Kepada Ramadan yang ku rindu,
Aku menulis surat ini dengan jejak rindu yang mengental sejak kepergianmu.Â
Rasanya baru kemarin aku menyambutmu, menghamparkan sajadah, menempelkan kening di tanah kerendahan, menyusun lantunan doa dalam malam yang sunyi, mengosongkan diri dari ambisi dunia demi mendekapmu erat-erat.
Ramadan, engkau datang seperti kekasih yang dinantikan---membawa cahaya yang menyapu gelap, menggugurkan debu-debu dunia yang menempel di hati.
Engkau hadir dengan kelembutan, mengajakku pulang ke kampung fitrah yang sejati, mengingatkan bahwa ada kehidupan yang lebih luas daripada sekadar memuaskan nafsu dan ambisi.
Aku menahan lapar, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwaku.
Aku menekan ego, bukan hanya untuk menutup mulut dari bicara yang sia-sia, tapi juga menyadari bahwa hidup bukan tentang kepentingan diri sendiri semata.
Aku akan selalu mengenangmu. Selalu terbayang fajar subuh yang menggetarkan, saat doa-doa menembus pintu langit bersama harapan yang terlalu kelu untuk diucapkan.
Tetapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu---sesuatu yang belum pernah kuungkapkan sebelumnya.Â
Ramadan, aku takut. Aku takut.