Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Catatan Umrah 1] Kegembiraan yang Mengalahkan Keterbatasan

12 Februari 2018   23:04 Diperbarui: 12 Februari 2018   23:18 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu energi kegembiraan yang terpancar dari para jamaah umroh di depan Kabah (dok pribadi, 3/2/2108)

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmatnya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Surat Yunus: 57-58)

Umrah. Siapapun yang pernah melaksanakan atau mendengar kajian tentang ibadah ini tentu sudah paham bahwa ini adalah ibadah yang membutuhkan kesiapan fisik, harta, jiwa dan tentu saja keimananan. Umrah banyak dikenal dengan istilah Haji Kecil, karena dalam rangkaian pelaksanaannya sudah mencakup sebagian pelaksanaan Ibadah Haji.

Dalam Umrah, tak cukup hanya memiliki harta, fisik yang prima dan kesiapan mental, tapi yang terpenting adalah panggilan iman. Panggilan iman memenuhi panggilan Allah ke Baitullah dan berziarah makam dan Masjid Nabi Muhammad SAW. Panggilan iman yang menyambut panggilan Allah inilah kunci sukses bisa menikmati semua layanan sebagai Tamu Allah di tanah suci, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.

Bagi saya, semua kenikmatan yang dirasasakan dalam seluruh agenda umrah dan ziarah Nabi SAW adalah berasal dari kegembiraan. Kegembiraan inilah yang membuat semua kemustahilan, kesulitan, keletihan, kepayahan, kelemahan bahkan kesakitan bisa dikalahkan. Energi kegembiraan ini muncul karena kita bergembira karena Allah.

Saya menjalani agenda perjalanan umrah dan ziarah Nabi selama Sembilan hari (27 Januari -- 4 Februari 2018) di mulai dari Kota Madinah. Saat itu Kota Madinah menyediakan udara sangat sejuk hingga 13oC pada pagi hari dan 18 oC pada siang hari.

Kondisi ini adalah tantangan pertama khususnya bagi jamaah dari Indonesia yang hidup di iklim tropis dimana rentang suhu sepanjang tahun antara 24 -- 30 oC. Dinginnya cuaca membuat jamaah mulai harus beradaptasi dengan udara dingin. Jaket yang tebal, penutup kepala, sarung tangan dan kaos kaki tebal umumnya dipakai dengan lengkap oleh jamaah dari Indonesia, namun tidak untuk saya. Mengapa?

"Bapak dan Ibu, debu dan udara di Madinah ini adalah obat."

Demikian salah satu kata yang sangat saya ingat saat seorang ustadz yang menjadi Muthawwif (pemandu umrah dari travel) memotivasi kami saat kami baru menginjakkan kaki di Bandara Madinah.

Saya pegang dan amalkan petuah ustadz tersebut. Saya tidak memakai masker seperti kebanyakan orang Indonesia di Madinah. Saya juga tidak memakai jaket, sarung tangan, penutup telinga dan leher. Cukup dengan memakai jubah untuk shalat, saya merasakan udara di Madinah sangat nyaman.

Saya bebas menghirup segarnya udara Kota Nabi ini. Keyakinan saya bahwa udara di Kota Madinah adalah obat, bukan membuat sakit, terbukti. Selama di Madinah saya tidak merasakan flu, pusing dan demam. Bahkan saya bisa berkeringat dan kondisi badan saya sangat fit. Satu hal yang saya yakini, semua itu karena hati saya begitu bergembira. Ya, bergembira karena Allah. Dengan perasaan gembira, saya menikmati udara yang secara logika dingin, terasa hangat dan menyegarkan.

Sampai di Kota Makkah, tempat akan dilaksanakan prosesi umrah, hampir semua jamaah baru menyadari bahwa tumit kakinya pecah-pecah dan sebagian mengeluarkan darah. Saya lihat beberapa jamaah di kelompok travel kami berjalan dengan cara menjinjit karena tumitnya sudah bengkak dan sebagian berdarah. Ini efek dari aktivitas berjalan kaki yang cukup panjang selama di Madinah.

Saat di Madinah, Kota Mulia tempat dimakamkannya Nabi Muhammad SAW, jarak dari tempat menginap ke dalam masjid sekitar 300 m ke shaf bagian depan. Belum lagi kalau jamaah laki-laki mau menuju Raudah dan Makam Nabi, jaraknya bisa 2 Km. Bila sehari shalat berjamaah lima kali dan 2 kali ziarah ke Makam Nabi, setidaknya selama tiga hari di Madinah kita berjalan untuk ibadah saja sejauh 17 km. Wow lebih panjang dari jarak lomba lari 10 K.

Aktifitas berjalan kaki yang cukup panjang dan berulang-ulang ini secara normal membutuhkan kekuatan fisik khususnya kaki. Sebagian besar jamaah saya lihat tetap merasakan kenikmatan berjalan kaki meskipun jarak satu tempat ke tempat lain tidaklah dekat.

Di Kota Madinah, ujian jarak dan kuatnya kaki telah dilalui dengan baik. Semua ini karena semua merasa bergembira. Gembira karena bersama Allah. Gembira saat shalat berjamaah, tilawah Alquran, shalat malam, berdoa, berziarah ke Makam Nabi SAW dan menikmati Raudah, "Taman Surga".

Para jamaah menuju Masjidil Haram untuk menunaikan shalat berjamaah (dok. pribadi, 2/2/2018)
Para jamaah menuju Masjidil Haram untuk menunaikan shalat berjamaah (dok. pribadi, 2/2/2018)
Kondisi kurang tidur, kaki pecah, tangan dan kaki gatal dan perih serta jarak jalan kaki yang semakin jauh tak menyurutkan pada jamaah setibanya di Makkah.

Di Makkah, tempat ibadah umrah dilaksanakan, aktivitas berjalan kaki lebih jauh lagi akan ditempuh. Dari tempat menginap ke tempat shalat yang bisa melihat Kabah setidaknya berjarak 500 m. Untuk shalat saja bila kita bolak-balik setiap waktu shalat ke posisi pelataran Kabah dari tempat menginap, kita bisa berjalan sejauh 15 km selama tiga hari di Makkah. Bila kita Thawaf dan Sai, maka jarak tempuh jalan kaki kita bertambah lagi.

Jarak Safa ke Marwa adalah 350 m. Bila tujuh kali kita ke Safa dan Marwa, maka kita sudah berjalan sejauh 2.45 Km dalam satu pelaksanaan Sai. Thawaf bila satu kali putaran kita menempuh jarak 300 m, maka sudah 2.1 km kita berjalan mengelilingi Kabah. Jarak tempuh Thawaf dan Sai mencapai setidaknya 4,5 km.

Bila dua kali umrah maka kita sudah berjalan 9 km. Nah, bila tidak mencoba thawaf Sunnah apalagi thawaf di lantai 2 atau lantai 3 Masjidil Haram, maka sedikitnya kita sudah berjalan kaki sejauh 24 km di Makkah. Saya pernah mencoba thawaf di lantai 2 yang sekali putaran konon jaraknya 1.2 km. Alhamdulillah, saya dan para jamaah menikmati jalan kaki thawaf 8.4 km di lantai 2 Masjidil Haram dengan tetap bergembira.

Jamaah sedang thawaf di pelataran Kabah (dok. pribadi 1/2/2018)
Jamaah sedang thawaf di pelataran Kabah (dok. pribadi 1/2/2018)
Anyway, satu kata kunci apa yang saya rasakan saat dan usai Umrah. GEMBIRA. Semua kisah saya umrah adalah suasana gembira. Gembira dengan Allah. Gembira karena cinta Rasulullah.

Gembira karena begitu dekat waktu-waktu kita dengan Allah. Begitu dekat wajah Rasulullah terbayang dalam benak saya. Gembira saat shalat berjamaah. Gembira saat qiyamulllail. Gembira saat membaca Alquran. Gembira melihat Kabah. Gembira berdoa di Raudah, Multazam dan Hijir Ismail. Gembira saat Thawaf dan Sai. Tentunya juga sangat gembira saat menghabiskan Riyal, hehehe.

Jamaah orang Indonesia di jalur Sai menuju Bukit Safa (dok pribadi 2/2/2018)
Jamaah orang Indonesia di jalur Sai menuju Bukit Safa (dok pribadi 2/2/2018)
Itulah kesan yang saya rasakan selama umrah, Tak heran bila ada yang sudah umrah ingin kembali lagi umrah, kedua, ketiga, keempat dan kesekian kalinya.

Apalagi umrah saya kali pertama ini Umrah Gratis. Saya berumroh karena dapat hadiah dari bonus jualan online yang dilakoni oleh istri saya.

Tentu sebelum berangkat saja sudah sangat gembira. Saat umrah kegembiraan itu semakin berlipat ganda. Suatu saat kegembiraan akan saya nikmati lagi bila saya bisa memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci kembali, entah itu Umrah kedua atau bahkan Ibadah Haji. Aamiin.

Saya teringat pesan yang disampaikan oleh Khatib pada Shalat Jumat saya pertama di Masjidil Haram, 3 Februari 2018. Sang Khatib, Dr. Khalid bin Ali Al Ghamidi menyebutkan tentang salah satu hakikat kegembiraan sebagai berikut,

Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa ada kegembiraan yang tidak ada bandingannya dengan kegembiraan dunia yang dikejar oleh orang-orang yang terobsesi dengannya. Kegembiraan yang luar biasa, yang sarat dengan kemuliaan, kelezatan dan kenyamanan ketika ia bertengger di dalam hati, hadir di relung jiwa dan menyatu dengan ruh. Ia adalah kegembiraan dengan Allah. Suka cita dengan Tuhan yang Maha Mulia.

Gembira dengan Allah dan dengan apa saja yang datang dariNya. Gembira dengan Allah, dengan rasulNya saw dan dengan syari'at-Nya. Gembira dengan al-Qur'an, shalat, sedekah, dan amal-amal kebajikan yang diridhai Allah SWT. Inilah kegembiraan sesungguhnya, yang berbuah ketika merasa riang, senang dan suka cita.

Inilah kegembiraan abadi yang tak kan sirna. Kebahagiaan yang siapa belum merasakan nikmatnya, sungguh dia belum merasakan apapun dari ragam kenikmatan. (dari terjemahan teks Khutbah Jumat Masjidil Haram 16-05-1439 H yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia)

Salam hangat dari Medan

Achmad Siddik Thoha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun