Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Bisu

31 Mei 2016   13:50 Diperbarui: 31 Mei 2016   13:58 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisu. Sumber: hanseans.blogspot.com

“Ah, ngaco kamu. Sekolah kok bisu!” protes seorang sahabat.

Ngaco bagaimana. Saya serius. Sekolah bisu.”

“Kamu pasti mau meledek lagi dengan ungkapan sekolah bisu. Lha kamu tidak lihat apa! Guru-guru itu menyuruh siswanya diam di kelas yang kemriyek oleh suara-suara, malah kamu bilang bisu.”

“Fakta itu semakin menunjukkan sekolah memang sedang bisu.”

“Terserah kamu omong apa!” sahabat saya memutus obrolan malam hari itu.

***


Sengaja saya menggodanya. Padahal istilah “sekolah bisu” terinspirasi oleh Dr. Sylvia Tiwon. Dalam “Sekolah Memecah Budaya Bisu”, Guru Besar Universitas Berkelay itu, menulis: “Kebisuan di tengah-tengah kebisingan kata milik kepentingan di luar pengalaman realitas komunitas dan diri sendiri: inilah kebisuan hakiki. Dan kebisuan hakiki ini mematahkan hak dan daya untuk mendefinisikan dunia, mematahkan hak dan daya untuk membangun pengetahuan yang bukan sekedar informasi dalam arti fungsional atau instrumental.”

Praktek pendidikan kita terlalu bising mengumbar kata-kata: ujian nasional berbasis komputer, kurikulum 2013, uji kompetensi guru, sertifikasi guru, gerakan literasi sekolah. Atau cermati juga gegap gempita sekolah mempromosikan dirinya: visi misi yang kering dan basi, program Cambridge, program tahfidz Al-Quran, sekolah dengan fasilitas kelas atas, guru-guru berkualitas. Serta iming-iming melangit lainnya.

Kebisingan dan gegap gempita yang ditampilkan secara sembrono ke hadapan publik. Setali tiga uang. Masyarakat yang diperlakukan sebagai konsumen kehilangan daya kritis dan obyektifitas berpikirnya. Mereka mengamini dan masuk ke dalam perangkap cara berpikir bahwa apa yang ditawarkan sekolah menjadi kebutuhan pendidikan anaknya. Memilih sekolah bukan terutama berangkat dari kebutuhan anak. Tidak heran apabila sekolah menjadi seperti mobil: sarana untuk menyombongkan diri.

Sekolah bisu adalah sekolah yang mengubur filosofi pendidikan, menjadi sebentuk barang produksi yang dipaksakan agar dikonsumsi. Seperti sebuah doping, sekolah membius akal sehat lalu menampilkan di depan mata fatamorgana sukses masa depan. Padahal hal itu tidak lebih dari sebuah merk dan bungkus warna-warni namun isinya tidak jauh berbeda.

Di sebuah kota kabupaten dalam salah satu promosinya SMP swasta menampilkan Program Cambridge dan Tahfidz Al-Quran. Tidak salah dengan semua tampilan promo itu karena program kelas langit itu bertujuan untuk menarik konsumen. Kita yang menjumpai hal semacam itu hendaknya tidak tersihir oleh kemewahan dan citra elit yang hendak ditanamkan di otak kita. Apakah anak kita membutuhkan program seperti itu atau tidak tetaplah menjadi pertimbangan utama memilih sekolah. Ya, membutuhkan yang benar-benar dibutuhkan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun