Jika sarat informasi, ia mesti melakukan penyaringan, kemudian menelitinya, lalu memverifikasi, lantas meyakini, baru kemudian menuliskan.
Kalau belum apa-apa sudah percaya seratus persen kepada si empunya informasi, repot juga. Setiap kabar mesti dicek. Apakah benar atau tidak. Apakah sahih atau tidak. Apakah valid atau tidak. Kalau dirasa yakin, baru ditulis.
Kejadian yang saya ketik di awal tulisan ini adalah bukti kalau wartawan tidak mudah percaya meski kepada kawan karibnya. Apalagi informasi itu memang hendak diwartakan kepada publik.Â
Jurnalis mesti melakukan verifikasi yang ketat. Jangan karena mau duluan dapat berita, verifikasi diabaikan. Nanti kalau jadi kesalahan, kita yang kerepotan.
Jangankan dalam dunia jurnalisme, dalam keseharian juga mesti begitu. Ada cowok saban kali apel ke rumah tunangan selalu berganti mobil. Kepada calon mertua, cowok ini mengaku bekerja sebagai general manager sebuah perusahaan besar.Â
Lantaran percaya, saat bulan depan cowok melamar, keluarga perempuan menerima. Usai menikah baru ketahuan kerjaan asli pria ini. Ia rupanya makelar mobil seken. Duh, duh, duh.
Kedua, tidak presisi menjaga akurasi
Suatu waktu reporter saya menulis demo yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Saya mengedit tulisan itu kemudian mengunggahnya.
Usai setengah jam berita itu naik siar, seorang teman yang pengurus GMBI telepon. Ia bilang, hari ini tidak ada kegiatan demo yang mengatasnamakan GMBI. Ia hakulyakin yang demo bukan GMBI.Â
Saya kemudian mengecek lagi ke reporter, apakah benar nama lembaga yang melakukan demo itu GMBI. Reporter bilang yakin. Sebab, ia lihat spanduk yang dipegang para pendemo.Â
Saya telepon kawan itu lagi. Saya bilang, reporter meyakini demo itu dari GMBI. Kami sedikit berbantahan.Â