Mohon tunggu...
Adib Manggala
Adib Manggala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IKIP PGRI Wates, Yogyakarta

Kampus : IKIP PGRI Wates, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pengaruh Helenisme dalam Injil Sinoptik

31 Agustus 2021   18:02 Diperbarui: 31 Agustus 2021   18:24 3830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

    Pada mulanya adalah Firman, yang terdapat dalam Injil Yohanes 1:1 telah membentuk keyakinan Kristen bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia atau Firman yang hidup, yang keyakinan tersebut didasari karena adanya keyakinan bahwa Allah telah menjadi manusia yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Dari adanya keyakinan itu, justru sebenarnya pemikiran logos Kristen telah terpengaruh oleh pemikiran logosnya Philo, yang dimana kala itu, ia meyakini bahwa logos adalah perantara Tuhan dengan dunia. Suatu hal yang absurd, jika sekiranya Kristen menegasikan atau menyangkal adanya pengaruh paganisme dalam ajaran Kristen. Padahal, Bapa-bapa Gereja di masa itu, hidup dalam dunia helenistik, di mana pemikiran-pemikiran logos telah menjadi gagasannya para filosof, jauh sebelum lahirnya Kristen. Bahkan, orang-orang Kristen mula-mula awalnya adalah seorang kafir yang berasal dari Yunani dan Romawi, yang tentu saja dengan masuknya mereka ke dalam Kristen telah ikut pula mewarnai ajaran-ajaran Kristen selama ini.    

 Sejarah Latar Belakang Helenisme

    Awal mula lahirnya helenisme atau sejarah latar belakang hellenisme bermula dari adanya penaklukan di wilayah Asia Barat Daya oleh Aleksander Agung (323-323 SM), di mana kondisi tersebut telah dianggap sebagai sebuah permulaan dari suatu zaman yang baru, yang disebut dengan zaman helenis, atau disebut pula dengan helenisme. Adapun yang dimaksud dengan istilah helenisme ini ialah pergerakan kebudayaan sejak zaman Aleksander, di mana bahasa Yunani dan peradaban Yunani telah mendapatkan tempat yang tertinggi dalam kehidupan orang di masa itu, khususnya dalam kalangan orang-orang terkemuka di kota-kota. Namun, tidak berarti bahwa dengan datangnya Aleksander ke Asia Barat Daya seakan-akan helenisme muncul begitu saja tanpa mengalami adanya suatu proses. Sebelum kedatangan Aleksander, di daerah-daerah pesisir Laut Tengah di bagian Asia sudah lama terdapat kota-kota yang merupakan koloni Yunani, dan dari tempat itulah kebudayaan Yunani mulai menanamkan pengaruhnya, yang proses tersebut dipercepat ketika datangnya helenisme. Dengan adanya kemenangan-kemenangan yang telah didapatkan oleh Aleksander Agung, hal tersebut telah memberikan kemajuan yang berarti bagi helenisme di negara asalnya, yakni Yunani, khususnya di Makedonia, sedangkan perang yang melawan bangsa Persia telah memberikan kesan seakan-akan ada perang Troya kedua, di mana Aleksander Agung telah dianggap sebagai Akhiles baru. Dari adanya mata rantai di atas, hal tersebut telah mendorong orang-orang Yunani untuk memikirkan kembali tentang sumber-sumber kebudayaannya mereka sendiri.1

    Menurut Dunning, masyarakat helenistik terbentuk dari adanya komunitas yang terisolasi di lembah-lembah dan gunung-gunung di Semenanjung Yunani. Komunitas tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda yang kemudian disatukan oleh kontrak sosial di antara mereka, yang sekaligus membedakannya dengan masyarakat Barbar. Komunitas tersebut dengan cepat tersebar di Semenanjung Yunani dengan suatu ajakan untuk membentuk tatanan politik yang lebih besar, baik antara komunitas yang berdampingan atau dengan cara penguasaan komunitas yang kuat terhadap yang lemah.2 Namun, setelah Aleksander Agung meninggal pada tahun 323 SM, kerajaan besar yang ditinggalkannya itu terpecah menjadi tiga: Kerajaan Macedonia yang dikuasai oleh Dinasti Antigonid; Asia yang dikuasai oleh Dinasti Seleucid; dan Mesir yang dikuasai oleh Dinasti Lagid.3 Dengan adanya politik, Aleksander telah menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia, yang kemudian dilanjutkan oleh para pewarisnya, sehingga timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, sedangkan pusat-pusat helenisme yang terkenal kala itu adalah Alexandria di Mesir, Antiok di Suria, Harran dan Jundisyapura dekat Baghdad serta Baktra di Persia.4  

    Aleksander adalah orang yang telah dibina oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles, dan penyebaran luas akan pengetahuan filsafat Athena pada abad ke-4 barangkali merupakan prestasi Aleksander yang terbesar. Perpustakaan yang didirikan di Aleksandria, kota yang diberi nama untuk menghormatinya, sesudah ia meninggal merupakan salah satu monumen terbesar untuk memperingatinya, dan diskusi-diskusi yang diadakan di sana dan di tempat lain dalam rangka pemikiran filsafat Yunani sangatlah berpengaruh. Pengetahuan-pengetahuan dunia mulai terkumpul, dan pengetahuan itu dipahami menurut dasar-dasar filsafatnya Yunani. Plato yang hidup di Athena antara abad ke-5 dan ke-4 SM, merupakan orang yang termasuk sebagai pemikir yang berpengaruh pada masa itu, dan ia telah mengembangkan suatu teknik yang sebelumnya telah dipakai oleh gurunya, Sokrates. Dalam cara ini, diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dijawab melalui interaksi penalaran dari sudut pandang yang berbeda-beda. Secara implisit, teknik tersebut telah menjadikan logika sebagai tolok ukur dalam menghadapi berbagai perselisihan pendapat, dan sumbangan khusus dari Plato adalah pembelaannya yang rasional atas idealisme, di mana filsafat idealisme telah menempatkan realitas inti dunia tidak pada apa yang dirasakan oleh panca indera, tetapi pada gagasan-gagasan yang persepsi-persepsi yang ada dihubungkan dengannya.5

    Tentang sumber ilmu yang didapatkan oleh Plato, seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari India, Maulana Abul Kalam Aza, telah menulis artikel The Meaning of Philosophy, sebagai Introduction atas buku yang Sarvepalli Radhakrishnan menjadi editornya, yang berjudul History of Philosophy Eastern and Westren (jilid I-II). Azad menerangkan, bahwa: "Kita mengetahui bahwa Mesir dan Irak telah mengembangkan tingkat peradaban yang tinggi jauh sebelum Yunani. Kita pun mengetahui pula bahwa filsafat Yunani yang mula-mula amat dipengaruhi oleh hikmat purba Mesir. Plato dalam tulisan-tulisan menimba hikmat (maxims) para pendeta Mesir dengan cara menunjukkan betapa otoritasnya mereka itu sebagai sumber pengetahuan yang tidak dapat disangkal. Bahkan, Aristoteles maju lebih jauh lagi dan mengatakan bahwa para pendeta Mesir purba adalah para filsuf yan pertama di dunia ini... Hal ini menjadi mungkinnya untuk mencari jejak filfasat pada satu periode yang lebih dahulu daripada Yunani purba dan menentukan hakekat dan ruang lingkup perkembangannya pada tingkat dan masa itu." Dari adanya penjelasan Azad tersebut, maka jelaslah bahwa perintis ilmu filsafat bukanlah berasal dari orang-orang Yunani, meskipun kata filsafat itu sendiri diambil dari bahasa Yunani.6

    Ketika memasuki dunia Imperium Romawi, warisan helenisme dalam bidang filsafat, yakni metafisika Plato dan Aristoteles, sudah tidak lagi menarik minat banyak orang, karena filsafat yang tengah digandrungi pada masa itu adalah filsafat tentang masalah hidup manusia, persisnya filsafat tentang perilaku dan kebahagiaan manusia yang bersifat humanistis. Di kemudian hari, orang Kristen mula-mula lebih bersifat eklektis yaitu memilih unsur-unsur dari aneka sistem filosofis yang ada, dan menurut Tano Simamora, unsur filosofis yang paling mempengaruhi orang Kristen mula-mula adalah filsafat Epikurisme dan Stoisisme.7 Dalam aliran Stoisisme yang dipelopori oleh Zeno, misalnya, ketika membahas tentang siapakah yang telah menciptakan hukum alam, menurutnya itu adalah logos atau akal dunia. Logos ini sama dengan Tuhan atau Zeus, dewa yang disembah oleh masyarakat Yunani pada masa itu. Di sini, kaum Stoa telah bertentangan dengan kaum Epikurean yang meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur tangan dengan kehidupan yang ada di dunia ini. Lebih jauh, Simamora mengungkapkan, bahwa Zeno meyakini bahwa Tuhan tidak terpisah dari dunia, karena Tuhan merupakan substansi dari dunia jasmani, dan seluruh alam semesta merupakan manifestasi dari substansi Tuhan. Karena Tuhan tidak terpisahkan dengan alam, maka manusia termasuk pula ke dalam bagian dari alam dan termasuk pula bagian dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam diri manusia terdapat jiwa ilahi.8 Pandangan Zeno tersebut, ternyata memiliki kesamaan dengan keyakinannya Kristen tentang logos, dimana logos telah diyakini oleh Kristen sebagai Tuhan yang telah menciptakan alam semesta, yang sekaligus dianggap pula sebagai perantara Tuhan dan manusia.

    Jika Tano Simamora menganggap adanya dua aliran filsafat yang telah mempengaruhi Kristen mula-mula, namun lain hanya dengan Tony Lane. Menurut Tony Lane, terdapat tiga aliran filsafat yang telah mempengaruhi Kristen mula-mula, yaitu Platonisme, Aristotelianisme dan Stoa. Ketiganya merupakan kelompok pemikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun pada awal era Kristen mula-mula, banyak yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Seorang Platonis, misalnya, ia akan berpegang pada semacam campuran ajaran ketiga kelompok tersebut dengan Platonisme sebagai aliran yang dominan. Pada abad ke-3, Platonisme yang sudah ditinjau kembali dan dikenal dengan sebutan Neo-Platonisme, telah dibeberkan oleh Ammonius Sakkas dan Plotinus. Ajaran Neo-Platonisme lebih menekankan tentang sifat Allah yang transenden, melebihi batas-batas dunia yang tampak. Tony Lane menambahkan, ajaran ini menjadi alternatif bagi kaum kafir untuk menandingi agama Kristen yang tumbuh dengan cepat, dan mempunyai pengaruh yang mendalam bagi para pemikir Kristen di abad ke-4.9  

Pengaruh Helenisme Terhadap Logos

    Menurut Tony Lane, adapun tugas Bapa-bapa Gereja Kristen purba pada waktu itu ialah mengungkapkan iman Kristen dalam hubungannya dengan warisan kebudayaan Yunani mereka. Ini berarti menjelaskannya dengan istilah Yunani tanpa mengubah isinya. Lambat-laun pemikiran Yunani berkembang menjadi pemikiran Kristen. Tony menambahkan, selama proses perubahan ini sebagian besar unsur-unsur pemikiran Yunani yang bertentangan dengan pemikiran Kristen disingkirkan. Akan tetapi, prosesnya itu tidak selalu satu arah. Bukan filsafat Yunani saja yang berubah, agama Kristen pun pada gilirannya dilihat melalui kacamata Yunani. Unsur-unsur pendekatan Yunani yang masih tertinggal dan bertentangan dengan Kekristenan, telah mempengaruhi hasil akhir dari ungkapan iman Kristen tersebut.14 Pendapat Tony Lane itu memang benar apa adanya sesuai dengan realitas Kekristenan, dan kebenaran yang telah disampaikannya itu bisa kita telusuri dari adanya gagasan-gagasan Bapa-bapa Gereja tentang logos dan juga penafsiran alegoris, misalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun