Teks: Terlalu Sunyi untuk Dibaca?
Menulis sejarah memberi ruang berpikir.
Ia lebih lambat, lebih dalam, lebih bisa direnungkan.
Tapi... siapa yang mau membaca di tengah banjir konten visual?
Di sisi lain, teks bisa dimanipulasi oleh kekuasaan.
Rezim bisa memalsukan narasi. Pemenang bisa menghapus luka-luka yang tak ingin diakui.
Jadi kita pun kembali bertanya:
Apakah sejarah akan menjadi kebenaran kolektif... atau hanya jadi tontonan emosional yang tak sempat diverifikasi?
Balas Dendam yang Tertunda?
Inilah risiko dari sejarah yang terlalu nyata:
ia membuka luka.
Dan luka yang didokumentasikan dengan jelas bisa diwariskan ke generasi berikutnya.
Bayangkan anak-anak bangsa yang kelak menonton pembantaian di layar besar, yang melihat wajah kakeknya dibakar atau dipukul habis-habisan oleh orang berseragam.
Apakah mereka akan belajar memaafkan?
Atau merasa harus "menuntaskan" yang dulu tidak selesai?
Jadi, Haruskah Kita Mendokumentasikan Sejarah?
Ya. Sejarah harus dicatat. Harus direkam.
Tapi bukan untuk membanggakan kekejaman atau menumpuk trauma.
Melainkan untuk belajar. Untuk bertanggung jawab. Untuk berhenti mengulang.
Sejarah yang tak didokumentasikan akan hilang.
Tapi sejarah yang didokumentasikan tanpa empati akan jadi alat balas dendam di masa depan.
Menulis sejarah bukan sekadar mencatat kejadian.
Merekam sejarah bukan sekadar mengabadikan momen.