Saya melihat kondisi Stasiun Pandeglang Kota lebih besar dari halte Pasirtangkil dan Cibuah. Di sini terdapat bangunan utama stasiun berupa tembok batu bata berukuran sekitar 5 x 10 meter yang tampak masih kokoh berdiri, namun nampak sudah lapuk dan tidak terurus. Atapnya hilang, sebagian dindingnya tertutup pepohonan dan semak belukar.
Meski begitu, bangunan ini masih menyisakan jejak sejarah sebagai simpul transportasi penting warga Pandeglang di masanya. Sementara itu, di depan bangunan stasiun tertancap bench mark atau BM 10 yang dipasang pada tahun 2025.
Oh, ya, ketiga halte yang kami sambangi ini hanyalah sebagian kecil dari rangkaian 17 halte pada jalur kereta legendaris Rangkasbitung - Labuan yaitu Stasiun Rangkasbitung, Warunggunung, Cibuah, Pasirtangkil, Pandeglang Kota, Cibiuk, Cimenyan, Kadukacang, Sekong, Cipeucang, Cikadueun, Saketi, Sodong, Kenanga, Menes, Babakanlor, Kalumpang, dan berakhir di Stasiun Labuan.
Sejarah Panjang dan Berliku Jalur Kereta Rangkasbitung - Pandeglang
Syahdan, di ujung barat Pulau Jawa, ada sebuah jalur kereta api yang menyimpan kisah panjang tentang perjalanan waktu. Jalur itu adalah Rangkasbitung - Labuan. Dibuka pada 18 Juni 1906, jalur ini pernah menjadi nadi transportasi masyarakat Banten Selatan, bahkan sempat menjadi primadona bagi para Noni Belanda yang ingin berlibur ke pedalaman.
Rel besi yang terbentang sejauh 56,2 kilometer ini dulunya menghubungkan Kabupaten Lebak dan Pandeglang hingga akhirnya jalur ini resmi ditutup pada tahun 1984. Sisa-sisa rel yang berkarat, stasiun-stasiun kecil yang ditinggalkan, dan cerita warga yang pernah menjadi penumpang, kini menjadi saksi bisu kejayaan yang pernah ada.
Lantas, mengapa jalur itu dihentikan? Jawabannya sederhana tetapi getir yakni lantaran jumlah penumpang menurun drastis.
Informasi dari berbagai sumber menceritakan, pada masa awal hingga 1950-an, jalur ini terbilang ramai, bahkan Stasiun Labuan menjadi yang tersibuk dengan catatan hingga 136 ribu penumpang per tahun dan mengangkut hampir 7 ribu ton barang. Akan tetapi, masuknya moda transportasi lain, khususnya kendaraan pribadi dan bus yang membuat kereta kehilangan pamornya. Operasional pun dianggap tidak lagi ekonomis. Maka, roda besi pun berhenti, dan Kabupaten Pandeglang perlahan kehilangan akses kereta api.
Hari ini, ketika moda transportasi kereta api semakin digemari kembali lantaran murah, nyaman, dan bebas macet, ironisnya Pandeglang justru tertinggal. Dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten, hanya Pandeglang yang tidak dilalui jalur kereta api. Kabupaten ini seakan menjadi “pulau tersendiri” di tengah jaringan transportasi kereta modern.