Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Robohnya Pesantren Kami

13 Oktober 2025   23:14 Diperbarui: 14 Oktober 2025   13:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang ambruk, sebanyak 79 korban dievakuasi dan satu orang dinyatakan meninggal dunia, Senin (29/9/2025).(Kompas.com/Izzatun Najibah)

Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo meninggalkan luka yang dalam. Bukan hanya karena korban yang jatuh begitu banyak, tetapi karena ia terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman---tempat para santri menimba ilmu dan bernaung di bawah nilai-nilai keagamaan.

Ketika dinding yang dibangun untuk mendidik roboh dan menimbun para santri yang sedang beribadah, kita tidak hanya menyaksikan kegagalan struktur beton, tetapi juga kegagalan struktur kesadaran.

Menghadapi peristiwa ini, kita bisa menengok sejenak salah satu ayat yang paling lembut sekaligus mendalam dalam Al-Qur'an: "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri; terasa berat baginya penderitaanmu, sangat menginginkan kebaikan bagimu, dan terhadap orang-orang beriman ia amat penyayang dan penuh rahmat." (At-Taubah:128).

Ayat ini menggambarkan wajah kepemimpinan profetik: pemimpin yang bukan hanya lahir dan berasal dari komunitasnya, tetapi juga hidup di dalam denyut derita sesama. 

Ia bukan penguasa yang duduk di menara gading, melainkan penanggung rasa sakit umatnya.

Dari ayat itu kita belajar bahwa kedekatan seorang pemimpin dengan umatnya bukan hanya soal asal-usul, tetapi soal tanggung jawab.

Banyak pesantren di Indonesia, termasuk Al-Khoziny, lahir dari inisiatif lokal, dibangun oleh tokoh dengan semangat "dari kita, untuk kita". Itu mulia. Namun kedekatan ini sering membuat kita lengah: kita percaya pada niat baik tanpa memastikan kemampuan teknis di baliknya.

Rasa hormat yang tinggi pada kiai atau pengasuh kadang membuat santri, pengurus pesantren, atau stakeholder segan mempertanyakan aspek keselamatan bangunan atau prosedur pembangunan. 

Padahal, legitimasi moral tidak akan menyelamatkan dinding yang rapuh. Kasih sayang yang tulus tetap membutuhkan perencanaan dan pengetahuan dalam membangun lingkungan pesantren yang aman.

Surat At-Taubah:128 juga menggambarkan empati yang mendalam---betapa Nabi merasa pedih melihat penderitaan umatnya. Dalam konteks tragedi ini, empati semacam itu seharusnya tidak muncul hanya setelah reruntuhan menelan korban. 

Ia mestinya hidup sebelum bencana, dalam bentuk tindakan pencegahan, audit keselamatan, dan keputusan hati-hati dalam membangun.

Empati sejati bekerja diam-diam sebelum air mata jatuh; ia hadir dalam bentuk kewaspadaan.

Sisi lain dari ayat itu adalah semangat menjaga: har 'alaikum, "sangat berhasrat untuk memelihara keselamatan kalian". 

Semangat inilah yang menuntun kita untuk tidak berhenti pada niat baik. Ia mendorong setiap pengelola pesantren,  panitia pembangunan, atau siapa pun yang membangun ruang publik untuk gigih memastikan bahwa apa pun yang dibangun untuk santri, benar-benar layak dan aman.

Jangan sampai semangat memperluas fasilitas, menambah kamar, atau membangun lantai baru mengabaikan kekuatan fondasi bangunan yang sudah ada. 

Keinginan memperbanyak manfaat bisa berubah menjadi petaka jika tidak disertai kewaspadaan.

Namun, Nabi bukan hanya tegas, beliau juga ra'f dan rahm---penuh kasih dan kelembutan. Ini pelajaran penting bagi kita dalam menyikapi tragedi. 

Di satu sisi, harus ada kasih sayang untuk para korban dan keluarga mereka. Tapi di sisi lain, kasih sayang tidak boleh menghapus akuntabilitas. 

Membantu membangun kembali pesantren itu mulia, tetapi harus diiringi penyelidikan yang jujur tentang sebab runtuhnya bangunan.

Kelembutan yang tidak disertai ketegasan hanya akan menumbuhkan budaya impunitas, sementara ketegasan tanpa kasih akan menambah luka sosial. Dua-duanya harus berjalan beriringan.

Tujuan dari semua ini jelas: membangun lingkungan pesantren  yang terlindungi, tercerahkan, dan bermartabat. 

Keselamatan fisik adalah bagian dari ibadah, karena menjaga nyawa manusia termasuk maqid syar'ah---tujuan pokok syariat. 

Maka, setiap tiang yang berdiri di pesantren seharusnya berdiri di atas fondasi amanah: niat baik yang disertai ilmu, tanggung jawab, dan cinta kepada kehidupan.

Runtuhnya bangunan Al-Khoziny seharusnya tidak membuat kita berhenti pada kesedihan. Ia adalah cermin yang memaksa kita menatap wajah kepemimpinan dan manajemen pendidikan keagamaan di negeri ini. 

Bahwa kita perlu membangun budaya baru: budaya keselamatan, transparansi, dan kesediaan untuk diaudit. 

Bahwa kasih sayang tidak cukup hanya diucapkan di mimbar, tetapi harus diwujudkan dalam setiap keputusan yang melindungi manusia.

Jika surat At-Taubah:128 hidup dalam cara kita memimpin, maka setiap keputusan yang menyangkut keselamatan publik akan menjadi ibadah yang sejati---bukan hanya meninggikan tembok, tetapi juga meninggikan nilai kemanusiaan.

Karena pada akhirnya, bangunan yang paling kuat bukanlah yang terbuat dari besi dan semen, melainkan yang disangga oleh hati yang peka, pikiran yang cermat, dan tanggung jawab profetik yang jernih.

Jombang, 13 Oktober 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun