Sampai tulisan ini dibuat (31/01), sudah seminggu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) "terpapar" Virus Corona. IHSG yang pada hari Senin (27/10) masih bercokol di angka 6200-an sekarang terjerembab ke angka 5900-an. Artinya, hanya dalam waktu lima hari perdagangan, IHSG telah melorot sebanyak 4%!
Tentu saja hal itu bukan kabar yang bagus untuk para investor. investor yang tadinya mengharapkan "tuah" dari January Effect tampaknya harus menelan kenyataan pahit. Sebab, alih-alih terangkat, IHSG malah "ambyar" pada bulan ini.
Boleh jadi, jumlah korban akan terus bertambah beberapa minggu ke depan, mengingat ilmuwan belum menemukan vaksin yang terbukti bisa mengobati serangan penyakit ini. Oleh sebab itu, WHO kemudian mengumumkan "Darurat Kesehatan Global" untuk mencegah penyebaran virus ini lebih luas.
"Alarm" yang digaungkan oleh WHO tadi sontak membikin pasar saham geger. Meskipun belum ada berita bahwa penyebaran Virus Corona sudah masuk ke Indonesia, investor tetap saja melakukan aksi jual terhadap saham yang dimilikinya. Investor tampaknya mengantisipasi efek buruk yang mungkin terjadi kalau wabah Virus Corona belum juga teratasi.
Alih-alih ikut menjual saham seperti investor lain, saya memutuskan tetap mempertahankan saham yang saya miliki. Alasannya? Saya belum melihat bahwa efek yang disebabkan oleh Virus Corona bisa merusak kinerja saham-saham yang saya pegang dalam jangka panjang.
Bagaimanapun, selama fundamental saham yang saya koleksi masih bagus, tidak ada alasan bagi saya untuk menjual saham tadi hanya karena investor "mengobral" sahamnya dalam kondisi panik.
Alasan lain, saya memprediksi bahwa persebaran Virus Corona ini sifatnya hanya sementara. Suatu saat dampaknya juga akan berlalu.
Pemikiran ini bisa muncul jika kita "berkaca" pada sejarah. Dulu kita tahu pernah ada kasus wabah SARS yang merenggut banyak korban jiwa. Biarpun termasuk mematikan, apakah wabah tadi masih berlangsung sampai sekarang? Ternyata tidak. Wabah tersebut sudah lama berlalu.
Kemudian muncul juga penyakit Flu Burung yang sempat bikin heboh pada tahun 2005. Apakah penyakit tadi bertahan lama? Tidak. Seperti wabah SARS, itu pun sudah berlalu. Jadi, dengan melihat kasus-kasus tersebut, saya punya keyakinan kuat bahwa wabah Virus Corona pun suatu saat akan berlalu. Â Â Â
Meskipun begitu, dalam jangka pendek, efek wabah Corona masih akan terus "menggetarkan" IHSG. Bagi investor yang sudah menjual sahamnya, hal itu tentu tak akan berpengaruh banyak terhadap modal investasinya, tetapi bagi yang masih mempertahankan sahamnya, peristiwa ini boleh jadi adalah sebuah "cobaan".
Tentu saja reaksi setiap investor terhadap penurunan IHSG berbeda-beda. Ada yang tetap kalem menyaksikan portofolionya "berdarah-darah" akibat longsornya IHSG. Ada pula yang kemudian jadi panik dan susah tidur setelah membaca banyak kabar buruk terhadap persebaran Virus Corona.
Tipe investor yang mudah gelisah saat IHSG turun tersebut belum menunjukkan kematangan emosi dalam berinvestasi. Investor yang bersangkutan belum terbiasa dengan naik-turunnya bursa saham, sehingga saat harga saham yang dipegangnya turun sedikit saja, sudah muncul pikiran untuk cutloss.
Jika memang mudah gugup menyaksikan penurunan harga saham, sebaiknya investor tersebut jangan terlalu banyak mengalokasikan modalnya untuk membeli saham. Belilah sedikit saham yang sektor usahanya bagus dan fundamentalnya oke, selebihnya investasikan di instrumen lain yang dinilai lebih aman. Hal itu dapat meminimalisasi risiko manakala pasar saham sedang bearish.
Saran lainnya, kalau tetap ingin menggunakan banyak modal untuk berinvestasi di saham saja, pilihlah saham-saham yang kalem. Di lantai bursa, pergerakan saham memang bervariasi. Ada sangat yang sangat liar. Ada pula yang sangat tenang. Seperti manusia, saham juga mempunyai sifat yang berbeda-beda.
Salah satu indikator untuk mengetahui sifat saham ialah BETA. Indikator ini merupakan hasil kalkulasi dari rekasi pergerakan harga saham terhadap fluktuasi bursa dalam rentang waktu tertentu. Semakin besar BETA sebuah saham, semakin reaktif saham tersebut terhadap pergerakan bursa.
Mari kita ambil contoh saham BYAN (PT Bayan Resources Tbk) dan INDY (PT Indika Energy Tbk). Kedua saham tadi sama-sama berasal dari sektor tambang batubara. Keduanya juga tergolong perusahaan besar. Walaupun demikian, sifat sahamnya ternyata berbeda. Saham BYAN diketahui lebih kalem daripada saham INDY.
Hal itu bisa terjadi karena saham BYAN mempunyai BETA 0.14, sementara INDY 2,85. Artinya, jika IHSG naik atau turun, harga saham BYAN cenderung tetap stabil. Buktinya, saham ini masih nyaman bertengger di harga Rp 15.200/ lembar, meskipun saat tulisan ini dibuat, IHSG sedang ambyar hingga 1,5%.
Untuk investor yang gampang kaget terhadap "roller coaster" di bursa saham, sebaiknya memilih saham yang BETA-nya di bawah satu. Saham ini lebih tenang dipegang. Dalam kondisi bursa yang sedang terjangkit Virus Corona sekali pun, harga sahamnya tetap "santuy"!
Sebaliknya, kalau investor menyukai pacuan adrenalin, saham dengan beta berapapun boleh dipilih, asalkan bukan saham gorengan saja.
Salam.