Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penerapan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk impor dari Indonesia. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi perdagangan baru AS yang menargetkan negara-negara dengan surplus perdagangan tinggi terhadap AS, termasuk Indonesia yang mencatat surplus perdagangan sebesar USD 16,8 miliar pada 2024. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak negatif pada sektor ekspor Indonesia, terutama industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, merespons kebijakan tersebut dengan menegaskan komitmen untuk menempuh jalur diplomasi dan negosiasi. Airlangga menyatakan bahwa Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS di berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung. Pendekatan ini dipilih untuk menjaga hubungan dagang yang stabil dan menghindari eskalasi konflik perdagangan yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Artikel ini akan membahas latar belakang kebijakan tarif resiprokal AS, respons dan strategi pemerintah Indonesia, serta alasan mengapa negosiasi dipilih sebagai pendekatan utama dalam menghadapi tantangan ini. Selain itu, akan diulas pula dampak potensial terhadap sektor-sektor ekonomi Indonesia dan langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk memitigasi risiko tersebut.
Penerapan tarif resiprokal oleh AS terhadap Indonesia didasarkan pada anggapan bahwa Indonesia memberlakukan hambatan perdagangan yang tidak adil terhadap produk AS. Beberapa kebijakan Indonesia yang menjadi sorotan termasuk tarif impor tinggi terhadap produk tertentu seperti etanol sebesar 30%, kewajiban penggunaan produk lokal (TKDN), serta regulasi perizinan impor yang kompleks. Selain itu, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan perusahaan sumber daya alam untuk memindahkan pendapatan ekspor ke dalam negeri juga dianggap sebagai hambatan non-tarif oleh AS.
Dampak dari kebijakan tarif ini berpotensi signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang mengandalkan ekspor ke AS, menghadapi risiko penurunan permintaan akibat kenaikan harga produk di pasar AS. Data menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor tekstil senilai USD 4,5 miliar ke AS pada 2024. Kenaikan tarif impor dapat mengurangi daya saing produk Indonesia, berpotensi menyebabkan penurunan ekspor dan ancaman pemutusan hubungan kerja di sektor-sektor terkait.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menanggapi kebijakan tarif ini dengan menyatakan bahwa perhitungan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh AS sulit dipahami dan tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang jelas. Beliau menekankan bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat transaksional dan bertujuan untuk menutup defisit perdagangan AS tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi yang lebih luas. Sebagai langkah mitigasi, Kementerian Keuangan mengumumkan serangkaian kebijakan deregulasi di bidang pajak dan kepabeanan, termasuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor dari 2,5% menjadi 0,5%, serta penyesuaian tarif bea masuk untuk barang-barang tertentu. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengurangi beban tarif hingga 14% dan membantu pelaku usaha dalam menghadapi tantangan perdagangan global.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia memilih pendekatan negosiasi daripada retaliasi. Langkah ini dianggap lebih strategis untuk menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan dan menghindari eskalasi konflik perdagangan. Negosiasi juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk meninjau dan menyesuaikan kebijakan perdagangan domestik agar lebih sesuai dengan prinsip perdagangan internasional yang adil dan terbuka. Pendekatan ini sejalan dengan langkah yang diambil oleh negara-negara lain seperti Vietnam dan India, yang telah berhasil menegosiasikan ulang tarif dengan AS untuk menghindari dampak negatif pada sektor ekonomi mereka.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif impor terbaru AS, melainkan memilih untuk menempuh jalur diplomasi dan negosiasi. Langkah ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk menjaga hubungan perdagangan yang stabil dan saling menguntungkan dengan Amerika Serikat, serta menunjukkan kesiapan untuk menyesuaikan kebijakan domestik guna memenuhi standar perdagangan internasional.
Dengan pendekatan negosiasi yang konstruktif, Indonesia berharap dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak dan memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan global. Langkah-langkah strategis yang diambil, termasuk peninjauan kebijakan perdagangan domestik dan peningkatan komunikasi diplomatik, diharapkan dapat memitigasi dampak negatif dari kebijakan tarif resiprokal dan menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Ke depannya, Indonesia perlu terus memperkuat posisi tawar dalam negosiasi perdagangan internasional dengan meningkatkan daya saing produk ekspor, menyederhanakan regulasi perdagangan, dan memperluas diversifikasi pasar ekspor. Langkah-langkah ini akan membantu Indonesia dalam menghadapi tantangan perdagangan global dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI