Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdoa dengan Tidak Jemu-jemu

26 Mei 2020   21:32 Diperbarui: 26 Mei 2020   21:37 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: cahayapengharapan.org

Saya sudah sering mendengar pendeta berkhotbah dan menyatakan bahwa: "Ada tiga jawaban doa, yakni:Ya, Tunggu Dulu, dan Tidak". Apakah benar demikian? Apabila menilai jawaban doa dari perspektif manusia, maka mungkin saja jawaban  di atas adalah benar. 

Akan tetapi jikalau kita menilainya dari perspektif Tuhan (karena Dialah yang menjawab), maka jawaban di atas SALAH BESAR. Mengapa? Oleh karena Tuhan pasti selalu menjawab doa kita. Dan itu artinya hanya ada satu jawaban doa: YA.

Tuhan akan menjawab doa kita berdasarkan waktunya Tuhan, berdasarkan kehendak Tuhan dan berdasarkan kebutuhan kita yang sebenarnya. Bukan berdasarkan kehendak, waktu, dan keinginan kita.

Apabila membaca perikop Lukas 18: 1-8 dengan baik, maka di sana kita akan menjumpai seorang wanita atau seorang janda yang begitu gigih menyampaikan permasalahannya. Meskipun hakim tempatnya mengadu, dalam perikop ini diceritakan sebagai hakim yang tidak benar atau sama sekali tidak memiliki rasa takut akan Tuhan. 

Perumpamaan ini (1-8) hanya dicatat oleh Lukas atau tidak muncul dalam tiga Injil yang lain. Dan apabila kita membaca perikop selanjutnya (9-14), maka dalam hal ini Lukas menyandingkan dua perumpamaan yang mana inti pembahasan keduanya adalah berbicara tentang doa.

Pada perumpamaan ini, Yesus mengemukakan dua tokoh utama, yakni: janda dan hakim. Sedangkan orang yang menjadi lawan janda tersebut tidak dijelaskan secara rinci dan gamblang. Tentunya hal ini tidak terlepas dari pesan yang hendak Yesus sampaikan kepada orang banyak melalui perumpamaan ini.

Berdasarkan cerita perumpamaan ini, maka ada indikasi yang cukup kuat bahwa pada waktu itu telah terjadi penindasan kepada para janda. Selain itu, dalam konteks bangsa Israel seorang janda akan secara otomatis menggantikan suaminya di pengadilan, dan dianggap sama dengan kaumm pria. 

Meskipun demikian, apabila kita membaca dalam Perjanjian Lama, ada begitu banyak ayat yang menceritakan bagaimana Tuhan sebenarnya melindungi dan membela hak para janda. Misalnya seperti yang dicatat dalam Ulangan 10:18 di mana Allah membela perkara para janda; dan Ulangan 27:19 di mana bercerita tentang kutukan kepada setiap orang yang bersikap tidak adil kepada para janda. 

Bahkan dalam Mazmur 68:5 mendeskripsikan dengan jelas tentang setiap orang yang ingin mencabut hak-hak seorang janda harus berhadapan langsung dengan Allah, Pelindung para janda.

Meskipun Allah telah menyatakan perlindungan hak terhadap para janda sejak zaman PL, ternyata para janda tetap diperlakukan tidak adil bahkan semena-mena. Dalam Yesaya 1:23, nabi Yesaya mengeluh karena para penguasa negeri telah menjadi pemberontak dan pencuri. Mereka tidak lagi membela hak anak-anak yatim, bahkan perkara para janda tidak sampai kepada mereka. 

Demikian pula halnya dalam Maleakhi 3:5 yang mencatat bahwa Allah akan segera menjadi saksi melawan mereka yang menindas janda-janda dan anak-anak yatim.

Kita kembali pada Lukas 18:1-8. Pada perikop ini dengan gamblang mendeskripsikan tentang Yesus yang mengungkapkan perumpamaan seorang janda kepada murid-murid-Nya. Janda ini sedang diperhadapkan kepada sebuah masalah (mungkin perihal uang) dengan seseorang, dan ternyata di kota tempat dia tinggal tidak ada satu orang pun yang mendukungnya, kecuali seorang hakim yang tidak benar. Oleh karena dia tidak mampu membayar jasa pengacara, maka dia memberanikan diri untuk datang langsung kepada hakim untuk mengadukan kasusnya seraya memohon pertolongan. 

Apa yang dilakukan oleh janda ini sebenarnya seperti "menjaring angin". Mengapa? Oleh karena ternyata sang hakim pun bukanlah orang yang baik. Bahkan mungkin jauh lebih jahat dari orang yang sedang bermasalah dengannya. Hal ini tampak jelas dalam perkataan hakim itu sendiri dalam ayat 4, "Walau pun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun". Artinya dari pernyataan ini secara tidak langsung sang hakim hendak menegaskan bahwa pada dirinya sendiri tidak ada kebenaran bahkan tidak ada pengenalan akan Tuhan. 

Lalu, bagaimana mungkin dia dapat memberikan keadilan kepada janda itu. Hakim tersebut sama sekali tidak mempunyai prinsip-prinsip agama dan kebal terhadap pendapat umum. Dia sama sekali tidak pernah memperhatikan perkataan Allah. Akan tetapi ironisnya bahwa ternyata janda ini justru mengadukan kasusnya kepada hakim seperti ini.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh janda itu banyak menimbulkan pertanyaan. Oleh karena sangat sulit untuk dipahami. Mengapa dia harus mengadukan perkaranya kepada hakim yang seperti itu? Apakah hal ini merupakan indikasi yang kuat betapa orang Israel tidak lagi membela dan menghormati hak dari para janda? Dan mungkin saja janda tersebut tidak memiliki pilihan lain, selain mengadukan perkaranya kepada sang hakim yang jahat itu. Frasa "belalah hakku!" merupakan bahasa hukum yang sebenarnya hendak menegaskan "terimalah perkaraku!" atau "bantulah aku untuk mendapatkan keadilan!"

Pada awalnya, hakim itu pun menolak. Akan tetapi ternyata penolakan dari hakim tidak meruntuhkan dan membuat janda itu patah arang. Dia terus berusaha, berusaha dan berusaha. Setiap hari dia pergi dan mendatangi hakim itu dengan menyampaikan sebuah permintaan yang sama, "belahlah hakku terhadap lawanku!" Dan ternyata strategi ini berhasil. 

Oleh karena "desakan" dari janda itu membuat sang hakim merasa gelisah. Sehingga dia berkata: "Walaupun aku tidak takut akan Tuhan, dan tidak menghormati seorang pun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia supaya jangan terus saja dia datang dan akhirnya menyerang aku".

Sebenarnya situasi ini mengingatkan saya kepada kisah seorang perempuan Kanaan yang pernah memohon kepada Yesus supaya anaknya yang kerasukan setan dapat disembuhkan dan dibebaskan (Mat. 15:21-28). 

Pada awalnya sebenarnya Yesus seolah-olah tidak peduli kepada permohonan perempuan itu. Akan tetapi karena kegigihan dan tidak jemu-jemunya perempuan itu memohon kepada Yesus, akhirnya Yesus pun menolong dan mengabulkan permintaannya. Dari jauh Yesus mengusir setan yang merasuki anak perempuannya.  

Lalu, apa kaitan atau hubungan perumpamaan ini dengan tema: berdoa dengan tidak jemu-jemu? Perumpamaan ini hendak menunjukkan bahwa setiap kita orang Kristen membawa masalah kita dengan terus menerus atau tidak jemu-jemu kepada Tuhan dalam atau melalui doa. 

Kita seharusnya selalu berdoa dan tidak menjadi lelah ketika jawaban doa itu ternyata tidak berikan sesuai dengan waktu yang kita harapkan. Itulah sebabnya, pada ayat 6, Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya: "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!"

Meskipun Allah tidak bisa disamakan dengan hakim yang lalim itu, yang awalnya menolak permintaan janda itu. Akan tetapi melalui perumpamaan ini kita belajar satu hal yang penting bahwa Allah membiarkan umat-Nya menunggu waktu Tuhan menjawab doa kita.

Bahkan dengan menunjuk kepada kedatangan-Nya yang kedua kali, Yesus hendak menghubungkan konsep keadilan dengan hari penghakiman di mana Dia datang sebagai hakim bagi orang-orang yang hidup dan yang mati. 

Apakah Dia akan menemukan iman dalam kehidupan orang Kristen ketika Dia datang untuk kedua kalinya? Apakah orang Kristen tetap setia dalam doa-doa mereka? Apakah orang Kristen terus menerus berdoa untuk kedatangan kerajaan Allah?

Melalui perumpamaan ini, kita dapat melihat tiga hal penting sebagai jawaban untuk pertanyaan: mengapa kita harus berdoa dengan tidak jemu-jemu? 

Pertama, oleh karena doa dengan tidak jemu-jemu merupakan perwujudan iman kita kepada Tuhan secara konkret. Sama seperti janda yang datang kepada seorang hakim yang lalim dengan penuh kegigihan dan keyakinan untuk memenangi perkaranya di pengadilan. 

Kedua, oleh karena Tuhan memang menghendaki kita berdoa demikian sebagai bentuk kegergantungan total kita kepada-Nya. 

Ketiga, berdoa dengan tidak jemu-jemu menunjukkan sebuah kesabaran dalam menantikan jawaban Tuhan. Orang yang tidak sabar menantikan jawaban Tuhan pasti tidak akan berdoa seperti ini.Kiranya tulisan ini bermanfaat dan menjadi berkat bagi setiap jemaat yang membacanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun