Mohon tunggu...
ade armando
ade armando Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ade Armando adalah dosen Universitas Indonesia dan Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penggusuran Bukit Duri Bukan Bentuk Kezaliman terhadap Orang Miskin

30 September 2016   07:50 Diperbarui: 30 September 2016   09:27 3504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai mahluk berhati, kita tentu merasa sangat bersedih menyaksikan adegan penggusuran Bukit Duri yang tersaji di layar televisi, di halaman media cetak, atau terpampang di berbagai media online dan media sosial.

Pertanyaannya: apakah itu bentuk kezaliman?

KIta tentu bisa beda pendapat soal kesahihan penggsuran tersebut. Tapi saya akan berargumen bahwa keputusan Ahok itu jelas tidak bisa dikategorikan sebagai langkah anti orang miskin atau menzalimi orang miskin.

Persoalan Bukit Duri ini tidak sederhana dan rumit.

Penggusuran di bantaran kali Ciliwung dilakukan untuk mengatasi soal banjir. Titik. Di daerah itu tidak akan dibangun perumahan baru, apartemen atau mall yang nantinya akan dinikmati kalangan atas. Penggusuran dilakukan demi kepentingan publik.

Warga sedang melakukan class action di Pengadilan Negeri dan keputusan akhir belum lagi dikeluarkan. Namun Ahok tidak mau menunggu, karena menunggu keputusan pengadilan bisa memakan waktu lama. Proses pengadilan – termasuk banding ke pengadilan tingkat lebih tinggi – bisa belangsung lebih dari satu tahun lagi. Padahal, penanganan banjir sedang mendesak. Kalau misalnya keputusan akhir baru keluar tahun 2018, upaya penanganan banjir akan terus tertunda sampai sesudah 2018 itu.

Ahok juga tidak sembarang menggusur. Sebagian besar mereka yang mendiami wilayah yang digusur itu adalah warga yang tidak sah menempati lahan tersebut. Mereka sudah mendiami wilayah tersebut selama mungkin berpuluh tahun karena dibiarkan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya. Rencana menata Bukit Duri sudah lama dirancang tapi tidak pernah ada gubernur yang cukup punya komitmen untuk melakukannya.

Namun, rakyat digusur bukannya tanpa jalan keluar. Mereka tidak memperoleh ganti rugi dalam bentuk uang, tapi memperoleh hak atas rumah susun di Rawa Bebek, yang sudah dilengkapi perlengkapan rumah tangga, termasuk pesawat televisi.

Rumah susun itu tidak mereka miliki. Mereka digratiskan tinggal di sana selama beberapa bulan, tapi setelah itu mereka harus membayar sewa sekitar Rp 350 ribu per bulan.   Bagi sebagian warga ini memberatkan, tapi memang tidak mungkin pemerintah membagi-bagi rumah gratis pada rakyat yang selama ini sebenarnya sudah menempati lahan secara illegal. Kalau dibagi gratis, ini akan terasa sebagai langkah yang tidak adil bagi rakyat secara keseluruhan.  

Sebagian warga yang tergusur mengeluh karena lokasinya jauh sehingga banyak yang kehilangan lokasi tempat mencari nafkah. Sebagian orangtua juga mengeluh karena lokasi sekolahnya anaknya menjadi jauh. Tapi persoalannya, pemerintah memang tidak berhasil memperoleh lahan untuk membangun rumah bagi mereka yang tergusur  di daerah yang tidak bejauhan dari Bukit Duri. Dalam hal ini, warga memang terpaksa harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Tentu tidak mudah, tapi ini terpaksa dilakukan demi kepentingan masyarakat lebih luas.

Dalam hal ini, kita perlu sadar, kesalahan penataan Jakarta selama ini  telah berdampak pada kekacauan pembangunan yang, pada gilirannya,  berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas. Jadi selama ini orang tahu bahwa penataan Jakarta itu kacau, tahu sebenarnya apa yang harus dilakukan, tapi tidak cukup berani atau tega atau tegas untuk melakukannya.

Ahok, menurut saya, adalah pemimpin yang berani/tega/tegas menjalankan amanat kepemimpinannya, kalaupun itu akan berdampak pada popularitasnya atau pada sebagian warga miskin yang terkena langsung keputusan-keputusannya.  

Bagi Ahok, kepentingan masyarakat luas harus lebih diperhatikan daripada nasib sebagian warga.

Contohnya sudah banyak.

Ahok membersihkan pedagang kakilima dari trotoar-trotoar jalan utama. Yang tersingkir jelas orang miskin: baik pedagang maupun preman-premannya. Tapi itu terpaksa dilakukan demi kepentingan publik lebih luas.

Ahok membongkar lokasi  perdagangan seks di Kalijodo. Yang tersingkir jelas orang miskin: pekerja seks komersial  dan mungkin segenap centeng, pedagang kecil, atau mereka yang terhidupi dari bisnis itu. Tapi itu terpaksa dilakukan demi kepentingan publik.

Ahok menertibkan transportasi umum yang sudah tua, tidak memenuhi standard, tidak layak jalan atau beroperasi semena-mena. Yang tersingkir jelas orang miskin: para supir dan kenek.  Tapi itu terpaksa dilakukan demi kepentingan publik

Ahok mengganti kebijakan ‘3 ini 1’ di jalan Sudirman dan Thamrin dengan kebijakan plat nomor ganjil-genap. Yang tersingkir jelas orang miskin: para joki. Tapi itu terpaksa dilakukan demi kepentingan publik

Dan ini juga yang terjadi dalam kebijakan penggusuran di berbagai daerah dalam konteks penangangan banjir. Banyak orang harus pindah, terusir.   Tapi itu terpaksa dilakukan demi kepentingan publik

Seperti saya katakan, menata Jakarta ini luar biasa sulit karena selama berpuluh tahun kekacauan ini dibiarkan terjadi.

Tapi lingkaran setan ini harus dihentikan. Dan Ahok bersedia melakukannya.

Memang pasti ada sebagian kalangan yang terkena dampaknya, yang menjadi ‘korban’. Tapi ini mungkin terpaksa terjadi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun