Mohon tunggu...
adinugroho
adinugroho Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

pecinta masakan padang dan selalu rindu dengan rendang buatan ibunda tercinta. suka jalan-jalan di tempat baru, tapi tidak suka tersesat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Apa Betul) Bukan Ahok yang rugi Kalau Gak Nyagub

24 April 2016   11:39 Diperbarui: 24 April 2016   11:47 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: www.merdeka.com"][/caption]

Dalam dunia perpolitikan nasional saat ini, nama Ahok sudah menjadi daya tarik yang tiada habisnya. Banyak pejabat negara, akademisi hingga pengamat yang tidak jelas kompetensinya pun turut latah berkomentar bila isu yang muncul masih berkaitan dengan Ahok (terlepas dari motif mereka).

Pun demikian di media Kompasiana, ragam opini tentang Ahok silih berganti mulai dari yang Pro maupun Kontra hingga yang abu-abu dengan argumentasi yang tidak jelas juga ada.  Kemarin saya membaca salah satu tulisan milik Semuel S Lusi : “Bukan Ahok yang Rugi Kalau Gak Nyagub” yang bagi saya menarik untuk dibahas (tentu selain judulnya yang memancing perhatian).

Tulisan tersebut disusun begitu menarik dengan opini Pro Ahok di awal tulisan, namun pada konklusi yang dihadirkan malah menyarankan Ahok agar mundur dari Cagub DKI 2017, dengan argumentasi suasana tidak kondusif bagi keberlangsungan pembangunan karena efek Ahok (yang dikatakan memiliki gaya komunikasi yang keras, spontan, dan cenderung memperbanyak musuh). Selain itu menurut Semuel S Lusi mundurnya Ahok membawa kebaikan bagi banyak orang, terutama dengan majunya Djarot – Heru yang pasti bisa meneruskan membangun DKI selanjutnya dengan lebih baik.

Saya tergelitik untuk sedikit mengomentari tulisan Semuel S Lusi : “Bukan Ahok yang Rugi Kalau Gak Nyagub”, bukan karena saya Pro Ahok, namun hanya ingin menguji premis pendapat Semuel S Lusi dengan fakta sosial dan politik yang ada di DKI maupun di Indonesia.

“Selama Ahok memimpin DKI, kekisruhan tidak akan terhenti. Diperparah dengan dengan gaya komunikasi Ahok yang keras, spontan dan telanjang akan cenderung memperbanyak musuh daripada merekonsiliasi dan memperbanyak sumber daya strategis yang dibutuhkan untuk membangun. Karenanya, cukup potensil tercipta suasana tidak kondusif bagi keberlangsungan pembangunan”. Secara sederhana sepertinya ingin mengatakan, Ahok menyebabkan kondisi DKI penuh kekisruhan, yang kontraproduktif bagi pembangunan.

Pendapat saya, selama manusia hidup kekisruhan akan tetap ada, karena masing-masing memiliki cara pikir/cara pandang maupun kepentingan yang berbeda satu sama lain. Bahkan seharmonis apapun rumah tangga, kekisruhan pasti pernah terjadi (bisa hanya karena beda pendapat). Kekisruhan adalah dinamika yang wajar dalam pemerintahan, malah patut dicurigai segala sesuatunya tenang, dan mudah sepakat. Fakta di DKI, kekisruhan terjadi karena pihak eksekutif maupun legislatif tidak bekerja sesuai jobdescnya, tidak sesuai marwahnya. Coba lihat, tidak masuk dinalar sehat kita saat DPRD meloloskan anggaran milyaran rupiah untuk UPS maupun alat fitnes di sekolah. Kisruh terjadi karena Ahok menolak anggaran tsb yang tidak sesuai prioritas dan tidak masuk akal (bila diterima, pastinya tidak akan pernah ada kisruh UPS).

Gaya komunikasi seseorang memang betul mempengaruhi proses berinteraksi dan berelasi. Namun saya anggap tidak adil bila seseorang distigma (dilabeli) karena gaya komunikasinya, karena gaya komunikasi pastinya mengikuti kondisi riil saat itu. Bila kita memergoki dan menangkap maling, apakah tutur kata kita akan tetap datar dan santun seperti saat kita menghadapi atasan kerja kita ? Gaya komunikasi itu situasional. Ahok berbicara tegas dan keras saat (situasi) berhadapan dengan maling uang rakyat, namun berbeda saat menghadapi PPSU yang bekerja dengan benar. Bila gaya komunikasi dijadikan parameter menilai baik buruknya seseorang, ada baiknya kita melihat ke penjara, dimana mereka yang dijebloskan KPK, sangat santun dalam berkomunikasi bahkan mengumbar senyum saat diliput media.

“ Rekonsiliasi Ahok-PDIP berjalan, sekaligus juga rekonsiliasi dengan berbagai elemen pembangunan dan mitra strategis seperti DPRD, BPK, KPK, DPR-RI, yang selama ini dirasakan “dilukai” oleh Ahok.”

Menurut saya, Semuel S Lusi terlalu berlebihan dengan mengatakan rekonsiliasi, apalagi membawa nama DPRD, BPK, KPK, DPR-RI. Penulis artikel tersebut menyesatkan pikir, karena ingin menunjukan seakan-akan ada konflik antara Ahok dengan instansi/lembaga negara. Padahal kekisruhan yang terjadi karena oknum anggota di instansi/lembaga negara tersebut (harus dibedakan, tidak bisa disamakan). Kata Rekonsiliasi tepat digunakan bila masing-masing pihak yang bertikai setara, contoh riil rekonsiliasi di tubuh PPP atau Golkar. Namun bila digunakan untuk Ahok sebagai Gubernur DKI, tidaklah pas karena yang bertikai adalah dengan oknum di instansi/lembaga. Meskipun Ahok berseteru dengan Fadli Zon (wakil ketua DPR RI), apakah bisa dikatakan Ahok berseteru dengan DPR RI sebagai Lembaga Negara ? Tidak. Justru sangat tersesat pikir bila ada yang mengatakan ya.

“Kontinuitas pembangunan DKI berjalan mulus karena Djarot yang selain sudah teruji berprestasi selama menjadi walikota dua periode di Blitar, juga selama ini telah mendampingi Ahok sebagai Wagub.“

Menurut saya, prestasi yang dicapai oleh Djarot sebagai Walikota Blitar patut diapresiasi, dan juga saat sebagai Wagub; namun tidak berarti bisa dikatakan sudah teruji di level DKI Jakarta. Bahkan patut disayangkan saat Djarot mengkritik kebijakan yang diterapkan oleh Pemprov seperti mengkritik Reklamasi, hingga penerapan Qlue padahal dia adalah bagian dari Pemprov DKI. Seharusnya Djarot bersikap kritis secara internal dengan memberikan solusi atas kebijakan Pemprov yang dirasa masih kurang pas. Kapasitas kepemimpinan seseorang tidak serta merta dapat diturunkan dari Gubernur ke Wagubnya. Suksesi kepemimpinan yang ada hanya pada jabatan (kewenangan) bukan kapasitas (kemampuan) kepemimpinan.  

“Dengan terbangunnya “infrastruktur pengawasan’ dan “struktur politik pembangunan” seperti di atas, pemimpin pengganti Ahok kelak tidak akan mudah melakukan perubahan-perubahan tatanan yang dinilai publik sebagai kemunduran.”

Kata infrastruktur pengawasan dan struktur politik pembangunan, menurut saya hanya seperti buih dalam tulisan yang diletakan agar terlihat berbobot, meski tidak jelas deskripsinya. Bila itu dipahami oleh Semuel S Lusi sebagai pengawasan masyarakat sipil yang ketat, dukungan pemerintah pusat (Presiden), perhatian DPR RI dan roadmap pembangunan DKI yang telah terumuskan, itu tidak tepat. Pada konteks pemerintahan (trias politica), peran sentral pengawasan ada pada legislatif. Permasalahan yang ada, pihak legislatif banyak yang tidak bekerja sesuai jobdescnya (tidak sesuai marwahnya) bahkan tidak berbobot sama sekali. Sehebat apapun pengawasan masyarakat sipil, secara yuridis, pihak legislatif’lah yang berwenang. Lihat fakta di MKD DPR RI bagaimana hasilnya pada Kasus papa minta saham, padahal saat itu masyarakat sipil sangat keras bersuara. Bukan membangun infrastruktur pengawasan, tetapi lebih tepat mengfungsikan pengawasan yang dijalankan sebagaimana mestinya, karena struktur pengawasan di pemerintahan itu sudah lengkap, hanya saja mandul tidak berfungsi.

Dukungan pemerintah pusat maupun DPR adalah hal yang wajar dan memang harus terjadi. Hanya saja semua ada aturan dan koridornya. Tidak bisa DPR RI begitu saja nimbrung berkaitan kinerja Pemprov DKI (sudah salah kamar). Demikian halnya dengan roadmap pembangunan,yang hanya panduan dalam pembangunan, bergantung pada subyek (pelaku) pembangunan. Adanya roadmap tidak menjamin pembangunan akan dilaksanakan sesuai arah dan panduan tersebut. Lihat bagaimana Indonesia saat itu punya GBHN yang luar biasa, namun tetap saja pembangunan berjalan timpang, diskriminatif, KKN tetap tumbuh subur.

“...menegaskan kesimpulan saya, bahwa Ahok tidak rugi kalau tidak nyagub. Masyarakat DKI juga tidak rugi. Indonesia tidak rugi. Ahokers dan haters juga. Semua senang, semua menang.”

Saya setuju bila Ahok tidak keberatan kalau tidak nyagub, karena dia tidak terikat pada kekuasaan / jabatan, bahkan dia siap menyerahkan jabatan Gubernur bila memang tidak memungkinkan lagi untuk bersaing di Pilgub DKI 2017. Namun apa benar dia tidak rugi ? Ahok juga pastinya gelisah saat pemerintah DKI tidak memberikan keadilan sosial sebagaimana yang diharapkan. Pastinya gelisah saat tidak menuntaskan program dan sistem yang telah ia bangun. Dan pastinya lebih gelisah saat apa yang telah dikerjakannya, justru disalahgunakan. Apa betul Ahok tidak rugi kalau gak nyagub ?

Namun bila dikatakan masyarakat DKI juga tidak rugi, Semuel S Lusi terlalu gegabah. Apakah ada jaminan bahwa pembangunan DKI pasti akan berjalan lebih baik bila tidak dipimpin lagi oleh Ahok ? Lihat saja bagaimana para bakal calon gubernur lain seperti Djarot, Yusril, Lulung maupun Sandiaga Uno pun tidak jelas visi-misi, maupun program kerja yang ditawarkan. Bila program kerjanya saja tidak jelas, bagaimana bisa dijadikan garansi/jaminan ? Lihat bagaimana animo masyarakat yang menyerahkan KTP ke Teman Ahok, yang dalam kurun satu bulan saja telah memenuhi minimum persyaratan KPU. Bila mereka sebagai masyarakat DKI tidak keberatan dipimpin oleh orang lain selain Ahok, pastinya tidak akan seantusias itu.

Apakah betul Indonesia tidak rugi bila Ahok tidak lagi menjabat sebagai Gubernur ? Menurut saya Semuel S Lusi hanya asbun dalam tulisannya, tanpa menunjukan argumentasi yang jelas. Bentuk dukungan yang terus muncul bahkan dari komunitas WNI di Amerika Serikat, menunjukan keinginan mereka agar Ahok tetap menjadi Gubernur DKI di periode selanjutnya.

Terlepas dari arah dukungan politik penulis, sebuah tulisan seharusnya mencerdaskan bukan sebaliknya dan semoga sedikit komentar ini membawa budaya baru berdialog via tulisan.

Tidak ada gading yang tak retak, mewakili keluarga gajah, saya mohon maaf bila ada kekurangan.

–by.Cak Lontong-

 

Salam.

@Adinug

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun