Mohon tunggu...
Adam Ramadhan
Adam Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. mempunyai ambisi yang kuat, keinginan yang kuat, mimpi yang tinggi, disiplin, dan kritis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wacana Pembentukan Pengadilan Niaga Syariah: Kebijakan Preventif atau Bentrokan Kewenangan?

12 Agustus 2025   08:28 Diperbarui: 12 Agustus 2025   13:54 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Istimewa (AI)

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim yang besar telah lama mendorong penguatan sistem ekonomi syariah nasional. Seiring pesatnya perkembangan industri keuangan syariah (mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, hingga fintech) bermunculan pula tuntutan akan sistem peradilan yang menjamin perlindungan serta kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi syariah. Salah satu gagasan yang mengemuka adalah pembentukan Pengadilan Niaga Syariah di lingkungan peradilan agama sebagai forum khusus penyelesaian sengketa bisnis syariah. Namun, wacana ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kelak akan ada tumpang tindih kewenangan dengan lembaga peradilan yang sudah ada?

Hal tersebut perlu kita telusuri dari Latar Belakang dan Dasar Aturannya terhadap Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 memperluas kewenangan Peradilan Agama, termasuk untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Perkara ekonomi syariah meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pembiayaan, dan berbagai kontrak bisnis berbasis syariah antara sesama muslim. Sementara itu, perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selama ini menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga terbentuk dengan tujuan menangani perkara-perkara bisnis atau niaga yang kompleks, rumit dan bernilai besar.

Akhir-akhir ini muncul kembali wacana pembentukan pengadilan niaga syariah, yang tadinya sempat di wacanakan pada sekitar 10 tahun ke belakang. Hal ini di kemukakan lagi karena adanya kebutuhan penyelesaian perkara bisnis berbasis syariah yang bukan hanya mengenai aspek perdata klasik (seperti hutang-piutang), melainkan kompleksitas industrial seperti kepailitan syariah, investasi syariah, dan restrukturisasi perusahaan berbasis syariah, yang memang membutuhkan Hakim yang kompatibel di bidangnya, yaitu Hakim Peradilan Agama. Selain itu, banyak pihak merasa bahwa peradilan umum belum sepenuhnya menguasai aspek substansi syariah dalam memutus perkara ekonomi berbasis syariah. Dahulu sempat wacananya, tetap berada di peradilan umum, namun hal ini menuai banyak pro kontra bagi para akademisi, praktisi, maupun mahasiswa. Salah satunya mahasiswa UIN Makassar yang mengatakan "pembentukan Pengadilan Niaga Syariah tidak worth it sih, karena jadi terlalu banyak peradilan, akan tetapi poin plus nya itu menjadi menambah lapangan kerja di Indonesia." Ujar Wahdania dari Fakultas Syariah & Hukum. Memang setiap kebijakan yang dibuat akan selalu menimbulkan sisi positif dan negatifnya.

Urgensi dan Rasionalisasi Pembentukan

1. Kesenjangan Substansi

Pengadilan niaga di bawah peradilan umum sering kali tidak memasukkan prinsip-prinsip ekonomi syariah sebagai dasar pertimbangan dalam memutus sengketa yang berasal dari akad syariah. Putusan yang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan maqashid syariah atau prinsip-prinsip keadilan Islam. Kesenjangan pemahaman ini menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpastian bagi pelaku usaha syariah.

2. Penguatan Kompetensi Peradilan Agama

Peradilan agama dianggap lebih siap dari segi pemahaman dan sumber daya manusia terhadap prinsip syariah. Dengan adanya hakim yang disertifikasi keilmuan ekonomi syariah, maka proses penyelesaian perkara ekonomi syariah akan lebih baik (melayani kebutuhan umat dan menambah kepercayaan terhadap sistem ekonomi syariah nasional).

3. Amanat Legislasi

Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 sudah membuka peluang adanya pembentukan pengadilan khusus di lingkungan peradilan agama, yaitu dalam Pasal 3A ayat (1). Hal ini. mengikuti konsep "one roof system" lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Hal ini juga di sampaikan oleh Najwa Annida, seorang mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum, bahwa "menurut saya, bisa aja sih di bentuk (Pengadilan Niaga Syariah) dan dibawah naungan peradilan agama, karena kan itu nanti kompetensinya hakim agama ya. Serta, dalam UU Peradilan Agama yang baru juga mengatur terkait membuka Pengadilan Niaga Syariah di lingkup Peradilan Agama." ujar Mahasiswa UIN Jakarta.

Bahaya Potensi Tumpang Tindih Kewenangan

1. Dualisme Pengadilan

Isu utama yang muncul pasca wacana ini adalah tumpang tindih kewenangan (overlapping jurisdiction). Saat ini, perkara kepailitan dan PKPU atas entitas syariah tetap diajukan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, walaupun secara substansi adalah perkara syariah. Di sisi lain, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah adalah wilayah peradilan agama. Namun, penegakan putusan pailit masih menginduk kepada pengadilan niaga, mengikuti sistem peradilan umum.

2. Dualisme Regulasi

Regulasi yang tersedia sendiri menimbulkan "contradiction in terminis". Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menyebut putusan taflis (pailit syariah) di bawah ranah peradilan agama, sementara UU Kepailitan mengatur sebaliknya. Dalam praktiknya, sering terjadi "forum shopping", di mana pihak-pihak memilih jalur pengadilan mana yang lebih menguntungkan.

3. Ketidakpastian Hukum

Tumpang tindih ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku industri syariah. Tidak ada jaminan konsistensi putusan, bahkan disparitas keputusan antara pengadilan agama dan pengadilan niaga sangat rentan terjadi. Pada akhirnya, korban terbesar adalah para pelaku usaha, investor, dan nasabah di industri syariah.

Adi Prihasmoro melakukan penelitian ini saat menempuh program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah dengan judul “Dualisme Kewenangan Peradilan dalam Kebangkrutan Ekonomi Syariah (Urgensi Penetapan Status al-Taflis sebagai Kewenangan Pengadilan Agama)” adalah judul disertasi penelitian.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan agama seharusnya memiliki kewenangan atas semua masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, termasuk kasus kebangkrutan Islam (al-Taflis).  Namun, dalam praktiknya, Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan yang berbeda.  Agar kasus kebangkrutan ekonomi syariah dapat dibawa ke Pengadilan Agama untuk diselesaikan, Undang - Undang nya harus diharmonisasikan.

Hal yang berkaitan dengan konteks tersebut juga di sampaikan oleh seorang mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum, yang memberikan opininya bahwa "Pengadilan Niaga Syariah seharusnya di bawah naungan Peradilan Agama, karena memang ranahnya Hakim di peradilan Agama. Hal ini sama dengan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. jadi nanti Pengadilan Niaga Syariah berada di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. tidak perlu membuka institusi sendiri, karena takut nantinya akan banyak tumpang tindih kewenangan. serta, nantinya perlu adanya revisi UU Peradilan Agama, untuk mengatur kewenangan Pengadilan Niaga Syariah tersebut." ujar Tasya, Mahasiswa UIN Surakarta.

Solusi dan Rekomendasi

1. Sinkronisasi Peraturan

Diperlukan harmonisasi undang-undang dan peraturan pelaksana antara UU Peradilan Agama, UU Kepailitan, serta aturan Mahkamah Agung terkait penyelesaian perkara ekonomi syariah. Penegasan klausul mana yang menjadi kewenangan mutlak pengadilan syariah perlu dimuat secara eksplisit di dalam legislasi nasional.

2. Konsolidasi Lembaga Peradilan

Bila pengadilan niaga syariah benar-benar dibentuk, idealnya berada di bawah lingkungan peradilan agama agar tidak terjadi dualisme forum. Hakim-hakim yang duduk adalah mereka yang memiliki kompetensi syariah dan teruji pengetahuannya dalam konsep ekonomi islam. Model ini mirip dengan pengadilan khusus anak, hubungan industrial, maupun korupsi yang sudah ada di Indonesia.

3. Sosialisasi dan Pelatihan

Perlu dilakukan pelatihan berkelanjutan kepada para hakim, advokat, dan aparat penegak hukum terkait ekonomi syariah secara intensif agar mampu menangani perkara-perkara niaga syariah secara profesional.

4. Penguatan Alternatif Dispute Resolution (ADR)

Selain pembentukan pengadilan, optimalisasi lembaga non-litigasi seperti Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional) tetap diperlukan sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis syariah secara efektif, efisien dan memenuhi rasa keadilan tanpa harus ke pengadilan.

Studi Kasus Praktis

Di beberapa kasus nyata, perkara permohonan PKPU atau kepailitan dari lembaga keuangan syariah atau perusahaan berbasis syariah tetap diajukan ke Pengadilan Niaga. Dalam sidang, jarang sekali prinsip-prinsip fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional) menjadi pertimbangan para hakim, sehingga putusan yang muncul sering kali melanggar prinsip pencapaian keadilan berbasis syariah. Serta, pihak yang berperkara jadi merasa rugi, karena akad yang dilaksanakan ialah syariah

Perspektif  Akademisi, Praktisi, dan Pegawai Pemerintah

Banyak akademisi hukum dan praktisi ekonomi syariah sepakat bahwa, untuk mewujudkan sistem peradilan niaga syariah yang adil dan tidak menimbulkan dualisme, pemerintah harus mempercepat harmonisasi hukum dan menambah kompetensi sumber daya manusia di lingkungan peradilan agama. Dengan demikian, tumpang tindih kewenangan dapat dihindari dan kepastian hukum terjamin bagi pelaku usaha syariah. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Bapak Hasan Bajuri, S.H.I., M.H. bahwa "saya setuju dengan adanya wacana tersebut (Pengadilan Niaga Syariah), dan menurut saya tidak mungkin adanya tumpang tindih kewenangan, karena pasti Undang-Undang akan mengaturnya mengenai kewenangan tersebut. Adanya pengadilan niaga syariah ini bisa membantu sengketa yang memang dengan akad syariah bisa di adili dengan hakim yang berkompeten. Nanti bisa saja di masukan dalam Pengadilan Agama Jakarta Pusat, seperti halnya Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat." ujar Panitera Muda Hukum, Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Lalu, di tambah dengan saran yang di berikan oleh Bapak Abdullah, selaku Panitera di Pengadilan Agama Jakarta Utara, yang menyatakan bahwa "hal tersebut bagus (wacana peradilan niaga syariah), namun jangan sampai tetap berada dalam yuridiksi peradilan umum, akan tetapi harus di peradilan agama. Mengingat dahulu juga sempat diwacanakan, akan tetapi di bawah peradilan umum." ujar Panitera Pengadilan Agama Jakarta Utara. Lalu, Pak Hasan menambahkan, yaitu "Tentu, saya setuju dengan wacana ini, sangat preventif. walaupun memang sebenarnya belum urgent banget, karena memang perkara niaga yang masuk ke peradilan agama itu bisa di hitung jari, dibanding dengan perkara cerai ataupun waris. Namun, saya betul-betul support dengan wacana tersebut." pungkasnya.

Kesimpulan

Pengadilan Niaga Syariah merupakan kebutuhan nyata di era pesatnya ekonomi syariah di Indonesia. Risiko tumpang tindih kewenangan sangat tinggi apabila tidak ada sinkronisasi aturan antara peradilan agama dan peradilan niaga di bawah peradilan umum. Penulis berpendapat harus ada penegasan pengadilan niaga syariah berada di lingkungan peradilan agama, harmonisasi regulasi, pelatihan aparatur, serta penguatan ADR. Jaminan kepastian hukum dan profesionalisme menjadi kunci, agar ekonomi syariah Indonesia makin kompetitif dan berkeadilan di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun