Jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya, Doni sering merasa “dianaktirikan” oleh nasib. Ia selalu saja merasa sial, dan sepanjang tahun ini, kesialan yang didapatnya mencapai puncaknya ketika ia memutuskan akan mengakhiri hidupnya.
Jika dirunut ke belakang, sebetulnya kesialan itu berawal ketika ia memutuskan “cabut” dari kantornya. Keinginan untuk keluar dari perusahaan tersebut sesungguhnya sudah muncul setahun belakangan.
Namun, ia terlalu takut mengajukan surat pengunduran diri yang sudah ditulisnya secermat mungkin, sehingga surat itu hanya tersimpan rapi di laci meja kerjanya.
Semua itu sebetulnya “buntut” dari kekecewaannya atas sikap bosnya yang sok berkuasa. Menurutnya, bosnya adalah orang yang egois.
Bosnya hanya bisa memerintah, mengkritik, dan memberi kerjaan seperti “seorang tiran”, tanpa memerhatikan stafnya, yang seolah sudah “susah bernapas” karena dihajar banyak tugas.
Makanya, selama bekerja di bawah kekuasaannya, Doni sering merasa stres, bahkan depresi lantaran mendapat tuntutan kerja yang terlampau berat.
“Mentang-mentang berkuasa, kasih kerjaan seenak jidat,” keluhnya kepada seorang rekan kerja, sewaktu ia minum kopi di sebuah warung, dekat kantor.
Apalagi, kemudian, satu per satu rekan kerjanya memutuskan hengkang dari kantor. Hal itu tentunya tak membesarkan hati. Sudah dapat bos yang otoriter, sekarang teman kerja banyak yang pergi!
Maka, sewaktu pulang kerja, perasaan Doni sering awut-awutan, seperti benang kusut. Ia pun kerap menenggak aspirin untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya.
Sesekali ia juga meminum obat penenang supaya insomnia yang dialaminya lenyap, dan ia bisa tidur dengan lelap, seperti bayi yang tak memikirkan persoalan duniawi.
Di satu sisi, ia ingin betul segera cabut dari kantor. Namun, di sisi lainnya, ia belum siap mencari kerja di tempat yang baru. Apalagi, pada waktu itu, angka pengangguran tengah meningkat, lantaran ribuan pekerja banyak yang dirumahkan, seperti yang terjadi pada kasus Freeport.