Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AFTA 2015, Hadapi dengan Sinergi

4 April 2014   01:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum diberlakukannya AFTA tahun depan, Indonesia sebetulnya sudah dijajah asing dalam banyak ranah kehidupan. Tanpa ada embel-embel perdagangan bebas, Indonesia sejatinya memang pasar yang potensial. Dengan penduduk yang lebih dari seperempat miliar, Indonesia adalah pasar yang mahaluas. Apa saja yang dilempar ke Indonesia, pasti diserbu oleh penduduk negerinya. Tabiat warga kita yang latah seolah membuat semua produk membanjiri negeri ini. Produsen luar negeri juga tahu benar dengan tipikal masyarakat Indonesia.

Lihatlah bagaimana ponsel pintar semacam BlackBerry menjadi benda nomor satu yang laris dibeli penduduk Indonesia. Meski mungkin tak semua pembelinya mahir menggunakan fitur di dalamnya, yang penting gaya hidup mereka seolah berubah dengan menenteng gadget itu. Bahkan, peluncuran edisi pertama beberapa produk baru BalckBerry juga dilakukan Indonesia.
Jauh sebelum BlackBerry datang, pasar Indonesia adalah yang paling menerima ponsel cerdas besutan Nokia Communicator. Bahkan, selang beberapa tahun sejak Communicztor diluncurkan, produknya masih saja diminati penduduk Indonesia. Seolah tak afdal jika tak menenteng Communicator. Boleh dibilang, untuk produk berupa gadget, Indonesia masih menjadi pasar yang menggiurkan. Apa saja yang dipasarkan di Indonesia, hakulyakin laris manis. Tak ada istilah rugi jika meluncurkan produk terbaru teknologi di sini. Pasar Indonesia benar-benar memesonakan.
Tak hanya dalam bidang teknologi ponsel saja Indonesia sangat ramah terhadap pendatang, di ranah lain nasibnya juga sama. Coba kita sigi kebudayaan Korea yang lazim disebut K-pop. K-Pop itu asli infiltrasi Korea Selatan ke pola pikir remaja Indonesia. Beragam film, lagu, dan budaya lainnya kemudian mengejawantah dalam gaya hidup anak muda Indonesia. Seolah tidak keren kalau tidak mengikuti perkembangan boyband asal negeri Ginseng itu. Sepertinya ketinggalan zaman jika rambut tak mengikuti gaya artis ktop Korea Selatan. Pemuda Indonesia pun tergila-gila dengan wajah para boy dan girlband Korea Selatan. Padahal, hampir seluruh artis Korea itu menggunakan operasi plastik untuk mempercantik dan memperganteng wajahnya. Namun, Indonesia tetap medium persemaian yang bagus untuk lifestyle asing semacam itu. Akhirnya, satu budaya luar negeri masuk, merambat, menginfiltrasi, dan menjadi gaya hidup anak muda Indonesia.
Di banyak bidang pekerjaan, kita juga dengan mudah menemukan orang asing bekerja di sini. Rata-rata mereka bergaji lumayan dengan jabatan paling rendah selevel manajer. Di perusahaan sawit skala besar, hampir semua manajernya orang asing. Entah itu dari Amerika, Eropa, Asia, dan Asia Tenggara. Seorang sejawat yang bekerja di perusahaan sawit di Kalimantan bercerita, hampir semua manajer di korporasi asing di bidang perkebunan ini adalah orang asing. Sebagian dari Asia dan Asia Tenggara. Jadi, sebelum AFTA ini bergulir tahun depan, kita memang sudah "dijajah" asing dari sisi tenaga kerja ber-skill manajerial yang bagus. Sementara kita rerata di level kelas pekerja. Ada sebagian yang juga manajer, tapi kisarannya tidak begitu banyak.
Hampir semua perusahaan penyedia jasa layanan telekomunikasi di Indonesia, di tingkat atas manajerialnya juga banyak diisi orang asing. Demikian pula perusahaan maskapai penerbangan, banyak dihuni pekerja ekspatriat. Orang Indonesianya tentu banyak, tapi gap penghasilan mereka dibanding pekerja asing bisa dibilang njomplang. di Lampung, saat banyak perusahaan konstruksi dan alat berat mengerjakan proyek luar negeri, para manajer di level atas juga banyak diisi orang asing. Kebanyakan dari Eropa dan Asia Tenggara.
Dengan ilustrasi di atas, sebetulnya peresmian pasar bebas ASEAN pada tahun depan bukan sesuatu yang sangat ditakutkan. Sebab, kita memang sudah bersaing dengan pekerja asing sejak lama. Begitu dunia mengenal istilah pasar bebas, saat itulah juga Indonesia terlibat di dalamnya. Regulasi atau kesepakatan soal apakah perdagangan bebas itu ada di regional tertentu, itu hanya persoalan waktu. Toh, sejak dulu pun pekerja asing sudah cari makan di tanah Indonesia. Dan sebaliknya, banyak pekerja kita yang mencari nafkah di luar negeri. Di mana pun tempat sebetulnya tidak masalah. Di mana pun negara, kita boleh mencari makan di sana. Asalkan regulasi setempat memungkinkan, semua sah-sah saja. Apalagi sekarang di mana perdagangan bebas didorong aktif oleh semua negara.
Sekarang, mari kita fokus bagaimana mempersiapkan diri dan negara ini agar benar-benar siap memasuki pasar bebas ASEAN. Namun, ada baiknya kita melongok data yang dirilis oleh Bank Dunia soal sumber daya manusia Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia, terjadi kesenjangan besar dalam kualitas tenaga terampil/SDM di Indonesia. Disebutkan kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44 persen), penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen) dan keterampilan dasar (30 persen). Dari sini, kita bisa tahu ternyata posisi manusia kita memang masih tertinggal. Dari sisi penguasaan teknologi saja, kita masih jauh tertinggal. Maraknya penggunaan ponsel dan gadget canggih ternyata tidak berbanding lurus dengan penguasaan teknologi. Jadi, apa yang mesti kita lakukan agar "siap" memasuki AFTA, atau setidaknya tidak terlalu tertinggal saat era perdagangan bebas ASEAN dimulai tahun depan?
Pertama, kuatkan budaya lokal
Indonesia punya budaya yang khas. Itu tecermin dalam khazanah kesenian, sastra, musik, dan etnik yang begitu beragam. Hal itu, sayangnya, malah banyak tidak diperhatikan. Begitu diakui milik negara lain, barulah kita merespons. Kita memang tidak terbiasa dalam kultur antisipatif, melainkan lebih suka reaktif.
Dahulu tidak pernah dipikirkan, sekarang baru jadi bahan perhatian.
Pemerintah perlu secara tegas memberikan keberpihakan kepada budaya lokal. Ini yang harus dijaga. Sebab, inilah senjata andalan Indonesia untuk menarik minat wisatawan dan investor. Budaya lokal yang eksotis dan selama ini belum diberikan perhatian, mulai diberikan porsi yang lebih. Indonesia mesti menginventarisasi semua budaya lokal yang bisa dikembangkan dan menjadi daya tarik untuk pasar luar negeri. Malaysia sudah mengklaim sebagai Trully Asia, sekarang Indonesia mesti punya tagline yang oke punya dan tak kalah. Tunjukkan bahwa negeri ini memang pantas untuk disebut Asia yang Sebenarnya.
Kalau selama ini Indonesia hanya dikenal lewat Bali, pandangan semacam itu mesti direkonstruksi. Kita mesti menciptakan "Bali-Bali" yang baru, yang lebih eksotis, lebih hangat, lebih bersahabat, lebih indah, dan aksesibilitasnya lebih baik. Lampung misalnya punya wisata laut yang bagus. Konten budayanya juga beragam.
Lampung adalah satu dari sedikit suku bangsa di Indonesia, bahkan di dunia, yang punya huruf dan tanda baca tersendiri. Lampung juga punya  alat musik eksotis sendiri yang dikenal dengan nama cetik. Alat musik dari bambu ini punya daya magis yang luar biasa serta keeksotisan yang pilih tanding.
Lampung juga punya Gunung Anak Krakatau yang menjadi magnet pesona wisata. Ini seharusnya diurus dengan baik oleh pemerintah daerah setempat. kita boleh bangga dan bilang, mana ada gunung berapi seeksotis Krakatau yang letusannya pada 1883 lalu menjadi salah satu letusan dahsyat yang pernah terjadi di muka bumi ini. Kini, Lampung juga punya pantai Tanjung Setia di Lampung Barat, yang disebut-sebut punya ombak yang berstandar internasional untuk olahraga berselancar.
Daerah lain pastinya juga punya khazanah lokal yang mesti dijaga dan dilestarikan, juga dikembangkan. Indonesia mesti mulai rajin merawat kekayaan budaya bangsa jika ingin besar dan bersaing dalam AFTA. Kalau budaya lokal ini tidak diangkat, pelancong hanya akan disuguhi pesona alam. Ini juga tentu saja bagus. Namun, jika pesona budaya juga dikelola dengan baik, hasilnya juga pasti lebih baik. Raja Ampat, Wakatobi, dan Alor akan makin eksotis jika alam dan pesona budaya lokalnya diurus dengan apik. Sehingga, pariwisata yang ditawarkan punya keunggulan komparatif dibandingkan dengan destinasi lain. Tidak sekadar menyorongkan tempat yang indah, tapi juga menawarkan pesona budaya lokal yang kuat dan punya eksotisme yang luar biasa.
Namun, budaya yang semestinya juga menjadi alat utama kita dalam bertarung dalam AFTA ialah kejujuran. Poin inilah yang sekarang langka kita miliki. Indonesia semestinya punya karakter jujur. pekerja, di manapun berada, meski punya skill hebat, tapi tak jujur, sulit dipekerjakan. Maka itu, kita mestinya tetap memprioritaskan kejujuran ini sebagai laku dalam bekerja. Inilah dasar seorang pekerja bisa disebut profesional. Jujur itu asasinya profesional. Jika dibalik, wujud profesionalitas itu ada pada kejujuran.
Kedua, tingkatkan pengetahuan bahasa Inggris dan komputer
Kita tidak mungkin meningkatkan keterampilan bahasa Inggris mayoritas bangsa Indonesia dalam setahun ini. Itu adalah pekerjaan yang mahasulit. Mengejar target agar mayoritas warga kita punya kemampuan bahasa Inggris yang memadai juga butuh perjuangan yang keras. Namun, kita jangan menyerah di titik itu. Setidak-tidaknya pekerja di Indonesia dalam setahun ke depan ini bisa mengambil kursus bahasa Inggris. Jika ini dilakoni dalam setahun penuh, kemampuan bahasa Inggris kita jelas akan meningkat. Seorang pelatih sepak bola pinta semacam Pep Guardiola saja, mesti setahun cuti terlebih dahulu untuk kursus bahasa Jerman. Namun, karena ia menjadi tuntutan pekerjaan, hal itu bisa dikerjakan. Demikian pula dengan pekerja dan calon pekerja di Indonesia yang mesti meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris.
Kemudian, kemampuan mengoperasikan komputer dengan segala varian fitur dan perangkatnya juga kudu ditingkatkan. Pasar bebas mengharuskan kita punya skil yang sama dan setingkat dengan pekerj asing. Jadi, jangan terlalu gagap saat menggunakan teknologi. Yang penting, beberapa fitur atau sofyware yang jamak digunakan, kita juga piawai dalam mengoperasikan.
Ketiga, sinergi
Poin ketiga ini adalah perihal utama agar kita siap menghadapi pasar bebas ASEAN. Apa maknanya? Begini penjelasannya. Kita ibaratkan kita akan menghadapi pertempuran di media pasar bebas ASEAN. Tentara kita relatif tertinggal dari sisi persenjataan, kekuatan fisik, kemampuan teknologi, dan keterampilan dasar lainnya, seperti yang dirilis Bank Dunia. Namun, dalam pertempuran, semua faktor tadi bukan malah menjadi penghambat. Dengan kekuatan yang tidak seberapa ini, kita mesti pintar cari peluang, cari titik di mana kita bisa menang. Mungkin tidak memenangkan pertarungan secara total, tapi ada momentum di mana kita bisa unggul. Nah, dengan kekuatan tadi, satu yang mesti dijalani oleh bangsa Indonesia ialah sinergi. Menyatukan semua kemampuan untuk meraih kemenangan.
Tidak semua kita pandai berbahasa Inggris. Tidak semua daerah punya destinasi wisata yang eksotis. Tidak semua tempat memilki khazanah budaya lokal yang kuat dan unik. Dan kita juga terdiri dari beraneka suku bangsa. Maka itu, kalau kita berjuang sendiri-sendiri, sulit untuk maju. Satu-satunya cara ialah dengan bersinergi. Bagaimana konkretnya? Anak muda Indonesia kudu banyak membuat komunitas yang punya keterampilan beragam untuk satu tujuan. Taruhlah misalnya yang paling memungkinkan, membuat usaha kretaif yang mandiri tentang agen perjalanan wisata. Di stu, dibutuhkan konseptor, penulis, orang sastra yang tahu dekat budaya, ahli website dan jaringan, seorang pemimpin yang punya daya pikat dan emosional yang stabil, juga butuh person yang kuat dalam mengelola keuangan, dan orang yang piawai bermedia sosial. Itu wujud konkret sinergi. Usaha kreatif semacam ini akan mengurangi tingkat pengangguran dan tingkat ketergantungan kepada usaha berskalal besar. Ketimbang mencari kerja, kalau ada kans, mengapa tidak membuka usaha sendiri saja, iya kan?
Anak muda yang piawai mengonsep, akan menuliskan gagasannya secara rinci dan detail sehingga tak perlu ada penjelasan teknis lagi. Mereka yang piawai di sastra dan budaya, bisa mengejawantahkan itu dengan membuka ruang budaya dan mencari destinasi yang pas untuk ditawarkan kepada calon pelancong asing.  Person yang punya jaringan luas dan ahli bermedia sosial, sudah pasti akan membuka akses seluas-luasnya untuk mempromosikan usaha mereka ke luar negeri. Tentu saja dengan tampilan situs yang keren, menarik, dan mudah diakses. Sedangkan mereka yang piawai dalam ihwal keuangan, mulai merancang sistem keuangan yang memudahkan mereka melihat posisi keuntungan dan sebagainya. Dengan sinergi semacam ini, setidaknya kita mempersempit ruang pekerja asing untuk masuk. Kalau ada teman bangsa sendiri yang mau bekerja dan punya profesioanlitas memadai, mengapa kita mesti mempekerjakan orang asing?
Dalam skop yang lebih luas, seluruh warga Indonesia mesti bersinergi dan saling membangu. Kuncinya ada di situ. Sedangkan ranah empirisnya dengan membangun sebanyak-banyaknya ragam usaha kreatif yang punya nilai jual. Objeknya bisa berupa pengelolaan pariwisata, usaha di media sosial, usaha farmasi, kuliner, dan sebagainya. Usaha yang kita dirikan sendiri akan meminimalkan peluang untuk pekerja asing masuk. Kalaupun ada usaha sejenis yang diupayakan pekerja asing dengan produk yang juga berasal dari luar, itu tidak mengapa. Itulah persaingan atau kompetisi yang sejati. Kalau produk anak bangsa sendiri yang berkualitas sama dengan hasil negeri orang, masak iya masih kalah bersaing? Kita mesti optimistis untuk itu.
Rakyat Indonesia mesti berjaringan kuat untuk mempromosikan dan menjual produk yang ditawarkan.
Jangan lagi ada upaya untuk menstigma orang per orang. Kita mesti banyak mengampanyekan bahwa ranah pariwisata, budaya, dan ekonomi kreatif di Indonesia punya peluang untuk maju. Dengan begitu, kita satu suara dalam proyek besar ini.
Mungkin kita tak bisa sedahsyat Hong Kong untuk menjadi kota dengan beragam kemajuan di tingkat perdagangan dan keuangan. Kita juga mungkin butuh waktu untuk sejajar dengan Singapura yang demikian maju dalam kedisiplinan dan kemajuan kotanya. Kita juga barangkali akan disusul secara cepat oleh Vietnam dan Kamboja dalam hal pariwisata.  Namun, kita punya keunggulan komparatif yang tidak mereka miliki. Kita punya budaya khas yang tidak dimiliki bangsa lain. kita juga punya jejaring yang luas dalam ranah kebangsaan. Kita juga punya anak muda yang gemar berusaha kreatif untuk menekan laju pengangguran. Kita juga punya banyak destinasi wisata yang tak dimiliki negara lain.
Soal siap atau tidak kita memasuki pasar bebas ASEAN, tidak relevan lagi ditanyakan. Tantangan itu sudah di depan mata. Dan kita sekarang tinggal ,dninggu gong pertaruan resminya. Ibarat produk, AFTA ini tinggal grand launching saja. Soft launching-nya sudah kita dahului sejak beberapa tahun lalu. Itulah pemanasan yang semestinya dipergunakan dengan efektif oleh kita. Tahun depan sudah di depan mata. Sedikit lagi matahari 2015 akan bersinar dan di situlah kita akan berjuang mati-matian. Takut berlebihan juga tidak naik. Modal Indonesia untuk lebih baik dari negara ASEAN lainnya sudah ada. Kita adalah negara terbesar di Asia Tenggara dengan penduduk dan alam yang kaya raya. Maka itu, pengelolaannya mesti lebih ditingkatkan. Sinergitasnya kudu lebih direkatkan. Jika kita berhail di poin sinergi, kita bisa bertahan di tengah gempurzn. Untuk kemudian menang.  Di tahun-tahun mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun