Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Robohnya Pesantren Kami

13 Oktober 2025   23:14 Diperbarui: 14 Oktober 2025   13:24 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo meninggalkan luka yang dalam. Bukan hanya karena korban yang jatuh begitu banyak, tetapi karena ia terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman---tempat para santri menimba ilmu dan bernaung di bawah nilai-nilai keagamaan.

Ketika dinding yang dibangun untuk mendidik roboh dan menimbun para santri yang sedang beribadah, kita tidak hanya menyaksikan kegagalan struktur beton, tetapi juga kegagalan struktur kesadaran.

Menghadapi peristiwa ini, kita bisa menengok sejenak salah satu ayat yang paling lembut sekaligus mendalam dalam Al-Qur'an: "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri; terasa berat baginya penderitaanmu, sangat menginginkan kebaikan bagimu, dan terhadap orang-orang beriman ia amat penyayang dan penuh rahmat." (At-Taubah:128).

Ayat ini menggambarkan wajah kepemimpinan profetik: pemimpin yang bukan hanya lahir dan berasal dari komunitasnya, tetapi juga hidup di dalam denyut derita sesama. 

Ia bukan penguasa yang duduk di menara gading, melainkan penanggung rasa sakit umatnya.

Dari ayat itu kita belajar bahwa kedekatan seorang pemimpin dengan umatnya bukan hanya soal asal-usul, tetapi soal tanggung jawab.

Banyak pesantren di Indonesia, termasuk Al-Khoziny, lahir dari inisiatif lokal, dibangun oleh tokoh dengan semangat "dari kita, untuk kita". Itu mulia. Namun kedekatan ini sering membuat kita lengah: kita percaya pada niat baik tanpa memastikan kemampuan teknis di baliknya.

Rasa hormat yang tinggi pada kiai atau pengasuh kadang membuat santri, pengurus pesantren, atau stakeholder segan mempertanyakan aspek keselamatan bangunan atau prosedur pembangunan. 

Padahal, legitimasi moral tidak akan menyelamatkan dinding yang rapuh. Kasih sayang yang tulus tetap membutuhkan perencanaan dan pengetahuan dalam membangun lingkungan pesantren yang aman.

Surat At-Taubah:128 juga menggambarkan empati yang mendalam---betapa Nabi merasa pedih melihat penderitaan umatnya. Dalam konteks tragedi ini, empati semacam itu seharusnya tidak muncul hanya setelah reruntuhan menelan korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun