Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Surat Terbuka untuk Kang Emil

20 Oktober 2016   23:02 Diperbarui: 22 Oktober 2016   14:35 2089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pariwisatabandung.info

Dear Kang Emil yang keren dan gaul,

Apa kabar, Kang? Tentunya baik-baik saja dan semakin bertambah banyak followers-nya kan? Alhamdulillah. Sebelumnya saya ingin perkenalkan diri dulu. Nama saya... ah sudahlah, tidak penting juga, ya kan, Kang?

Kang Emil tentu tidak kenal saya, sebab saya tidak penting-penting amat, juga tidak mem-follow satu pun akun media sosial milik Akang. Bukannya tidak tertarik dengan guyonan Akang tentang jomblo-jombloan atau mengikuti kisah romansa Akang dengan Teh Atalia. Bukan, bukan itu, Kang. Cuma saya sedikit gaptek menggunakan media sosial.

Kang Emil yang kasep, saya ingin curhat sedikit tentang kondisi Kota Bandung tercinta. Sebab itu pula, saya menulis surat terbuka ini. Karena kalau saya menulisnya di Twitter atau Instagram, bisa-bisa saya di-bully sama muda-mudi se-Kota Bandung kalau salah bicara. Seperti yang sudah-sudah kan begitu. Orang yang mengkritik Kang Emil, diserang oleh cyber army nan patriotis yang cerdas-cerdas sekaligus jempolnya tajam bukan main. Saya tidak ingin seperti itu, Kang, ampun....

Jadi begini, Kang. Hampir selama dua tahun belakangan saya mengembara ke Jakarta untuk mencari rezeki. Nah, baru sebulan belakangan, saya kembali menjadi penghuni Bandung, Kang. Saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan meninggalkan Jakarta. Di Bandung selama sebulan terakhir, sekaligus pernah tinggal di Jakarta, membuat saya sering membandingkan antara kedua kota besar ini. Hasilnya, mengecewakan, Kang. Karena sekarang, Bandung dan Jakarta hampir tidak jauh berbeda. Macet iya, banjir iya, panas iya, sumpek iya. Bedanya hanyalah di Bandung, lebih banyak mojang geulis.

Bayangkan, Kang, untuk menempuh perjalanan dari daerah Kiaracondong ke Dago saja, saya bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Padahal jaraknya hanya sekira 7 KM saja. Belum lagi di jalan lain seperti Sarijadi, Tamansari, Antapani, Buah Batu, Kopo, Laswi, Surapati, Cicaheum, Setiabudi, Dago, Cihampelas, Pasteur, dan masih banyak lagi deh. Sayangnya saya tidak menggunakan data seperti yang selalu Kang Emil minta jika dipertanyakan perihal keburukan Kota Bandung. Namanya juga curhat, Kang, masa iya harus cari data dulu? Kan repot. He he he. 

Sepertinya, penggunaan sepeda yang Kang Emil gemborkan ketika pra dan pasca-Pilkada sudah tidak ampuh lagi. Lagi pula, saya sudah lama tidak melihat Kang Emil bersepeda lagi seperti dulu. Padahal, dulu Kang Emil sering bersepeda ke mana pun pergi. Cape ya, kang? Lebih enak naik mobil kan, kang? Pakai AC. Seger. Ah tapi, mungkin Kang Emil masih menggunakan sepeda ke Balai Kota setiap hari. Hanya saja luput dari perhatian media massa. Semoga ya, Kang.

Lalu Kang, masih ada. Jangan dulu ditutup laptop-nya. Ini masalah banjir, Kang. Dulu, banjir di Bandung nggak separah sekarang, Kang. Tapi, mungkin saya yang salah. Semoga.

Di beberapa titik, ketika diguyur hujan sedikit deras saja, langsung banjir, Kang. Parahnya, di tengah kota pun banjir. Seperti di Supratman, Antapani, dan Moh. Toha. Itu bagaimana ya, Kang? Di Instagram Kang Emil jarang saya liat foto-foto banjir. Oh, tapi, apa artistiknya banjir? Memang tidak laik untuk diunggah di Instagram Kang Emil yang kontennya keren-keren itu.

Lantas, Kang, apa kabar gerakan sejuta biopori yang dulu Kang Emil jagokan ketika awal menjabat sebagai walikota? Tidak mungkin Kang Emil amnesia, kan? Mungkin, sejuta masih kurang banyak, Kang. Dua puluh juta, baru cukup barangkali? Atau mungkin, jangan membuat biopori yang hanya sebesar sarang belut, Kang. Bikin saja yang sebesar sumur. Jangan-jangan mungkin saja sekarang masih digalakkan, tapi saya yang jarang lihat berita. Maafkan, Kang....

Ah, perihal kepadatan juga, Kang. Aduh, saya benar-benar bangga melihat Bandung kini sudah banyak gedung pencakar langit. Apartemen berdiri di mana-mana, juga hotel-hotel megah. Bandung sudah modern berkat tangan arsitek Kang Emil. Terlebih akan dibangun MRT yang supercanggih. Jalan layang yang akan melintang di atas kepala penduduk Kota Bandung juga mulai dibuat. Modern sekali. Mungkin, beberapa tahun ke depan, Bandung bakalan memproduksi mobil-mobil terbang ya, Kang? Biar semakin modern dan futuristik, gitu.

Masalah taman juga, Kang. Keren sekali terobosan-terobosan Kang Emil seputar taman ini. Warga Bandung memang membutuhkan banyak tempat untuk bersosialisasi, narsis-ria, dan piknik ya, Kang. Ah, piknik! Kang Emil memang paling pengertian. Kami, terutama saya, memang sangat butuh piknik, Kang. Tentunya di taman-taman yang Kang Emil buat. Eh, maaf, bukan dibuat, tapi direnovasi, dan diberi nama baru. Tapi sayangnya, sejauh ini, saya belum pernah menginjakkan kaki di satu pun taman-taman yang Kang Emil renovasi dan dipasang nama besar-besar itu yang warna merah. Sekali lagi, bukan tidak tertarik, Kang. Tapi saya minder jika harus bertegur-sapa dengan pemuda-pemudi Kota Bandung yang gaul dan keren-keren itu. Mungkin lain kali jika sempat.

Belum lagi masalah hari tematik, itu keren banget, Kang. Bus Bandros, super-cool. Hukuman push-up, sangat efektif. Masjid ber-wifi. Bantaran sungai yang dijadikan taman. Taman Jomblo. Taman Superhero. Taman Fotografi. Taman Wartawan. Taman Tapi Mesra. Dan masih banyak lagi ide segar dari Kang Emil yang sangat mengerti kebutuhan kaum muda ini. Kami memang membutuhkan kebijakan seperti itu. Terpujilah pemimpin seperti Kang Emil, yang yaaaa bisa dibilang 11-12 dengan Sukarno yang jadi idola Akang lah.

Terus, Kang, bagaimana dengan biaya sekolahan yang masih mahal? Kesejahteraan para pekerja di Kota Bandung? Pelayanan kesehatan? Daerah resapan air yang menjadi permukiman? Pejabat pemerintahan yang masih korup? Kebersihan? Tapi, ah itu nanti saja dipikirkannya ya, Kang. Kang Emil kan pasti akan terpilih lagi di periode selanjutnya, dengan modal pasukan muda-mudi yang sangat paham politik itu. Meskipun terkesan tukang hura-hura, saya yakin para pasukan Kang Emil sangat militan dan paham betul arti berpolitik.

Mungkin sekian, curhatan yang tidak jelas dan kurang data ini, Kang. Jika ada kesalahan kata yang menyinggung diri Kang Emil juga para pendukung, saya memohon maaf yang teramat besar. Tolong jangan di-bully. Kasihanilah saya. Terakhir, Kang, masukan dari saya; tolong perbanyak pembangunan di Kota Bandung agar Bandung menjadi kota yang semakin modern dan keren. Masalah wilayah, tenang saja, masih banyak lahan kosong di daerah Bandung Utara. 

Btw, Kang, sebenarnya saya warga Kabupaten. Jadi tidak menyoblos Kang Emil waktu pilkada. Dan mungkin tidak berhak mengomentari Kota Bandung. Tapi tenang, nanti saya follow Instagram dan Twitter Kang Emil, kok. Lucu-lucu sih. Lumayan kan bisa menambah seorang follower, dan semakin mendekatkan Kang Emil ke predikat sebagai pejabat negara dengan jumlah pengikut terbanyak di media sosial.

Tolong jangan tanyakan saya soal solusinya, Kang. Namanya juga curhat. Masa iya, kalau curhat ke Mamah Dedeh, misalnya, lantas ditanya balik soal solusi? Kan bisa nambah pusing, ya kan, Kang?

Sekian surat ini saya sampaikan. Salam hormat, saya.

Adia PP

Bandung, Oktober 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun