Kejahatan Unipolar dalam Pendidikan: Analisis Peta Holosentrik, Informasi, dan Dominasi Barat terhadap Persepsi Indonesia.
Di  globalisasi, representasi visual dan narasi informasi memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi publik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satu instrumen yang paling berpengaruh dalam membentuk persepsi ini adalah peta dunia. Peta Holosentrik telah lama digunakan sebagai standar dalam pendidikan dan komunikasi internasional, meskipun telah terbukti memiliki distorsi signifikan terhadap ukuran dan posisi negara-negara di dunia, terutama bagi negara-negara di luar Barat seperti Indonesia. Distorsi ini bukan sekadar isu teknis, melainkan berkaitan erat dengan upaya dominasi informasi dan persepsi oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa, yang membentuk pandangan dunia unipolar pada sebuah tatanan global yang menempatkan Barat sebagai pusat kekuatan dan pengetahuan (Babichenko, 2022)[1].
Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana peta holosentrik dijadikan alat hegemoni Barat dalam dunia pendidikan dan komunikasi global, serta implikasinya terhadap persepsi kekayaan, ukuran, dan pentingnya Indonesia di mata dunia. Penulis juga akan membahas bagaimana doktrin informasi dan manipulasi opini publik melalui mekanisme multi-channel "Bayesian persuasion" dan "information dominating set" dapat menjelaskan praktik-praktik semacam ini, dan menyoroti pentingnya transisi ke peta heliosentris dalam era navigasi dan teknologi modern (Gao, 2014)[2]. Dengan demikian, esai ini memperluas diskusi tentang "kejahatan unipolar" dalam pendidikan dan menawarkan refleksi kritis atas pembodohan dominasi Barat yang terus berlangsung melalui pengelolaan informasi dan doktrin visual.
Representasi Peta Dunia Antara Holosentrik, Heliosentris, dan Kepentingan Geopolitik
Peta Holosentrik dan Distorsi Persepsi. Peta holosentrik secara umumnya dikenal sebagai "proyeksi Mercator" telah menjadi standar utama dalam pendidikan dan komunikasi visual global selama lebih dari satu abad. Proyeksi ini secara sistematis memperbesar ukuran wilayah di lintang tinggi (Eropa, Amerika Utara) dan mengecilkan wilayah di dekat ekuator (Afrika, Asia Tenggara, termasuk Indonesia), sehingga secara visual menempatkan Barat sebagai wilayah "besar" dan penting, sementara kawasan selatan dunia tampak kecil dan kurang signifikan (Babichenko, 2022)[1]. Distorsi ini bukan sekadar masalah teknis dalam kartografi, melainkan telah menjadi bagian dari doktrin visual yang mendukung narasi unipolar dan superioritas Barat dalam menghegemoni Global.
Kenyataannya, jika wilayah Indonesia "dibentangkan" secara proporsional, panjangnya dapat menutupi hampir seluruh daratan Eropa dari Irlandia hingga Turki. Namun, dalam peta holosentrik, Indonesia digambarkan kecil dan tersembunyi di pinggiran, memperkuat persepsi bahwa Indonesia hanyalah "negara kecil" dibandingkan dengan negara-negara Barat (Blandfort, 2018)[3]. Pemilihan dan pelestarian peta holosentrik dalam kurikulum pendidikan dan media internasional menunjukkan adanya motif ideologis dan bukan semata-mata pertimbangan teknis.
Telah terjadi Transisi dari Holosentris ke Peta Heliosentris efek  Sains, Navigasi, dan Kebenaran Obyektif.Teknologi navigasi modern, termasuk sistem penerbangan dan pemetaan digital, telah beralih ke peta heliosentris atau proyeksi yang lebih akurat secara geometris dan statistik. Peta heliosentris, seperti proyeksi Gall-Peters atau proyeksi azimuthal, memberikan representasi yang lebih adil terhadap ukuran dan posisi wilayah negara-negara di dunia (Liao, 2024)[4]. Namun, resistensi penggunaan peta heliosentris dalam konteks pendidikan dan media arus utama di Barat menunjukkan adanya kepentingan untuk mempertahankan narasi lama yang menguntungkan posisi geopolitik dan psikologis Barat (Wu, 2024)[5].
Unipolar terus mempertahankan Dominasi Informasi publik Global dan Permainan Opini menilik melalui Pendekatan "Bayesian Persuasion" dan "Information Dominating Set
Bayesian Persuasion" dan "Kontrol Multi-Channel". Babichenko di 2022 [1] telah mengembangkan model "multi-channel Bayesian persuasion" untuk menggambarkan bagaimana pihak yang memiliki informasi (sender) dapat mengontrol aliran informasi kepada penerima (receivers) melalui berbagai saluran komunikasi. Dalam konteks peta dan doktrin visual, Barat bertindak sebagai sender yang secara selektif mendistribusikan narasi dan visualisasi tertentu ke publik dunia melalui doktrin dan sugesti melalui saluran pendidikan, media, dan institusi internasional. Model ini membuktikan bahwa struktur komunikasi yang dikendalikan secara strategis dapat menentukan tingkat dominasi informasi dan pembentukan opini dan mentalitas publik secara luas.
Strategi dominasi informasi ini tidak hanya terjadi pada level makro (antarnegara), tetapi juga dalam jaringan sosial, pendidikan, dan bahkan dalam dunia digital modern (Gao, 2014)[2]. Dengan kontrol atas "information dominating set" maka kelompok node atau individu kunci dalam jaringan informasi, Barat mampu memastikan bahwa narasi dan persepsi yang diinginkan tetap menjadi arus utama, sementara narasi alternatif dari negara-negara seperti Rusia, Cina Indonesia dan negara lainnya cenderung terpinggirkan, sebagaimana kelicikan yang sering terjadi di Sidang PBB.
Penyebab konsekuensi Pendidikan terjadinya suatu Kebodohan Struktural dan Ketidaktahuan Sistemik sebagai kebodohan menurun ke anak cucu dan pikiran dan mental manusia. Penggunaan peta holosentrik dan narasi yang bias dalam pendidikan global telah menciptakan kebodohan struktural yang merugikan negara-negara di luar Barat. Contoh kongkret Siswa di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya diajarkan untuk memandang negaranya sendiri sebagai kecil dan kurang signifikan, sementara negara-negara Barat dipersepsikan sebagai besar, kuat, dan pusat peradaban dunia (Blandfort, 2018)[3]. Hal ini berdampak pada rendahnya kepercayaan diri Nasional, hilangnya perspektif kritis, dan penerimaan pasif terhadap dominasi Barat baik dalam sains, ekonomi, maupun budaya (Liao, 2024)[4].
Model Bayesian persuasion telah menunjukkan bahwa ketika sender (Barat) mampu mengontrol struktur komunikasi dan menentukan siapa yang mengakses informasi tertentu, maka penerima (negara-negara lain) akan menerima dan bertindak berdasarkan "partial information" yang telah direkayasa (Babichenko, 2022)[1]. Ini menciptakan kondisi di mana kebodohan dan ketidaktahuan bukanlah akibat keterbatasan intelektual, tetapi disebabkan oleh desain sistem informasi yang bias dan tidak adil yang bersumber dari Unipolar sistemik.
"Information Dominating Set" Identifikasi dan Perlawanan terhadap Hegemoni Unipolar, Gao (2014)[2] memperkenalkan konsep "information dominating set" (IDS) dalam jejaring sosial, yaitu kelompok node yang jika diketahui opininya, maka opini seluruh jaringan dapat diprediksi. Dalam konteks global, Barat menempatkan diri sebagai IDS melalui kontrol terhadap lembaga-lembaga kunci, lembaga rating, media internasional, dan platform pendidikan. Dengan demikian, opini dan persepsi publik dunia dapat diarahkan sesuai kepentingan hegemonik Barat.
Upaya melawan hegemoni ini memerlukan strategi untuk membangun "counter-IDS" di tingkat regional dan nasional, termasuk dengan mengembangkan kurikulum pendidikan yang adil, memperkenalkan peta heliosentris, dan memperkuat narasi alternatif di media lokal dan internasional. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital dan jejaring sosial dapat digunakan untuk mendistribusikan informasi yang lebih akurat dan membangun kesadaran kritis di kalangan generasi muda Indonesia (Wu, 2024)[5].
Penulis mengupas secuil Mitos Kekayaan Barat dan Realitas Sumber Daya Indonesia sebagai Dekonstruksi Unipolar dalam Narasi Kekayaan Barat. Selain distorsi visual, Barat juga memanfaatkan narasi kekayaan dan kemakmuran untuk memperkuat posisi hegemoniknya. Narasi ini sering diulang dalam media dan pendidikan global, bahwa Amerika dan Eropa adalah pusat kekayaan dunia, sementara negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin dianggap miskin dan tertinggal (Liao, 2024)[4]. Namun, jika dilihat secara objektif, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa, baik dari segi energi, mineral, keanekaragaman hayati, maupun sumber daya manusia.
Babichenko (2022)[1] dan Gao (2014)[2] menekankan bahwa persepsi kekayaan dan kemajuan sering kali dibangun melalui pengelolaan informasi dan opini, bukan semata-mata berdasarkan fakta obyektif. Kekayaan riil Amerika dan Eropa tidak akan pernah mampu menandingi potensi sumber daya Indonesia jika dikelola secara optimal dan berkeadilan. Namun, selama narasi global tetap dikuasai Barat melalui instrumen visual, statistik, dan opini, maka persepsi dunia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai "negara kecil" dan "miskin". ini penting bagi Kebijakan Pendidikan dan Nasionalisme menangkis dan mengcounter balik Kebohongan-kebohongan sistemik semacam ini harus dihadapi dengan informasi faktual melalui reformasi kurikulum pendidikan nasional yang lebih kritis dan berorientasi pada fakta. Terkait Pengenalan peta heliosentris bukan sebagai patokan tetapi kebohongan terstruktur dan sistemik, penekanan faktual pada sejarah dan kebudayaan lokal yang megah dibandingkan kondisi barat yang masih menjadi Homo Sapiens hingga Akhir abad 14 dan batu bangkit di abad 18 akhir setelah runtuhnya dinasti ottoman, negara barat saat itu mengalami "the dark Age" jaman kegelapan yang diartikan sebagai jaman kebodohan masif dan terstruktur (Jaman Jahiliyah jilid 2), ini serta merta membutuhkan penguatan literasi kritis terhadap informasi dan statistik dan sejarah global untuk menjadi langkah strategis dalam membangun kepercayaan diri nasional dan melawan narasi unipolar Barat.
Narasi dan Modul Pendidikan yang adil dan berbasis fakta adalah kunci untuk membangun generasi muda yang mampu bersaing dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tidak ada lagi Dominasi Barat melalui Teknologi, Media, dan Artificial Intelligence
Algoritma, Big Data, dan Penyesatan Informasi.
Dominasi informasi Barat tidak hanya terjadi pada tataran visual dan narasi, tetapi juga pada level teknologi dan pengelolaan big data. Algoritma pencarian, media sosial, dan sistem artificial intelligence (AI) global banyak didesain, dikembangkan, dan dikontrol oleh perusahaan-perusahaan Barat, yang secara sistemik dapat menampilkan dan memprioritaskan informasi sesuai kepentingan mereka (Liao, 2024)[4]. Teknologi seperti "image-text embedding" dan "multi-modal classification" dapat digunakan untuk menyeleksi dan menonjolkan narasi tertentu, sementara narasi alternatif dari negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan atau diabaikan (Wu, 2024)[5]. Bahkan AI telah dimodifikasi untuk menjadikan modal prioritas dan kepastian bagi pengguna untuk menalar referensi barat dan bukan kenyataan dengan fakta yang ada. Penulis menyatakan segudang data akan hancur karena bertentangan fakta yang ada, seperti sejarah yang dituliskan dan diatur oleh penjajah.
Dalam konteks ini, reformasi pendidikan harus mencakup penguatan literasi digital dan pemahaman kritis terhadap algoritma dan pengelolaan data. Generasi yang harus dibekali dengan kemampuan untuk memahami, menilai, dan bahkan mengembangkan teknologi sendiri (Adhyp Glank), agar mampu bersaing dan tidak sekadar menjadi konsumen pasif dalam ekosistem digital global (Babichenko, 2022)[1]. Pendidikan tinggi dan riset nasional harus diarahkan untuk mengembangkan teknologi lokal yang dapat mendukung kemandirian informasi dan melawan dominasi Barat di era digital sampai kapanpun dan dimanapun.
Kejahatan Unipolar dalam pendidikan dan informasi global merupakan fenomena sistemik yang tercermin dalam penggunaan peta holosentrik, kedustaan pengelolaan narasi kekayaan barat yang sebenarnya hasil merampok SDA bangsa lain termasuk Indonesia, Afrika dan lainnya, serta dominasi teknologi dan informasi oleh negara-negara Barat kini pun rancu dengan India dan Cina. Kejahatan Unipolar menjadi Distorsi visual dan narasi yang bias tidak hanya membentuk persepsi publik dunia, tetapi juga melemahkan kepercayaan diri dan daya saing negara-negara seperti Indonesia dan Negara Non-Barat. Model Bayesian persuasion dan information dominating set memberikan kerangka teoretis untuk kita bisa memahami bagaimana dominasi informasi ini dijalankan secara strategis.
Indonesia harus merespons tantangan ini melalui reformasi dan seleksi modul pengajaran dalam pendidikan, penguatan literasi kritisme dan dukungan digitalisme, serta pengembangan teknologi lokal yang mandiri bukan kembali ke budaya peradaban batu feodalis ala Raja. dengan terjadinya Peralihan ke peta heliosentris dan narasi berbasis fakta hanya sebagai langkah awal dalam perjuangan panjang untuk membangun dunia yang lebih adil, setara, dan beragam. Dunia pendidikan dan informasi tidak lagi menjadi instrumen dominasi Barat, melainkan sarana kemerdekaan dalam pembebasan dan pemberdayaan bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya di Indonesia tercinta (Adi Putra, (Adhyp Glank)-Penulis. 2025)
Bersambung...
Daftar Pustaka[1] Babichenko, Y., Talgam-Cohen, I., Xu, H., & Zabarnyi, K. (2022). Multi-Channel Bayesian Persuasion. arXiv:2111.09789v2. http://arxiv.org/pdf/2111.09789v2
[2] Gao, J., Zhao, Q., & Swami, A. (2014). Minimum Information Dominating Set for Opinion Sampling. arXiv:1405.5572v1. http://arxiv.org/pdf/1405.5572v1
[3] Blandfort, P., Patton, D., Frey, W. R., Karaman, S., Bhargava, S., Lee, F.-T., Varia, S., Kedzie, C., Gaskell, M. B., Schifanella, R., McKeown, K., & Chang, S.-F. (2018). Multimodal Social Media Analysis for Gang Violence Prevention. arXiv:1807.08465v1. http://arxiv.org/pdf/1807.08465v1
[4] Liao, B., Kozielski, M., Hewavitharana, S., Yuan, J., Khadivi, S., & Lancewicki, T. (2024). ITEm: Unsupervised Image-Text Embedding Learning for eCommerce. arXiv:2311.02084v2. http://arxiv.org/pdf/2311.02084v2
[5] Wu, Z., Liu, B., Yan, R., Chen, L., & Delteil, T. (2024). Reducing Distraction in Long-Context Language Models by Focused Learning. arXiv:2411.05928v1. http://arxiv.org/pdf/2411.05928v1
[6] Dughmi, S. (2014). Algorithmic Bayesian persuasion. Proceedings of the 46th Annual ACM Symposium on Theory of Computing, 127--136.
[7] Kamenica, E., & Gentzkow, M. (2011). Bayesian persuasion. American Economic Review, 101(6), 2590--2615.
[8] Bergemann, D., & Morris, S. (2016). Information design: A unified perspective. Journal of Economic Literature, 54(1), 44--95.
[9] Candogan, O. (2017). Optimal signaling in Bayesian persuasion: Information structures with externalities. Journal of Economic Theory, 172, 60--96.
[10] Kerman, J., & Tenev, T. (2021). Private Bayesian persuasion on social networks. Games and Economic Behavior, 127, 348--366.
[11] Galperti, S., & Perego, J. (2017). Information design with communication constraints. Econometrica, 85(2), 551--588.
[12] Blackwell, D. (1951). Comparison of Experiments. Proceedings of the Second Berkeley Symposium on Mathematical Statistics and Probability, 93--102.
[13] Brooks, B., Frongillo, R., & Tardos, . (2015). Hierarchies in information structures. Games and Economic Behavior, 91, 1--22.
[14] Mathevet, L., & Taneva, I. (2020). Vertical signaling in organizations. RAND Journal of Economics, 51(1), 175--207.
[15] Bergemann, D., & Morris, S. (2013). Robust predictions in games with incomplete information. Econometrica, 81(4), 1251--1308.
[16] Dughmi, S., & Xu, H. (2017). Algorithmic Bayesian persuasion with externalities. Proceedings of the 2017 ACM Conference on Economics and Computation, 233--250.
[17] Fehr, E., & Schmidt, K. (1999). A theory of fairness, competition, and cooperation. Quarterly Journal of Economics, 114(3), 817--868.
[18] Candogan, O. (2018). Information aggregation in networks. Management Science, 64(2), 807--826.
[19] Dosovitskiy, A., Beyer, L., Kolesnikov, A., Weissenborn, D., Zhai, X., Unterthiner, T., ... & Houlsby, N. (2021). An image is worth 16x16 words: Transformers for image recognition at scale. arXiv preprint arXiv:2010.11929.
[20] Press, O., et al. (2021). Train short, test long: Attention with linear biases enables input length extrapolation. arXiv preprint arXiv:2108.12409.
[21] Suhr, A., Zhou, C., Zhang, I., & Artzi, Y. (2019). A corpus for reasoning about natural language grounded in photographs. Transactions of the Association for Computational Linguistics, 7, 455--470.
[22] Manning, C. D., Raghavan, P., & Schtze, H. (2008). Introduction to Information Retrieval. Cambridge University Press.
[23] Radford, A., Kim, J. W., Hallacy, C., Ramesh, A., Goh, G., Agarwal, S., ... & Sutskever, I. (2021). Learning transferable visual models from natural language supervision. Proceedings of the International Conference on Machine Learning, 139, 8748--8763.
[24] Vaswani, A., Shazeer, N., Parmar, N., Uszkoreit, J., Jones, L., Gomez, A. N., ... & Polosukhin, I. (2017). Attention is all you need. Advances in Neural Information Processing Systems, 30.
[25] Izacard, G., et al. (2022). Contriever: Unsupervised dense passage retrieval with contrastive learning. arXiv preprint arXiv:2112.09118.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI