[caption id="attachment_298667" align="aligncenter" width="568" caption="Ilustrasi: nganjukhijauku.blogspot.com"][/caption]
**
Pentas "Drama Politik" dalam bingkai Pemilihan Umum (Pemilu) yang katanya sengaja "dikemas" untuk dan atas nama Demokrasi sebentar lagi akan dipertontonkan didepan mata kita semua. Sungguh tidak terasa, "pentas akbar" lima tahunan negeri ini semakin mendekati hari H. Bercermin pada pentas yang sama lima tahun yang lalu, maka "pentas akbar" kali ini tentu membawa harapan akan lebih baik dari "pentas akbar" sebelumnya.
Lalu, apa saja hasil pemilu lima tahun yang lalu sebagai "produk" nyata dari pagelaran "seni drama politik" di panggung nusantara ini?. Adakah se cerca harapan dari pementasan "drama politik" lima tahun silam yang bisa kita bawah untuk menyambut pementasan yang sama pada tahun 2014 mendatang?. Atau jangan-jangan cerminan pementasan "drama politik" lima tahun silam justru hanya akan menimbulkan beragam cemas dan tanda tanya besar dihati para "penontonnya"?.
Benarkah pemilu mendatang akan membawa angin segar, kemajuan dan perbaikan di segala bidang yang kini terlanjur "rusak"?. Benarkan pemilu mendatang akan melahirkan sosok-sosok pemimpin dan penyambung hati nurani rakyat yang dapat di percayai serta dapat diberi amanah?. Benarkah pemilu mendatang bisa membawa kemaslahatan bagi semua lapisan masyarakat di negeri ini?. Benarkah pemilu mendatang tidak lagi menjadi ajang pementasan "drama politik" konyol yang tak terkontrol sama sekali?.
Ataukah jangan-jangan pementasan "drama politik" tahun depan tidak akan jauh beda dengan pementasan "drama politik" pada pemilu lima tahunan sebelum-sebelumnya?. Pementasan "drama politik" yang hanya mempertontonkan sikap saling ejek mengejek, saling menjatuhkan, saling caci mencaci, saling siku menyiku, saling silang pendapat yang tidak sehat, saling mengolok-ngolok satu sama lain, dan se rentetan "aksi drama" lainnya yang tidak mengandung nilai kebaikan sama sekali.
Dan kini terbukti, hasil pementasan drama ini tidak jauh beda dari apa yang dipertontonkan selama proses pemilihan itu berlangsung. Di luar arena dan panggung pemilu, sikap saling siku-menyiku, olok-mengolok, ejek-mengejek, selang pendapat yang tak sehat, dan saling menjatuhkan pun masih banyak dipertontonkan oleh para pejabat di negeri ini.
Bukan hanya perilaku tercela seperti yang disebutkan diatas, bahkan ada banyak pejabat "cetakan" pemilu lima tahun lalu yang pada akhirnya menyeleweng dari konsep dasar pemilu itu sendiri. Banyak wakil rakyat yang tadinya dipercaya untuk menyambung suara rakyat malah akhirnya justru mereka ini berkhianat pada rakyat.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita semua, ketika terjadi gelombang aksi dan protes masyarakat saat pemerintah berniat serta menyatakan sikap untuk menaikkan harga BBM?. Namun pada saat itu apa yang terjadi?, dengan santainya, hampir sebagian besar dari para wakil rakyat yang terhormat kita saat itu hanya duduk diam sambil mengiyakan niat pemerintah itu. Dan hasilnya apa?, rakyat pun kini menjadi korban atas ulah "tak bermoral" dari mereka-mereka ini.
Lalu dengan sikap seperti halnya diats, apakah masih pantas mereka disebut sebagai wakil rakyat?. Sebagai penyambung lidah atas kepentingan dan keprihatinan rakyat yang mereka wakili?. Sungguh miris rasanya jika kita dituntut untuk kembali mengingat masa-masa itu. Padahal kalau kita pikir, saat kampanye dahulu, hampir semua anggota legislatif yang sekarang sudah menduduki kursi empuknya masing-masing secara terang-terangan, juga didepan konstituen mereka telah berjanji untuk setia dan akan terus memperjuangkan nasib baik rakyat yang akan mereka wakili.