Oh iya, judul tulisan ini bukan asli dari pikiran saya. Saya pertama dengar kalimat ini dari seorang sutradara asal Jakarta yang kontak saya tahun 2016. Seorang mahasiswi yang saya ajar memberikan kepada sutradara ini. Sutradara ini rupanya punya hajat bikin film.
Seorang produser lokal mau membuat film. Judul film yang disorongkan itu "Jilbab dan Sebatang Rokok". Ia ketemu saya untuk minta tolong.Â
Hajatnya adalah bikin konferensi pers soal rencana bikin film itu. Ia minta saya kontak belasan wartawan televisi, koran, dan online untuk hadir. Acara kurang lebih dua pekan lagi.
Waktu itu saya juga kebetulan baru saja merampungkan sebuah novel. Isinya tentang kegigihan anak-anak SMA dalam melawan segala bentuk korupsi di sekolah. Usai dengar itu, ia malah minta novel itu.
Pendek cerita, film yang dipersiapkan awal berubah total ide cerita ke naskah novel yang saya bikin. Cerita sampai situ saja dulu. Soalnya, mau cerita nasib film dari hasil adopsi cerita novel ini bikin sedih.
Balik ke jilbab dan sebatang rokok. Ia memang benaran ada. Fenomena itu memang tampak.Â
Mungkin masih nyumput-nyumput. Tapi ada yang santai saja merokok meski berkerudung. Sikap saya itu dikembalikan lagi kepada orangnya masing-masing.
Setiap orang ada alasan untuk itu. Sekadar mencoba, bikin rileks diri, ekspresi menahan cemas, atau sudah menjadi keseharian, dan sebagainya. Yang sudah jelas tidak boleh adalah buang abu dan puntung sembarangan.Â
Atau memilih mengisap sigaret ketimbang membelanjakan untuk kebutuhan protein hewani anak-anak di rumah. Terima kasih sudah mau membaca dengan durasi yang lumayan lama. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini