Ia mestinya hidup sebelum bencana, dalam bentuk tindakan pencegahan, audit keselamatan, dan keputusan hati-hati dalam membangun.
Empati sejati bekerja diam-diam sebelum air mata jatuh; ia hadir dalam bentuk kewaspadaan.
Sisi lain dari ayat itu adalah semangat menjaga: har 'alaikum, "sangat berhasrat untuk memelihara keselamatan kalian".Â
Semangat inilah yang menuntun kita untuk tidak berhenti pada niat baik. Ia mendorong setiap pengelola pesantren, Â panitia pembangunan, atau siapa pun yang membangun ruang publik untuk gigih memastikan bahwa apa pun yang dibangun untuk santri, benar-benar layak dan aman.
Jangan sampai semangat memperluas fasilitas, menambah kamar, atau membangun lantai baru mengabaikan kekuatan fondasi bangunan yang sudah ada.Â
Keinginan memperbanyak manfaat bisa berubah menjadi petaka jika tidak disertai kewaspadaan.
Namun, Nabi bukan hanya tegas, beliau juga ra'f dan rahm---penuh kasih dan kelembutan. Ini pelajaran penting bagi kita dalam menyikapi tragedi.Â
Di satu sisi, harus ada kasih sayang untuk para korban dan keluarga mereka. Tapi di sisi lain, kasih sayang tidak boleh menghapus akuntabilitas.Â
Membantu membangun kembali pesantren itu mulia, tetapi harus diiringi penyelidikan yang jujur tentang sebab runtuhnya bangunan.
Kelembutan yang tidak disertai ketegasan hanya akan menumbuhkan budaya impunitas, sementara ketegasan tanpa kasih akan menambah luka sosial. Dua-duanya harus berjalan beriringan.
Tujuan dari semua ini jelas: membangun lingkungan pesantren  yang terlindungi, tercerahkan, dan bermartabat.Â