Mohon tunggu...
ade armando
ade armando Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ade Armando adalah dosen Universitas Indonesia dan Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa KPI Terus Menyalahkan Nielsen?

10 September 2015   17:42 Diperbarui: 10 September 2015   19:53 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPI mungkin akan berargumen bahwa Nielsen seharusnya bukan mengukur jumlah penonton sebuah program, tapi mengukur kualitas program. Pertanyaannya, buat apa? Nielsen adalah lembaga penelitian yang harus menjual hasil penelitiannya kepada pengguna jasa mereka. Siapa yang berkepentingan dengan data Nielsen? Stasiun televisi dan perusahaan periklanan.

Stasiun televisi harus bisa menjual programnya kepada pengiklan yang akan memasang iklan di program-program yang memang diketahui ditonton banyak orang. Tentu saja ada stasiun televisi yang cukup idealis dan menomorduakan jumlah penonton, misalnya NET dan Kompas TV. Tapi yang sepuluh besar televisi nasional pasti memprioritaskan jumlah penonton.

Jumlah dan ragam penonton adalah data penting bagi pengiklan. Mereka memiliki dana tertentu untuk beriklan dan mereka ingin agar bujet iklan itu bisa digunakan dengan cara seefektif dan seefisien mungkin. Karena itu mereka akan memasang iklan di acara yang mereka ketahui penontonnya banyak atau ragam penontonnya sesuai dengan segmen khalayak yang dituju. Dari mana mereka tahun jumlah penonton atau ragam penonton masing-masing program? Ya dari data Nielsen.

Dalam acara dengar pendapat di DPR itu, Ketua KPI Judhariksawan kabarnya juga mempertanyakan kualitas penelitian Nielsen. Menurut Judha, sampel penelitian Nielsen hanya 3.000 orang dan 55 persennya di Jakarta. Yang menggunakan people meter itu pun mayoritas pembantu. Karena itu, katanya, hasil rating Nielsen itu mencerminkan selera pembantu.

Ini juga mengherankan. Data KPI salah secara mendasar. KPI seharusnya tahu bahwa walau people meter itu ‘hanya’ ditempatkan di sekitar 2400 rumah; tapi jumlah respondennya mungkin mencapai 2400 X 4 (dengan asumsi setiap rumah melibatkan empat responden), atau sekitar 9600 orang. Kalau dari Jakarta persentase sampelnya tertinggi, itu memang sesuai dengan persentase penduduk Jakarta dibandingkan sembilan kota lainnya.

Judha juga terlalu berani menuduh bahwa yang direkam people meter hanyalah ‘pembantu’. Ini tentu tuduhan yang tidak logis. Data Nielsen selama ini misalnya secara konsisten menunjukkan jumlah penonton pria dewasa menurun tajam di jam-jam kerja dan menjadi dominan di jam-jam malam hari, terutama di saat ada pertandingan sepakbola. Bagi saya, ini indikator bahwa yang menggunakan people meter memang ‘majikan’ bukan ‘pembantu’.


Jadi, kritik Judha nampak tak berdasar. Tapi kalaupun benar bahwa metode penelitian Nielsen bisa diragukan, maka yang diperlukan bukanlah survei tandingan melainkan audit penelitian oleh lembaga independen. Ini pernah dilakukan di masa Quick Count Pemilu 2014. Semua lembaga penelitian yang mempublikasikan hasil Quick Count, dinilai oleh lembaga independen. Ternyata memang ada sejumlah lembaga yang melakukan penelitian abal-abal. Kalau sekarang KPI meragukan metode Nielsen, tentu bisa juga dilakukan audit.

Tapi pada akhirnya, saya duga ada dua alasan kanepa KPI mengkambinghitamkan Nielsen.

Pertama, saya duga ini dilakukan karena ada kepentingan KPI melakukan survei pemirsa tandingan. Sebagaimana diungkapkan Judha dalam pertemuan tersebut, untuk tahun 2016 sudah disepakati akan ada dana Rp 5 miliar untuk melakukan survei pembanding berbasis kualitatif untuk melawan rating Nielsen. Survei ini akan dilakukan di sembilan kota dengan bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Menurut Judha, diharapkan pada 2017, dananya akan meningkat menjadi Rp 10 miliar.

Buat saya, ini akan sia-sia. Beberapa lembaga pernah melakukan pemeringkatan program berkualitas berdasarkan pendapat penonton. Tapi ini sama sekali tak bermanfaat untuk mempengaruhi kualitas isi tayangan. Stasiun televisi tentu akan senang kalau programnya dinilai berkualitas. Tapi begitu mereka harus mencari iklan, yang tetap akan digunakan adalah rating.

Dengan demikian, ini hanya akan buang-buang uang dibandingkan dengan hasil yang akan dicapai. Bahkan kalau KPI memang mau serius mengetahui persepsi publik tentang kualitas masing-masing program, sebaiknya tumpangkan saja pertanyaan kualitas pada survei Nielsen. Dalam hal ini, responden tidak hanya menggunakan people meter tentang apa yang ia tonton, tapi memberi penilian terhadap setiap program yang ia tonton. Dana menumpangkan pertanyaan semacam ini pasti jauh lebih rendah dari Rp 5 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun