Bayangkan sebuah tempat di mana setiap pagi bukan dimulai dengan harapan, tetapi dengan pertanyaan menyakitkan "Apakah hari ini aku bisa makan?
Di Gaza, pertanyaan itu bukan sekadar kekhawatiran, melainkan kenyataan pahit yang menghantam lebih dari 2 juta jiwa.
Seluruh penduduk Gaza, pria, wanita, anak-anak, lansia, kini terperangkap dalam cengkeraman kelaparan yang mengerikan, yang oleh PBB disebut sebagai "tempat paling lapar di bumi".
Dengan 470.000 orang berada di ambang kelaparan parah, ini bukan lagi sekadar krisis kemanusiaan, tapi ini adalah tragedi yang merobek hati, sebuah noda pada kemanusiaan kita bersama.
Tangisan Anak-Anak di Tengah Keheningan Dunia
Coba bayangkan seorang ibu di Gaza Utara, memeluk anaknya yang menangis kelaparan, perutnya kosong, matanya redup.
Dia tidak punya jawaban ketika anak itu bertanya, "Kapan kita makan, Ummi?" Rumah-rumah telah hancur, pasar-pasar kosong, dan truk bantuan yang dijanjikan dunia terhenti di perbatasan, terhalang oleh blokade dan birokrasi yang kejam.
Ribuan anak telah kehilangan nyawa, bukan hanya karena bom, tetapi karena kelaparan dan penyakit yang seharusnya bisa dicegah.
Setiap anak yang mati kelaparan adalah seruan kepada dunia, di mana hati nurani kalian?
Saya tidak bisa membayangkan penderitaan itu tanpa air mata, menggambarkan warga Gaza yang ditembak saat berjuang mengambil makanan di Rafah.
Mereka bukan hanya melawan kelaparan, tetapi juga peluru. Ini bukan sekadar statistik, ini adalah nyawa, mimpi, dan harapan yang direnggut.
Bagaimana kita bisa tidur nyenyak ketika anak-anak di Gaza terbangun dengan perut kosong, ketakutan, dan tanpa masa depan?
Kelaparan di Gaza bukanlah bencana yang datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari konflik yang berkepanjangan, blokade yang mencekik, dan penggusuran paksa yang memaksa warga berpindah dari satu puing ke puing lain.
Lebih dari 600 hari genosida, telah menghancurkan infrastruktur, rumah sakit, dan harapan. Rumah Sakit al-Awda dipaksa tutup di tengah bombardir, meninggalkan pasien dan petugas kesehatan dalam kepanikan.
Bagaimana kita bisa menyebut diri kita manusia ketika kita membiarkan saudara-saudara kita di Gaza ditinggalkan dalam keputusasaan seperti ini?
Yang lebih menyakitkan adalah sikap acuh tak acuh dunia. Negosiasi gencatan senjata terus gagal, dengan Hamas menolak usulan terbaru AS dan Israel.
Sementara para politisi berdebat, warga Gaza mati kelaparan. Bantuan kemanusiaan yang masuk hanya setetes air di tengah lautan.
Kebutuhan truk-truk bantuan terhenti, dan ketika akhirnya sampai, kerusuhan terjadi karena keputusasaan. Ini bukan hanya kegagalan diplomasi, tetapi kegagalan moral. Dunia telah menutup mata, menutup telinga, dan menutup hati.
Saya merasa marah, sedih, dan tidak berdaya sekaligus. Ketika Duta Besar Palestina menangis di sidang PBB, mengungkapkan kematian ribuan anak-anak.
Saya merasakan beban itu di dada saya. Setiap cerita dari Gaza dari warga yang mengais makanan di antara puing, dari keluarga yang kehilangan anak-anak mereka, dari dokter yang merawat pasien tanpa obat adalah panggilan untuk bertindak.
Kita tidak bisa terus berdiam diri. Gaza bukan hanya nama di peta, itu adalah rumah bagi jutaan manusia yang berhak hidup, makan, dan bermimpi seperti kita.
Harapan di Tengah Keputusasaan
Kita, sebagai individu, juga punya peran dengan menyebarkan cerita Gaza, menyumbang untuk bantuan kemanusiaan, atau menekan pemerintah kita untuk bertindak.
Gaza membutuhkan lebih dari doa, mereka membutuhkan tindakan nyata.
Kelaparan di Gaza adalah luka terbuka di hati kemanusiaan. Setiap hari tanpa solusi adalah hari di mana kita membiarkan lebih banyak nyawa melayang.
Saya memohon kepada siapa pun yang membaca ini, jangan tutup mata.
Dengarkan jeritan Gaza. Bayangkan jika itu keluargamu, anakmu, yang kelaparan di tengah puing. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa melawan untuk masa depan Gaza.
Buka jalur bantuan, hentikan kekerasan, dan kembalikan martabat mereka sebagai manusia. Gaza bukan hanya statistik, mereka adalah kita, dan kita adalah mereka.
(Adista Pattisahusiwa, 31 Mei 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI