Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Opa, Aku Rindu

16 November 2019   07:54 Diperbarui: 16 November 2019   07:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Erin Adelia

"Pak, sepatuku hilang di bawa oleh para serangga tadi malam. Maka pagi ini aktivitas sekolah, harus meliburkan diri sejenak."

"Alasan! Pakai saja sandalmu dan pergilah ke sekolah." 

Dengan pandangan matanya yang lebih menyeramkan dari suku mamutu, Bapakku memaksa diri untuk pergi ke sekolah. Padahal jika Bapak tau, bahwa alasan utamuku untuk tidak bersekolah, adalah karena banyaknya biaya yang harus dibayarkan tunai hari ini. 

Ya mungkin Bapak lupa atau sengaja melupakan hari di mana catatan rahasia sekolahan, harus ditepati janjinya. Atau mungkin Bapak teringat, namun saku celana rata oleh banyak kebutuhan hidup yang membuat Bapak semakin kewalahan.

Tapi baiklah, Bapak! Aku pergi ke sekolah namun langkah kaki ini hanya satu tujuan saja, yaitu membuat para guru bisa memaklumi keadaan kita. 


Tepat jam setengah tujuh tubuhku sudah berada di dalam kelas dengan pandangan ngilu. Bagaimana tidak? Anak-anak yang lain sudah memiliki seragam kebesaran untuk acara hari ini. Tepatnya adalah peringatan hari pahlawan. 

"Hai Jois! Namamu memang borjois tapi sayang kantongnya "loro ati" kadung tresno Budoyo miskin." 

Aku hanya diam saja, ketika semua olok-olokan, menjadi sesuatu yang menarik perhatian para senior, yang lalu lalang di kelasku.

"Jois Patikaya Malsey! Nama yang cantik dan di ambil dari sebuah nama pahlawan kesiangan. Hai tidakkah kau malu dengan mengotori nama itu?"

"Dalam tubuhku ada darah Patikaya. Namun bukan berarti aku memilih noda besar, senior. Sebab bapakku bilang tidak baik menciptakan noda di dalam kehidupan yang masih terlalu dini untuk bermain kotor-kotoran."

"Aku benci nama itu ada disebutkan pada wajah miskinmu itu!"

Aku biarkan mereka kembali mengolok-olok. Sebab bagiku hanya meladeni kecacatan dari anak-anak tuan seberang lor yang baru saja melihat sisi dunia yang hijaunya merabunkan pandangan mata-mata manusia. 

Aku hanya menyukai buku yang kubaca, judulnya "aku rindu opa" sebuah buku yang menceritakan bahwa tubuh Indonesiaku sudah tidak berjalan sesuai semestinya, keinginan para pahlawan seolah porak-poranda dan dikhianati oleh tunas-tunas yang semakin tak punya nurani. Bahkan permainan politik sudah bercampur baur dengan diskriminasi agama dan meracu keruh. Meracuni banyak pujangga pujangga untuk menjadi sinting.

Aku menangis membacanya. Namun orang-orang yang ada di kelasku berpikir, bahwa aku menangisi keadaanku yang sekarang.

"Jois, kepala sekolah memanggil namamu. Kau harus segera ke kantornya." Kata Guru BP kemudian.

Aku datang ke kantor dengan berjalan tegak seolah-olah prajurit TNI. Walau sepatuku butut dan sebagiannya lagi pada sisi bagian kiri penuh luka-luka, maklum saja sudah lebih dari lima tahun belum bisa kuganti dengan yang baru. Padahal sudah terlampau sempit untuk kupakai ke sekolah. Tapi biarkan sajalah, aku masih memiliki keyakinan bahwa Allah itu ada, nanti pasti akan ada keajaiban.

"Tok ...tok ...tok! Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam Bapak Kepala Sekolah." Kataku di balik pintu yang setengah terbuka.

"Masuk saja, Jois!"

Aku duduk di sofa yang begitu empuk. Jika saja tidak ada Bapak Kepala Sekolah, mungkin sofa ini sudah menjadi bahan risetku untuk sejenak, dengan merasakan menjadi orang kaya, yang memiliki banyak uang dan kenikmatan lainnya.

"Ini penghargaan atas kualitas otak Jois dalam sebuah tulisan terakhir yang direkomendasikan sekolahan untuk kompetisi Siswa Paling Idola." Kata Bapak Kepala Sekolah.

"Oh ok, Pak! Terimakasih."

Wajahku hanya memperlihatkan kedataran dari piala yang kuterima. Bukan karena tidak ingin berbagi tawa dan kesenangan. Tetapi rasa lapar mulai menyerang kedalam tubuh ini. Lapar karena Bapak hanya memberikan nasihat basi sehabis penghargaan itu aku terima.

"Pak, Bukannya aku tidak suka piala ini! Namun apakah Bapak ikhlas mengatakan bahwa Bapak bahagia karena aku yang memenangkannya?"

Bapak kepala sekolah hanya tersenyum kecut. Aku benci itu. Kemudian keluar ruangan dan pulang, karena sudah tidak lagi merasakan memiliki perasaan hormat kepadanya. Lagipula sekolahan sudah mengizinkan kami yang tidak ikut acara untuk pulang.

Jakarta, 16 November 2019.

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun