Mohon tunggu...
Adam Maulidi
Adam Maulidi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sebab Tiga Perkara Ini Seseorang Dimusuhi Allah

1 April 2019   23:50 Diperbarui: 2 April 2019   02:27 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum kita masuk pada pembahasan tiga sebab perkara seseorang dimusuhi oleh allah alangkah baiknya kita mengenal dulu apa itu ijarah (sewa menyewa).

Pengertian ijarah

Ijarah secara sedehana diartikan dengan transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang terjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarat al-'ain atau sewa-menyewa, seperti sewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat ataujasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah sepertiupah menjahit pakaian.

Ijarah baik dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk upah-mengupah itu merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan dengan ketentuan yang ditetapkan islam.

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialahijarah. al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang artinya menurut bahasa ialah al-'iwadh yang artinya menurut bahasa Indonesia ialah ganti atau upah.

Dalam artiluas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu benda, bukan menjual 'ain dari benda itu sendiri. Kelomok Hanafiyah mengartikan ijarah dengan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.

Dengan istilah lain dapat pula disebut bahwa ijarah adalah salah satu akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan penggantian. Pemilik barang yang dapat upah atas barangnya disebut dengan mu'jir dan nilai yang dikeluarkan sebagai imbalan dari manfaat-manfaat yang diperboleh disebut dengan ijr atau ujrah atau ijar, sewa yang mengandung arti upah. Maka apabila akad sewa-menyewa itu telah dipandang sah si penyewa berhak memiliki manfaat. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefenisikan.

ijarah antara lain adalah sebagai berikut :

  • Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan :                                               
  • بعوض معلوم ة مدمباحة شيء منافع ليك                                                  
  • Artinya: "Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan".
  • Ulama Mazhab Syafi'i mendefinisikan :   
  • بعوضمعلوم الاباحت للبدلو قابلة مباحت معلو مة مقصو دة منفعة على عقد
  •  Artinya: " Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa    dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu".
  • Ulama Malikiyah dan Hambaliyah mendefinisikan :
  •  بعوض معلوم ة مد مباحة شيء منافع تمليك                                            
  •  Artinya: "Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan imbalan".

Penyewa memiliki manfaat yang ada pada seorang budak, rumah dan hewan tunggangan sampai pada masa yang diisyaratkan, sehingga si penyewa barhak untuk mengambil manfaat yang disewanya dari pada pemilik  yang sebenarnya, dan pemilik yang sebenarnya mendapatkan imbalan yang diambilnya dari hewan tunggangan dan rumah itu. Ini sejenis dengan jual beli.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sewa-menyewa (ijarah) ialah suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu yang sudah disepakati. Dapat disimpulkan juga, bahwa sewa-menyewa rumah ialah suatu akad antara pemilik dengan penyewa yang mengandung tentang pemakaian rumah dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.

  • Dasar Hukum Sewa-menyewa (al-Ijarah)

Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah al-Q ur'an, as-Sunnah, dan Al-Ijma'.

Dasar hukum ijarah dalam al-Qur'an adalah :

اسكنو هن من حيث سكنتم من وجد كم ولا تضارو هن لتضيقواعليهن وان كن اولات حمل فانفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فاتو هن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف وان تعاسرتم فستر ضع له أخرى

Artinya: "Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada merekanafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, danmusyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jikakamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anakitu) untuknya."(Q.S. at-Thalaq ayat 6).

Dasar hukum ijarah dalam sabda Rasulullah adalah :

  انه صلى الله عليه وسلم احتجم واعطىالححجام اجرة (روا ااشيخان)                                                                                        

Artinya: Rasulullah SAW berbekam, lalu beliau membayar upahnya

Kepada orang yang membekamnya. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Adapun hukum kebolehannya berdasarkan ijma' adalah bahwa semua ulama sepakat membolehkannya, walaupun dari al-'Ash Hamin dan Ibnu 'Ulayya diriwayatkan melarangnya. Alasan Fuqaha' yang tidak membolehkan adanya perjanjian sewa-menyewa adalah bahwa dalam menukar barang harus terjadi penyerahan harga dengan imbalan penyerahan barang seperti halnya dalam barang yang nyata.

Sedangkan manfaat (kegunaan) dalam sewa-menyewa pada saat terjadi akad, maka oleh sebab itu adalah suatu tipuan dan sama dengan hanya menjual barang yang belum ada.

عَنْ ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قل قل الله تعالى شلاثة انا خصمهم يوم القيمة رجل اعطى بى ثم غدر ورجل باع حرا فاكل ثمنه ورجل استاجر اجرا فاستوفى منه ولم يعطه اجره (رواه البحارى)

Artinya: "Dari Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: "Allah SAW berfirman: Ada tiga golongan (orang) yang Aku  (Allah) musuhi (perangi) pada hari qiyamat, seorang yang bersumpah (memberi gaji) atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang". merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya) dan seorangyang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaanya namun tidak dibayar." (HR. Bukhari).

Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya bagi setiap diri untuk memperhatikan akhlak yang baik  saat berinteraksi dengan sesama. Sebab akhlak yang baik adalah salah satu tujuan utama diutusnya rasulullah Saw kepada umat manusia untuk menyempurnakannya.

Perkara yang pertama: Orang yang bersumpah atasnama Allah kemudian ia mengingkarinya. Dalam hal ini megaskan larangan agar tidak mengucapkan sumpah atas nama Allah jika suatu perkara tersebut hanyalah hal sepele serta agar kita harus bertanggung jawab atas sumpahnya.

Perkara yang kedua: Seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya. Kandunga hadits yang kedua ini barang siapa yang menjual hamba lalu ia merahasiakannya dan memakan hasil penjualannya, maka ia berhak mendapat ancaman yang sangat berat dan adzab yang pasti serta tidah beleh menjual orang merdeka bukan budak. (sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnahan-Nabawiyyah, atau Ensikopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/272-273).

Perkara yang ketiga: seseorang yang mempekerjakannya pekerja kemudian pekerja menyelesaikannya pekerjaannya namun tidak dibayar. Dalam salah satu fatwa As-Subki dijelaskan.

وارجلو الذي استاجر اجيرا مستوف عمله ولم يعطه اجره بمنزله من استعبد الحر وعطله عن كثير من نوافل العبادة فيشابه الذي باع ثمنه فلذلك حرا فاكل عظم ذنبه          

         

"Seseorang yang mempekerjakan orang lain, ia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Akan tetapi orang tersebut tidak memberikan upahnya. Hal ini sebagaimana orang yang memperbudak manusia merdeka. Dia menghalanginya oranglain untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah. Ini sama saja dengan orang yang menjual manusia merdeka, kemudian memakan hasilnya. Ini adalah dosa yang sangat besar" (Fatawa As-Subki, 2/377).

referensi: Amir Syariffuddin, Garis-Garis Besar Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet ke-2, h215-216, Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafiindo Persada, 2005), cet ke-1h. 114, Sayyid, Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 13, ter. Khahar Masyhur. (Jakarta: Kalam Mulia),
1991), cet. Ke-2. H. 5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun