Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Para Pengantin di Tengah Kekacauan Berpikir

28 Desember 2016   13:13 Diperbarui: 28 Desember 2016   18:38 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.lensaremaja.com/

Tentu saja tidak mempan dan nyaris akan selalu tidak mempan. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bukan “obat” dengan dosis yang tepat untuk menghentikan aksi terorisme. Pelaku teror atau pengantin aksi bom bunuh diri bahkan tidak mengakui negara—apalagi MUI sebagai salah satu institusi yang dibentuk negara. Tidak ada negara, tidak ada MUI. Mimpi jihad mereka adalah surga dan Indonesia adalah neraka yang dihuni oleh para pendosa.

Keyakinan para pengantin yang rela mati demi “surga” itu tidak nyambung bahkan tidak tersentuh oleh muatan fatwa MUI yang berbasis hukum formal agama. Mereka hidup di dasar keyakinan “ma’rifat” yang tidak bisa dijangkau oleh wajah permukaan “syariat”.

Persoalan sesungguhnya tidak terletak pada muatan syariat fatwa MUI, melainkan bagaimana “syariat” tata kelola dan sikap berpikir telah mereka gunakan secara sangat efektif dengan percepatan tertentu untuk mencapai dasar keyakinan “ma’rifat”. Kita mengenalnya sebagai cuci otak ideologi—upaya men-shortcut software berpikir. Hasilnya sungguh dahsyat. Para pengantin itu bahkan menyadari sudah berada di surga. Satu langkah lagi, jembatan shirathal muatqim harus dilalui. Bom pun meledak. Benarkah malaikat membuka pintu surga untuk mereka?

Tragedi Kemanusiaan

Politik identitas kerap dituding sebagai penyebab intoleransi. Franz Magnis Suseno menyebut gejala-gejala intoleran itu sebagai wujud dari politik identitas. Keragaman yang menjadi keniscayaan sunnatullah kini menjadi gumpalan-gumpalan, padatan-padatan formalisme yang dihidupi oleh ambisi materialisme.

Anasir makhluk bernama manusia direduksi, dihitung, diperlakukan sekadar gumpalan materi. Manusia menjadi batu—seperti simbolisasi cerita Malin Kundang yang memihak “surga” materi daripada kesadaran nilai cinta seorang ibu. Malin Kundang menjadi korban politik identias yang dipanglimai oleh materialisme.

Bukankah hal itu adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan? Manusia tampil dalam wujud wadagisme seraya menindih substansi kesadaran sebagai makhluk yang memiliki hati nurani. Wadagisme ini bersanding tipis dengan politik identitas. Tidak ada yang salah dengan politik identitas selama ia berada pada “maqam” yang tepat dan dikelola untuk kemaslahatan misi kemanusiaan. Namun, ambisi strukuralisme yang saling menindas dan menguasai manusia seperti tumbu ketemu tutup dengan naluri wadagisme. Bukan produk maslahat yang dihasilkan, melainkan tragedi demi tragedi yang mengurung manusia dalam duka dan nestapa.

Tragedi kemanusiaan selalu diawali oleh tragedi diri. Pada tulisan sebelumnya saya memprihatini tragedi diri yang dipicu oleh tiadanya bangunan berpikir yang tepat. Bahasa, kalimat, kata, diksi merupakan cermin sistem berpikir yang dewasa ini kehilangan akar denotasi. Berhamburan berita hoax, kebiasaan memasang tautan tanpa kritisisme berpikir, hingga status di media sosial yang gagah berani hendak "merebut" Facebook supaya bisa digunakan untuk berdakwah—bukan hanya menyisakan kelucuan. Semua itu ekspresi tragedi diri dalam takaran yang mengerikan.

Mengabdi pada Materi

Di tengah ladang subur kekacauan berpikir akan tumbuh para pengantin baru yang siap menjadi agen teror dalam ruang lingkup yang lebih luas, dalam, dan substansial. Memasang tautan berita hanya berbekal “judul” tulisan tanpa mencermati isi dan kebenaran fakta di tengah neraka kekacauan berpikir merupakan tindakan wajar. Kata “kafir” pun menjadi trend konotasi yang malang melintang di jagad online dan offline. Kekacauan berpikir itu sendiri merupakan benih aksi teror yang kerap tidak disadari.

Strukturalisme yang salah arah, wadagisme yang dieksploitasi, materialisme yang menjadi panglima, kapitalisme yang menjadi agama—membangun pengertian terorisme adalah aksi bom bunuh diri belaka. Terorisme adalah nyawa melayang, darah berceceran, gedung ambrol, korban berjatuhan. Teror adalah perilaku yang memiliki dampak kasat mata—sikap dan pendirian khas materialisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun