Bagaimana kita bisa tidur nyenyak ketika anak-anak di Gaza terbangun dengan perut kosong, ketakutan, dan tanpa masa depan?
Kelaparan di Gaza bukanlah bencana yang datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari konflik yang berkepanjangan, blokade yang mencekik, dan penggusuran paksa yang memaksa warga berpindah dari satu puing ke puing lain.
Lebih dari 600 hari genosida, telah menghancurkan infrastruktur, rumah sakit, dan harapan. Rumah Sakit al-Awda dipaksa tutup di tengah bombardir, meninggalkan pasien dan petugas kesehatan dalam kepanikan.
Bagaimana kita bisa menyebut diri kita manusia ketika kita membiarkan saudara-saudara kita di Gaza ditinggalkan dalam keputusasaan seperti ini?
Yang lebih menyakitkan adalah sikap acuh tak acuh dunia. Negosiasi gencatan senjata terus gagal, dengan Hamas menolak usulan terbaru AS dan Israel.
Sementara para politisi berdebat, warga Gaza mati kelaparan. Bantuan kemanusiaan yang masuk hanya setetes air di tengah lautan.
Kebutuhan truk-truk bantuan terhenti, dan ketika akhirnya sampai, kerusuhan terjadi karena keputusasaan. Ini bukan hanya kegagalan diplomasi, tetapi kegagalan moral. Dunia telah menutup mata, menutup telinga, dan menutup hati.
Saya merasa marah, sedih, dan tidak berdaya sekaligus. Ketika Duta Besar Palestina menangis di sidang PBB, mengungkapkan kematian ribuan anak-anak.
Saya merasakan beban itu di dada saya. Setiap cerita dari Gaza dari warga yang mengais makanan di antara puing, dari keluarga yang kehilangan anak-anak mereka, dari dokter yang merawat pasien tanpa obat adalah panggilan untuk bertindak.
Kita tidak bisa terus berdiam diri. Gaza bukan hanya nama di peta, itu adalah rumah bagi jutaan manusia yang berhak hidup, makan, dan bermimpi seperti kita.
Harapan di Tengah Keputusasaan