Seorang nenek berkepala tujuh menatap dinding-dinding rumahnya yang megah. Di sana ia merasakan kesepian luar biasa akibat ditinggal anak-anaknya di luar kota, bahkan di luar negeri, Â padahal nenek itu baru saja gembira saat tabuhan bedug idul fitri dikumandengkan bersamaan suara takbir. Sebuah pertanda bahwa anak-anaknya akan berkumpul di tanah kelahiran mereka dahulu.
Saat sedang senang, secara perlahan anak-anaknya kembali ke rumah masing-masing. Tak hanya itu, mereka juga kembali pada rutinitas masing-masing dimana hal itulah yang melenakan mereka dari sang ibu. Arus balik pasca lebaran menjadi momok bagi si  nenek yang sedang rindu akan kehadiran anak-anaknya.
Setiap kali ditinggal kembali anak-anaknya si nenek selalu bertanya-tanya:
"Apakah lebaran yang akan datang ia masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk kesekian kalinya bertemu dengan anak-anak dan cucu-cucunya? Jangan-jangan, ini adalah lebaran terakhir. Tahun esok tak bisa lagi merasakan nikmatnya berkumpul dengan keluarga sebab Tuhan telah memanggilnya ke alam baka."
Si nenek mengenang kembali saat anak-anaknya berkunjung, mulai dari yang pertama kali datang sampai terakhir. Lengkap dengan tingkah laku cucu-cucunya yang menggemaskan.
"Alangkah senangnya melihat mereka kembali. Andaikan saja mereka semua tinggal di sini, pasti aku akan sangat bahagia. Sayang, itu tak mungkin. Mereka mempunyai kehidupan masing-masing. Kehadiranku dalam hidup mereka, bisa jadi adalah gangguan. Keberadaanku dalam hidup mereka adalah hambatan."
Si nenek menyeka air mata yang jatuh. Ingin rasanya ia menjerit rindu saat mereka hadir dalam benaknya, namun hal ia urungkan. Ia tak ingin merepotkan anak-anaknya dengan segala tingkah laku yang mungkin dinilai berbeda, terutama menantunya. Biarlah ia sendiri yang menanggung lara sepi, sebab ia yakin bahwa kelak mereka akan berkumpul bersama di alam sana.