Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Di Balik Saham yang "Melesat" Terdapat Manajemen yang Hebat?

25 Januari 2021   07:00 Diperbarui: 25 Januari 2021   11:05 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kualitas manajemen perusahaan juga jadi salah satu faktor pertimbangan dalam memilih saham| Sumber: Thinkstock via Kompas.com

"Tapi, bagaimana kita bisa lihat prospek perusahaan pada masa depan? Bukankah laporan keuangan hanya menunjukkan kondisi terdekat yang paling relevan dengan perusahaan?" 

Pertanyaan tadi diajukan oleh seorang teman, yang masih belajar tentang cara berinvestasi saham. Karena latar pendidikannya adalah ekonomi, maka saya tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar tentang cara menganalisis laporan keuangan, yang notabenenya merupakan "modal" awal bagi kita untuk menemukan saham yang layak dibeli. 

Saya yakin, dengan sedikit penjelasan, teman saya sudah bisa memahaminya sebaik mungkin, sehingga ia bisa mengetahui kriteria perusahaan yang bagus. 

Meski begitu, yang membuatnya bingung ialah soal kemampuan perusahaan untuk terus bertumbuh pada masa depan. Hal inilah yang tidak dapat ditemukan di laporan keuangan atau laporan tahunan yang dirilis perusahaan. 

Manajemen/ sumber: avepoint.com
Manajemen/ sumber: avepoint.com
Wajar, laporan tersebut hanya memperlihatkan kinerja perusahaan pada masa lalu, tidak lebih. Alhasil, kalau hanya menganalisis laporan tersebut saja, maka kita tidak bakal mengetahui apakah perusahaan berpotensi mencatatkan "prestasi" yang sama pada masa depan atau tidak.

Oleh sebab itu, selain kondisi keuangannya, kita juga mesti mencermati aspek lain, yakni faktor manajemen. Bagaimanapun, yang "menahkodai" sebuah bisnis adalah manajemen, sehingga kualitas manajemen cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan perusahaan pada masa depan.

General Electric 

Ada cukup banyak contoh yang menegaskan hal ini. Sebut saja cerita kejayaan General Electric (GE) pada tahun 1980-1990-an. General Electric adalah perusahaan terkemuka asal Amerika Serikat, yang mempunyai lini bisnis yang sangat beragam, mulai dari sektor elektronik, permesinan, hingga keuangan. 

Perusahaan yang salah satu pendirinya adalah Thomas Alva Edison ini memasuki "masa keemasan" di bawah kepemimpinan Jack Welch. Welch mulai menjabat sebagai CEO GE pada awal tahun 1980, dan sejak saat itu, ia melakukan sejumlah ekspansi terhadap bisnis GE. 

Jack Welch/ Sumber: www.ft.com
Jack Welch/ Sumber: www.ft.com
Pada masanya, Welch kerap memangkas jumlah karyawan, menjual lini bisnis yang tidak menguntungkan, dan memulai bisnis baru yang dianggap prospektif. Alhasil, GE pun menjelma menjadi perusahaan konglomerasi, yang memiliki banyak anak usaha. 

Tentu saja, hal itu turut meningkatkan pertumbuhan penjualan dan laba yang dicetak GE dari tahun ke tahun. Ketika Welch mengomandoi GE pada awal tahun 1980-an, harga saham GE hanya sebesar 1,3 USD. Namun, dalam 2 dekade kemudian, sahamnya dihargai 58 USD, alias telah "meroket" lebih dari 40 kali lipat daripada sebelumnya! 

Setelah Welch pensiun pada tahun 2001, rekor harga tersebut belum pernah terlampaui hingga hari ini. Alhasil, biarpun sudah berganti beberapa CEO, namun belum ada seorang pun yang sanggup mengulang "cerita manis" yang ditorehkan Jack Welch pada masa lampau.

Apple

Contoh lainnya adalah kisah kebangkitan Apple. Sejak berdiri, Apple merupakan salah satu perusahaan teknologi yang cukup menyita perhatian masyarakat Amerika Serikat. 

Maklum, produk-produk yang dirilisnya kerap menciptakan tren tersendiri di tengah masyarakat. Alhasil, biarpun dijual dengan harga "premium", namun ada cukup banyak yang bersedia membeli dan mencintainya.

Keberhasilan Apple sebagai salah satu perusahaan yang paling bernilai di dunia bisa muncul berkat kerja keras manajemennya, terutama kelihaian CEO-nya Steve Jobs. 

Di bawah komando Jobs, perusahaan yang nyaris bangkrut pada akhir tahun 1990-an ini mampu bangkit dan kemudian mencatatkan kinerja yang sangat gemilang. Semua itu bisa terjadi setelah Jobs sukses "menelurkan" produk-produk yang sangat laris di pasaran, seperi Imac, Ipod, dan Iphone.

Steve Jobs/ sumber: businessinsider.com
Steve Jobs/ sumber: businessinsider.com
Jobs memang bukan orang baru di Apple. Ia merupakan salah satu pendiri Apple. Setelah bekerja selama beberapa tahun, ia akhirnya keluar dari Apple, karena berselisih dengan jajaran menajemen lain. Ia kemudian mendirikan perusahaan komputer lain, yaitu Next, yang secara tersirat menjadi salah satu rival Apple.

Setelah Jobs minggat, Apple seperti "kapal" yang melaju tanpa arah yang jelas. Manajemennya kurang inovatif. Produk-produk terbarunya tidak begitu diminati. Pangsa pasarnya pun terus menyusut. Alhasil, tinggal menunggu waktu saja sebelum akhirnya Apple karam dan tenggelam.

Namun, peristiwa itu batal terjadi setelah Jobs terpilih menjadi CEO pada tahun 1998. Pelan-pelan ia mulai merombak bisnis Apple, dan selebihnya adalah sejarah. 

Yang menarik, sewaktu Jobs masuk ke jajaran manajemen, saham Apple dihargai sekitar 0,3 USD/lembar. Sepuluh tahun kemudian, di bawah kepemimpian Jobs, saham Apple sanggup melesat hingga menyentuh harga 11 USD/lembar! 

Alhasil, Jobs tak hanya mampu menciptakan produk-produk yang ikonik, tetapi juga mendongkrak kapitalisasi pasar Apple hingga 36 kali lipat! 

BCA

Hal yang serupa juga terjadi pada Bank BCA. Jika dicermati dari grafik harga sahamnya, maka akan terlihat bahwa saham BCA (bbca) sudah seperti roket, yang terus saja melesat dari tahun ke tahun. Prestasi ini bisa terjadi bukan tanpa sebab. Di balik bisnis yang solid ternyata terdapat jajaran menajemen yang cakap dan jujur.

Saat tulisan ini dibuat, BCA masih dikomandoi oleh Jahja Setiaatmadja. Jahja diketahui menjabat menjadi Direktur Utama BCA sejak tahun 2011. Pada akhir tahun tersebut saham BBCA masih dihargai sekitar Rp 8000/lembar. Namun, setelah sepuluh tahun, nilainya telah bertumbuh lebih dari 4 kali lipat!

Jahja Setiaatmadja/ sumber: lifepal.co.id
Jahja Setiaatmadja/ sumber: lifepal.co.id
Jika membaca biografinya, maka kita akan mengetahui bahwa Jahja merintis kariernya dari bawah. Anak pegawai Bank Indonesia ini awalnya sempat bekerja di PWC dan Kalbe Farma. Pada tahun 1989, ia pindah ke Grup Salim. Saat itu, ia sempat menangani Indomobil, sebelum akhirnya menjadi direktur di BCA.

Meskipun bisnis BCA begitu terpukul akibat krisis 1998, sehingga Grup Salim terpaksa menjualnya kepada Grup Djarum, Jahja tetap bertahan. Sejak saat itulah, kariernya semakin berkembang, hingga puncaknya ia kemudian dipilih menjadi Direktur Utama BCA.

Di bawah kepemimpinan Jahja, performa bisnis BCA semakin moncer. Maka, jangan heran, pemegang saham BBCA terus mempertahankannya sebagai Direktur Utama. Pemegang saham sepertinya yakin, apabila ia terus menjabat sebagai dirut, maka bisnis BCA bakal terus berkembang dalam beberapa tahun ke depan.

Kualitas Manajemen

Ketiga cerita di atas mungkin merupakan "secuil" contoh yang memperlihatkan betapa berpengaruhnya peran manajemen dalam menyukseskan perusahaan. 

Alhasil, kualitas manajemen jelas tidak boleh dikesampingkan dan diabaikan dalam memilih saham. Sebab, sebagus apapun sebuah model bisnis, tetapi kalau yang mengelolanya adalah orang-orang tidak beres, maka hasilnya tentu tidak akan begitu bagus.

Oleh karena itu, pada saat menyeleksi saham, saya suka membaca profil manajemen yang biasanya ditampilkan di Laporan Tahunan. Apabila informasinya masih belum lengkap, maka saya akan mencari informasi sebanyak mungkin dari sumber lain. Semua itu dilakukan demi memperkuat keyakinan saya terhadap kualitas manajemennya. 

Kemudian, hal-hal apa yang mesti dilihat dalam menilai kualitas manajemen? Sederhana saja. Saya lebih menyukai manajemen yang sudah lama memimpin dan menggenggam saham perusahaan dalam jumlah yang banyak. 

Alasannya? Semakin lama masa jabatannya, maka semakin jelas kualitasnya. Apabila selama mengelola perusahaan, hasilnya ternyata baik-baik saja, maka itu artinya manajemennya memang dapat diandalkan, sehingga kalau manajemen tadi terus menjabat, maka hasil yang baik pun kemungkinan bakan terus diperoleh pada masa depan.

Beda ceritanya, kalau yang duduk di kursi manajemen adalah orang-orang baru, yang belum begitu berpengalaman dan kinerjanya belum terbukti. Bisa-bisa perusahaan akan dibawa ke arah yang salah, sehingga hasilnya kurang memuaskan para investornya. 

Alhasil, apabila perusahaan yang sahamnya ingin dibeli mempunyai manajemen yang masih terbilang baru, maka sebaiknya tunggu saja kinerjanya lebih lanjut untuk memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang tepat, yang bisa menyetir perusahaan ke arah yang lebih baik.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun