Begitu pun ketika menabuh bedug untuk menandakan waktu shalat 5 waktu, ada tata cara menabuhnya. Betapa sakralnya bedug sebagai kearifan lokal, sehingga setiap orang kala itu tidak bisa asal dalam menabuh bedug.
Kearifan lokal tersebut masih dipertahankan masyarakat – khususnya warga kampung – di Kabupaten Pandeglang hingga sekarang.
Seiring perkembangan zaman, sebagian fungsi bedug memang sudah bergeser sebagai media informasi utama dan penanda waktu shalat dalam kegiatan keagamaan. Walhasil, di wilayah perkotaan kini fungsi bedug sudah banyak digantikan alat pengeras suara atau speaker.
Ngadu Bedug sebagai Tradisi Budaya Pandeglang
Tradisi Ngadu Bedug mempunyai sejarah tersendiri sebagai sebuah seni pertunjukan di Pandeglang. Eksistensinya telah menjadi warisan budaya turun temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Secara historis, tradisi ini diawali dengan kebiasaan saat bulan Ramadan “Nganjor Bedug” yang artinya mengunjungi kampung lain sambil menabuh bedug sebagai bentuk ajang silatuhahim antar warga kampung.
Nganjor Bedug biasanya dimulai setelah shalat tarawih dan berlangsung hingga menjelang sahur. Kebiasaan tersebut merupakan cikal bakal digelarnya pertunjukan Ngadu Bedug yang kemudian menjadi tradisi unik masyarakat Pandeglang hingga sekarang.
Secara filosofis "Ngadu Bedug" sendiri dimaknai sebagai sebuah arena pertunjukan antar kampung yang saling – sahut - bersahutan melalui cara saling menabuh bedug yang diiringi dengan perpaduan lagu khas secara bergantian.
Suara bedug yang dihasilkan dari tabuhan bedug tersebut sangatlah unik, iramanya juga terdengar indah dengan lirik lagu yang dibawakan memiliki makna tersendiri sesuai situasi dan kondisi – keadaan – yang terjadi dikehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Berdasarkan literatur sejarah Ngadu Bedug sudah dilakukan di kampung-kampung Kabupaten Pandeglang sejak era tahun 1950-an. Lalu sempat terhenti di era 1960-an, lantaran tradisi ini kerap menimbulkan konflik atau gesekan warga antar kampung.
Baru di era tahun 1975-an pemerintah daerah mengubah format Ngadu Bedug yang biasanya dilaksanakan di kampung-kampung menjadi dipusatkan di Alun-alun Kota Pandeglang. Hal ini sebagai upaya menjadikan kesenian ini menjadi tradisi formal, sehingga pemerintah bisa mengontrol pelaksanaannya untuk menghindari perkelahian antar kampung.