode deduktif: menarik kesimpulan dari prinsip hukum umum ke kasus khusus yang dibahas. Tinjauan pustaka dalam skripsi ini mencakup pembahasan mendalam tentang konsep-konsep dasar yang menjadi fondasi dalam menganalisis permasalahan hak waris anak dari perkawinan beda agama. Ruang lingkupnya dibagi menjadi beberapa bagian: 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam, perkawinan disebut mitsaqan ghalidzan (akad yang kuat) dan bertujuan mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. 2. Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama tidak diatur secara eksplisit dalam UU Perkawinan, namun Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Ini menyebabkan perkawinan beda agama sulit diakui secara hukum. Meskipun terjadi di masyarakat, status hukum anak dan akibat hukumnya masih diperdebatkan. Fatwa MUI No. 4/MUNAS VII/MUI/2005 menegaskan bahwa perkawinan beda agama tidak sah dan haram. Selain itu, SEMA No. 2 Tahun 2023 juga menginstruksikan agar hakim tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

 Tinjauan Waris dalam Perspektif KUHPerdata dan Hukum Islam

1. Waris Menurut KUHPerdata KUHPerdata tidak mempertimbangkan perbedaan agama dalam hal waris. Pasal 832 menyatakan bahwa ahli waris adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau perkawinan sah, sehingga anak dari perkawinan beda agama tetap memiliki hak mewaris, tanpa diskriminasi agama. 2. Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Sebaliknya, KHI, khususnya Pasal 171 huruf (c), mengharuskan pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam. Dalam Islam, perbedaan agama merupakan penghalang mutlak (hijab) dalam warisan. Hadis Rasulullah SAW menyatakan: "Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi Muslim." Oleh karena itu, anak yang berbeda agama dengan pewaris Muslim dianggap tidak berhak mewaris.Namun demikian, untuk menghindari ketidakadilan, diterapkan solusi berupa wasiat wajibah kepada anak yang tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris karena perbedaan agama. Wasiat wajibah adalah pemberian maksimal sepertiga harta yang ditetapkan oleh hakim untuk menjamin keadilan dan rasa kemanusiaan. 

Analisis hukum waris menurut KUHPerdata 

Hukum waris dalam KUHPerdata termasuk dalam ranah hukum perdata barat (BW) yang mengatur peralihan hak atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia. Pewarisan dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II, mulai dari Pasal 830 hingga Pasal 1130. KUHPerdata mengenal dua bentuk pewarisan, yaitu: 1. Ab intestato (berdasarkan undang-undang), dan 2. Testamentair (berdasarkan surat wasiat). Syarat terjadinya pewarisan menurut KUHPerdata adalah: (1) adanya pewaris yang telah meninggal dunia; (2) adanya ahli waris yang masih hidup saat pewaris meninggal; dan (3) adanya harta peninggalan. Hak mewaris bersifat kebendaan, yang berarti ahli waris memiliki hak atas benda atau kekayaan si pewaris. Pasal 584 KUHPerdata menyatakan bahwa warisan adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas kebendaan. KUHPerdata mengatur dua kategori ahli waris: Ahli waris ab intestato, yaitu mereka yang ditentukan berdasarkan hubungan darah atau perkawinan, tanpa adanya surat wasiat. Ahli waris testamentair, yaitu yang ditunjuk dalam surat wasiat. Golongan ahli waris ab intestato dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan derajat kedekatan: 1. Golongan I: Anak-anak sah atau yang diakui, termasuk anak angkat yang diangkat sah oleh pengadilan, serta suami/istri yang hidup lebih lama. 2. Golongan II: Orang tua dan saudara kandung. 3. Golongan III: Kakek dan nenek. 4. Golongan IV: Paman, bibi, sepupu dari kedua pihak orang tua. Jika terdapat ahli waris dari golongan lebih tinggi, maka golongan di bawahnya gugur haknya. Tidak terdapat perbedaan gender atau urutan kelahiran dalam pembagian waris. 

KUHPerdata juga menjelaskan kondisi-kondisi yang dapat menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris, yaitu apabila: Melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap pewaris, Mengajukan pengaduan fitnah terhadap pewaris, Menghalangi pewaris dalam membuat atau mencabut surat wasiat, Menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris. Tindakan-tindakan tersebut diatur lebih lanjut dalam KUHPidana, khususnya Pasal 338 hingga 340 tentang pembunuhan, serta pasal-pasal lainnya yang terkait kejahatan terhadap pewaris. KUHPerdata juga mengatur mengenai hak penggantian (plaatsvervulling) yang diberikan kepada keturunan dari ahli waris yang tidak layak atau telah meninggal terlebih dahulu. Hal ini diatur dalam Pasal 840--842 KUHPerdata. Misalnya, jika seorang ayah tidak layak mewaris karena pembunuhan, maka anaknya tetap dapat menggantikan posisi sebagai ahli waris. Secara historis, pemberlakuan hukum waris dalam KUHPerdata ditentukan oleh Staatsblad: Staatsblad 1925 No. 145 jo. 447: berlaku bagi orang Eropa. Staatsblad 1917 No. 129 jo. 1924 No. 557: untuk Timur Asing Tionghoa. Staatsblad 1917 No. 12: memberi kemungkinan bagi warga pribumi untuk tunduk secara sukarela pada hukum waris Eropa. Oleh sebab itu, KUHPerdata secara eksplisit tidak melarang atau membatasi ahli waris berdasarkan agama, termasuk dalam kasus anak dari perkawinan beda agama. Namun demikian, tidak adanya ketentuan eksplisit tentang perbedaan agama membuka ruang perdebatan dalam praktik hukum waris di masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini menjadi latar belakang penting untuk menganalisis bagaimana hak mewaris anak dari perkawinan beda agama dapat diakui dan dilindungi dalam sistem hukum nasional yang pluralistik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun