Mohon tunggu...
ADI RAHMA KINASIH
ADI RAHMA KINASIH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication18, Universitas Ahmad Dahlan

saya bukan rokok, jadi tidak sampoerna

Selanjutnya

Tutup

Trip

Apakah Mendaki Gunung Termasuk Olahraga?

17 Juli 2021   12:30 Diperbarui: 17 Juli 2021   14:00 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Pinterest/ruth marina

Setiap manusia terlahir unik, bagaimana tidak, dunia memiliki banyak sekali keragaman. Tidak hanya keragaman, setiap manusia juga unik karena pilihan hidupnya yang berbeda-beda. Sama halnya dengan berolahraga, entah itu olahraga berat, olahraga ekstrim, setiap orang memiliki prefrensi yang berbeda. Bagi saya semua itu menyenangkan, namun naik gunung lebih menenangkan. Berbicara mengenai pengalaman pribadi, sepertinya banyak sekali pengalaman yang saya lalui. Namun kali ini saya akan bercerita pengalaman pribadi ketika saya duduk di bangku SMK. 

Saya adalah pribadi yang sangat menyukai kegiatan outdoor, termasuk mendaki atau hiking. Mendaki gunung merupakan kegiatan outdoor yang mana kegiatan perjalanan sebagai kegiatan utama dari rekreasi sambil berolahraga. Kepadatan aktivitas terkadang membuat kepala menjadi penat dan tentunya membutuhkan refreshing untuk sekedar menghirup udara segar agar pikiran menjadi jernih kembali. Namun, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk me-refresh dari padatnya aktivitas.  Ketika itu. saya adalah seorang siswi STM yang sedang sibuk magang dan aktif di organisasi sekolah yang membuat saya harus membagi waktu dan tenaga. Banyaknya aktivitas membuat otak saya seakan meminta ketenangan, kesegaran, dan melupakan penat dari berbagai aktivitas sehari-hari.

Setelah magang selesai tepatnya di bulan September 2017, saya terpikirkan untuk mendaki gunung karena penasaran akan keindahan alam yang masih alami. Saya memutar ulang film ‘5 cm’ yang rilis pada tahun 2012 dan membuat saya semakin yakin untuk melakukan pendakian walaupun banyak sekali tragedi pendaki yang hilang maupun hipotermia yang mengharuskan untuk dievakuasi. Namun menurut saya semua itu ada sebab dan akibat, entah karena kurang ilmu mengenai mountaineering, survival, atau bahkan melanggar norma dan tata krama. Tapi saya mencoba meyakinkan diri dan meyakinkan orang tua bahwa semua akan berjalan dengan lancar dengan landasan doa dan bekal yang sudah saya siapkan.

Saya mendaki Gunung Merbabu via Selo pada pertengahan bulan September 2017 bersama rekan-rekan saya yang tentunya beberapa dari mereka sudah memiliki pengalaman mendaki gunung.  Karena saya adalah pendaki pemula, saya harus bisa menyeimbangi mereka dengan ilmu yang sudah saya pelajari sebelum melakukan pendakian dan inilah saatnya saya mempraktekan ilmu tentang pendakian. Gunung Merbabu memiliki lima jalur resmi pendakian meliputi Selo, Wekas, Thekelan, Chuntel, dan Suwanting. 

Kami sepakat memilih jalur Via Selo yang terkenal dengan keindahan panoramanya. Sebelum melakukan pendakian, tentunya harus mempersiapkan persyaratan dan barang-barang yang dibutuhkan di gunung. Perjalanan pun dimulai pada pukul 07.00 WIB, jarak tempuh dari rumah saya sampai ke basecamp Merbabi Via Selo memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. 

Sesampainya di basecamp, saya dan teman-teman segera melakukan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservesi). Proses perizinan mendaki di Gunung Merbabu tidaklah rumit dan sebelum melakukan pendakian kami di briefing oleh petugas pengelola tentang kondisi pendakian, rute, dan tentunya mengenai sampah dan api unggun. 

Setiap anggota kelompok yang hendak melakukan pendakian harus di-interview satu per satu guna menanyakan perihal kesehatan dan pengalaman mendaki gunung. Semua barang harus lengkap dan harus sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), apabila terdapat peralatan yang tidak lengkap atau tidak sesuai dengan SOP, maka harus menyewa peralatan mendaki. Biasanya di basecamp-basecamp pendakian selalu menyediakan persewaan alat pendakian.

Perjalanan dimulai pukul 10.30 WIB dengan diselimuti oleh kabut dan cuaca yang sedikit mendung, maklum saja karena bulan September sudah mulai memasuki musim hujan. Walaupun cuacanya mendung tapi tetap saja berkeringat dan tubuh harus menyesuaikan dengan suhu di Gunung. Via Selo didaulat sebagai jalur yang cocok untuk pendaki pemula karena jalurnya yang lumayan landai namun sedikit memutar. 

Perjanan dari basecamp menuju Pos I tidak begitu curam dan dikelilingi oleh hutan yang rindang, namun cahaya matahari masih bisa memasuki celah-celah daun dan ranting pohon. Di tengah perjalanan, kelompok kami dihadang oleh dua monyet yang sepertinya sedang kelaparan. 

Dan kami menyisihkan makanan untuk monyet-monyet itu, monyet itu berteriak “uuuu aak uuu aak”, kami tidak paham bahasa monyet dan kami menganggap bahwa ia memang minta makanan dari kami. Kami meneruskan perjalanan dan sampai di Pos I dengan waktu 60 menit dan kami beristirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. 

Dari Pos I menuju Pos II memakan waktu sekitar 45 menit. Karena kabut sudah mulai menebal, kami tidak sempat beristirahat karena di Pos II sudah penuh dengan tenda para pendaki lainnya. Menuju Pos III tanpa di temukannya jalur landai, kami mempercepat langkah kami. Sampai di Pos III langsung bergegas mendirikan tenda dan memakai sleeping bag untuk menghangatkan tubuh kami. Langit semakin mendung dan angin semakin kencang. Memasuki waktu maghrib, kami mendirikan sholat di tengah terpaan angin yang kencang.

Setelah sholat maghrib, kami memakan bekal dan snack kemudian kami tidur dengan posisi duduk meringkuk. Punggung sangat pegal dan kaki sering kesemutan membuat tidur kami tidak nyenyak. Semakin malam angin semakin menjadi-jadi, sepertinya kami mengalami badai. Tenda kami ambruk dan salah satu kawan saya gejala hipotermia, sontak kawan yang lain dengan sigap menghangatkan tubuhnya. Dengan angin yang sangat kencang, kami kesusahan untuk membenarkan tenda. 

Tubuh kami seakan ingin melayang sehingga kami sulit untuk mematok paku tenda. Tenda pun berdiri walaupun tidak kokoh karena badai belum juga berhenti, akan tetapi kawan saya masih mengalami hipotermia. Entah kepanikan kami membuat pendaki lain merasa terganggu, namun ada seorang pendaki datang ke tenda kami untuk menawarkan bantuan.

 Pendaki itu melihat kawan kami yang sedang mengalami hipotermia, dan meminta untuk pindah ke tenda beliau. Badai berhenti sekitar pukul 05.00 WIB, tidak lupa kami melaksanakan sholat subuh dan memasak mie instant. Mie instant adalah kunci! Kabut masih tebal dan angin lumayan kencang membuat nyali kami menciut. 

Tidak lama ada sekelompok pendaki turun dari Sabana I, mereka memberi informasi bahwa kondisi di atas tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian. Diterimanya informasi tersebut, kami melakukan diskusi dan kami memutuskan untuk turun alias gagal sampai puncak. Disamping adanya badai semalam, salah satu kawan kami juga sempat mengalami gejala hipotermia. Kami melakulan packing kemudian bergegas untuk turun untuk mengurangi resiko atau kejadian yang tidak diinginkan.

sumber foto: dokumentasi pribadi
sumber foto: dokumentasi pribadi

Sesampainya di basecamp, kami melakuan laporan konfirmasi kepada petugas bahwa kami menyelesaikan pendakian dan melakukan pengecekkan sampah apakah sesuai dengan apa yang kita bawa. Setelah pengecekkan selesai, kami menghangatkan badan, makan siang kemudian sholat dzuhur berjamaah. Salah satu kawan kami sudah baik-baik saja dan tidak menujukkan adanya sesuatu yang mengkhawatirkan. Setelah semua dirasa cukup, kami bergegas pulang ke rumah dengan hasil gagal sampai puncak dan mengalami badai. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa ketika di gunung, kami bisa mengetahui sifat teman-teman kita yang sebenarnya. 

Kami mendaki melewati jalur yang sama, kerja keras yang sama, usaha yang sama, tujuan yang sama dan doa yang sama, membuat kami akrab walaupun belum pernah kenal maupun bertemu. Gagal sampai puncak bukan berarti gagal dalam perjalanan, pada akhirnya kami merasa tenang karena bisa menikmati pemandangan alam sekitar ditemani kopi hangat. Sama halnya dengan hidup, gagal meraih tujuan bukan berarti kita gagal dalam meraih tujuan tersebut. Selalu ada keindahan serta hikmah dibalik sebuah kegagalan, toh kita bisa mencobanya kembali dilain waktu. Dari pengalaman ini yang kami butuhkan adalah untuk lebih banyak bersyukur dan kami percaya bahwa badai pasti berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun