Sejarah: Layak Didokumentasikan, Tapi Siapkah Kita Ditonton Kembali?
Di zaman ini, sejarah tidak hanya ditulis. Ia direkam. Diupload. Disiarkan langsung.
Dan tak jarang, justru versi visual yang lebih dipercaya, karena dianggap "real".
Tapi benarkah demikian?
Saya sering bertanya pada diri sendiri:
Jika suatu hari nanti, generasi setelah kita menonton ulang video sejarah kita hari ini: perang, kekerasan, ketidakadilan, kekejaman yang nyaris tanpa sensor, apakah mereka akan memaafkan? Atau justru membalas?
Video: Bukti Nyata, atau Framing Sementara?
Kita hidup di era di mana satu video bisa membentuk opini global.
Tapi kita juga tahu, video bisa dipotong. Diatur sudutnya. Diberi musik dramatis.
Dan lebih dari itu, video hanya menampilkan apa yang ada di depan kamera, bukan seluruh kebenaran.
Bayangkan sejarah hanya dibuat lewat video:
Siapa yang memegang kamera?
Siapa yang menentukan mana yang ditayangkan?
Siapa yang tak sempat terekam, dan akhirnya dilupakan?
Teks: Terlalu Sunyi untuk Dibaca?
Menulis sejarah memberi ruang berpikir.
Ia lebih lambat, lebih dalam, lebih bisa direnungkan.
Tapi... siapa yang mau membaca di tengah banjir konten visual?
Di sisi lain, teks bisa dimanipulasi oleh kekuasaan.
Rezim bisa memalsukan narasi. Pemenang bisa menghapus luka-luka yang tak ingin diakui.
Jadi kita pun kembali bertanya:
Apakah sejarah akan menjadi kebenaran kolektif... atau hanya jadi tontonan emosional yang tak sempat diverifikasi?
Balas Dendam yang Tertunda?
Inilah risiko dari sejarah yang terlalu nyata:
ia membuka luka.
Dan luka yang didokumentasikan dengan jelas bisa diwariskan ke generasi berikutnya.
Bayangkan anak-anak bangsa yang kelak menonton pembantaian di layar besar, yang melihat wajah kakeknya dibakar atau dipukul habis-habisan oleh orang berseragam.
Apakah mereka akan belajar memaafkan?
Atau merasa harus "menuntaskan" yang dulu tidak selesai?
Jadi, Haruskah Kita Mendokumentasikan Sejarah?
Ya. Sejarah harus dicatat. Harus direkam.
Tapi bukan untuk membanggakan kekejaman atau menumpuk trauma.
Melainkan untuk belajar. Untuk bertanggung jawab. Untuk berhenti mengulang.
Sejarah yang tak didokumentasikan akan hilang.
Tapi sejarah yang didokumentasikan tanpa empati akan jadi alat balas dendam di masa depan.
Menulis sejarah bukan sekadar mencatat kejadian.
Merekam sejarah bukan sekadar mengabadikan momen.
Kita sedang mewariskan persepsi.
Dan itu jauh lebih berbahaya dari sekadar arsip.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI