Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Asa "Menepis" Stigma Rasialis Lewat Film Bumi Manusia

3 Agustus 2019   10:09 Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Bumi Manusia (sumber: https://akcdn.detik.net.id/visual/2019/07/06/ef5b3ac8-fa32-483d-aa37-92b7cdba9b84_169.jpeg?w=715&q=90)

Bumi Manusia adalah film Indonesia yang saya tunggu penayangannya pada bulan Agustus ini. Meskipun bukan penikmat film kolosal, saya tertarik menyaksikan film ini karena semasa kuliah, saya pernah membaca novelnya.

Bagi saya, isi novel yang ditulis Pramoedya Ananta Toer itu cukup menarik. Sebab, di dalamnya, kita disuguhkan kisah cinta antara dua sejoli, Minke dan Annelies, yang penuh "liku".

Disebut demikian karena sewaktu menjalin asmara, kedua tokoh tadi mesti menghadapi berbagai rintangan, baik yang berasal dari perbedaan kelas sosial maupun ideologi yang dianut. Maklum, di dalam novel, Minke digambarkan sebagai sosok revolusioner yang punya ideologi yang kerap "berseberangan" dengan Pemerintah Kolonial.

Bagi penguasa, gerak-gerik Minke wajib diawasi. Ia dianggap berbahaya karena dengan kecerdasannya, ia bisa mempengaruhi orang-orang di sekitarnya untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Sementara, Annelies, yang begitu dicintai Minke, ialah gadis keturunan Eropa (baca: Belanda). Meskipun hidup dalam kemapanan, bukan berarti Annelies bebas dari masalah. Persoalan terbesar yang selalu "membayangi" hidupnya ialah status sosial yang diembannya.

Wajar, sebagai seorang blasteran, Annelies punya kedudukan "abu-abu" di mata masyarakat. Orang-orang Eropa enggan mengakui keeropaannya karena di dalam tubuhnya mengalir darah pribumi, yang berasal dari ibunya, yakni Nyai Ontosoroh. Sebaliknya, orang-orang pribumi pun tidak berkenan menerimanya karena fisiknya menyerupai orang Eropa.

Oleh sebab itu, jangan heran, hidup Annelies serba terbatas. Ia mesti menjalani hidup yang berbeda dengan yang lain. Pilihan sekolahnya berbeda. Restoran tempat ia makan juga berbeda. Bahkan, fasilitas umum yang dipakainya juga berbeda! Ia mesti menerima kenyataan hidup demikian di tengah masyarakat yang sangat diskriminatif.

Di dalam novel, status itulah yang kemudian menciptakan konflik tersendiri dalam hidup Annelies. Konflik tadi bertambah intens setelah ia jatuh cinta dengan Minke, yang notabenenya adalah pribumi. Bagaimana dua manusia yang berbeda secara ras ini memperjuangkan cintanya? Selebihnya bisa disaksikan di film Bumi Manusia.

Perbedaan Semesta

Saya enggan menaruh harapan yang terlalu besar untuk film Bumi Manusia. Sebab, saya tahu, "semesta" yang terdapat di novel tentu berbeda dengan "semesta" yang ada di film. Biarlah semesta di film hadir "menyihir" para penonton dengan caranya sendiri.

Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo tentu mempunyai penafsiran dan kreativitas tersendiri sewaktu membesut film ini. Dengan pengalaman yang mumpuni, ia tentu bisa menyajikan film dengan apik, tanpa mengurangi substansi cerita.

Apalagi film ini juga dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan (Minke) dan Mawar Eva de Jongh (Annelies). Meskipun masih terbilang baru, kemampuan akting keduanya tentu telah terasah dengan baik. Pengalaman dalam membintangi film-film sebelumnya jelas menjadi "modal" yang bagus untuk memerankan tokoh ikonik di dalam film ini.

Isu Rasial

Pemilihan tanggal penayangan film yang berdekatan dengan HUT Republik Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Hari Kemerdekaan dinilai menjadi momentum yang tepat untuk penayangan film-film bertema kolosal, seperti Bumi Manusia.

Lewat frame-frame yang ditampilkan, penonton akan diajak "bernostagia" pada masa lalu. Hal itu tentu akan menambah wawasan penonton tentang kondisi Indonesia pada Era Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Kehadiran film Bumi Manusia juga akan memantik kembali semangat patriotisme, yang mungkin sempat redup, terutama bagi "generasi kekinian".

Selain itu, isu rasial yang diangkat di film Bumi Manusia juga terasa pas. Maklum, pada masa lampau, ras menjadi tembok yang "tebal", yang bisa memisahkan manusia.

Perbedaan ras kerap dijadikan alasan bagi seseorang atau sebuah kelompok untuk mengobarkan kebencian. Hanya karena berbeda warna kulit, rambut, dan mata, orang-orang bisa menciptakan pertikaian yang tak berkesudahan.

Isu rasial tadi bisa direpresentasikan dalam kehidupan Annelies. Menjadi berbeda di tengah lingkungan yang rasialis tentu tidak mudah baginya. Ia mesti menghadapi berbagai diskriminasi sosial, mulai dari pilihan sekolah, tempat makan, atau bahkan penggunaan fasilitas umum.

Hal itulah yang boleh jadi menyebabkannya kerap "dihantui" rasa kesepian. Meskipun hidup di tengah banyak orang, ia sering merasa sendirian. Sungguh miris melihatnya, tetapi demikianlah kenyataannya.

Makanya, bagi saya, amanat yang dibawa film ini diharapkan bisa menghapus stigma ras yang muncul pada masa lalu. Biarlah kehidupan yang penuh diskrimintif hanya muncul dalam diri Annelies dan hanya sebatas film. Semoga film ini bisa membangun pandangan baru bahwa apapun suku, ras, atau kelas sosialnya, manusia diciptakan sama.

Salam.
Adica Wirawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun