Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Nabok Nyilih Tangan" dan Narasi yang Terbelah

7 Oktober 2019   19:53 Diperbarui: 11 Oktober 2019   22:39 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hoaks atau berita palsu| Sumber: Milindri via Kompas.com

Teman saya ini entah termasuk buzzer apa tidak. Menjelang Pilpres ia getol membela salah satu calon presiden. Status Facebook-nya dipenuhi oleh tulisan, link berita, foto, dan meme yang mengarah jelas pada salah satu dukungan. Tidak jarang ia menggunakan bahasa Jawa Timuran yang bikin telinga gatal.

Apakah teman saya layak disalahkan? Yang pasti, saya tidak terburu-buru menyematkan label salah atau benar. Sering bertemu saat jagongan sambil ngopi, ia kerap menyampaikan alasan atas status yang dia unggah di media sosial.

Saya menyimak alur berpikirnya. Memang, kadang ia tampak emosional, apalagi terkait berita hoaks yang menyerang jagoannya. Ia bisa berjam-jam menumpahkan kejengkelannya atas ulah "kubu sebelah".

Kadang pula, ia terlihat begitu meyakinkan dan berpikir objektif atas jagoan yang didukungannya. Apalagi, polarisasi yang dimainkan adalah antara mempertahankan NKRI harga mati dan gerakan "khilafah".

Fanatisme
Ringkasnya, ada buzzer apa tidak, gerakan literasi digital adalah kebutuhan kita bersama. Kita terlanjur terbelah. Pro dan kontra menjadi keniscayaan di tengah pengguna media sosial yang makin gegabah menanggapi isu dan berita.

Lalu dengan gagah kita menyatakan, "Inilah era politik pascakebenaran!" Padahal, yang terjadi adalah rasionalitas nalar sehat yang sedang mandeg.

Sebagaimana yang dialami kawan saya, ia tiba pada sikap fanatisme. Pokoknya, apa yang dikerjakan sang jagoan dan pendukungnya, pasti baik dan benar. Sebaliknya, apa yang dikerjakan kubu seberang pasti buruk dan salah.

Terlepas menerima upah atau tidak atas setiap upaya pembelaan itu, ia menjadi bagian dari "kayu bakar" yang menyulutkan api pertentangan.

Ia sangat meyakini bahwa aktivis HTI adalah musuh besar Banser. Khilafah adalah penggerogot NKRI. Serta sejumlah polarisasi lainnya, tanpa memiliki kewaspadaan terhadap kepentingan politik yang sengaja menciptakan "musuh bersama".

Nabok Nyilih Tangan
Kita tengah mencemaskan kesewenang-wenangan yang dipanglimai oleh syahwat kekuasaan. Di era keterbukaan informasi, membungkam suara alternatif melalui cara konvensional seperti zaman Orde Baru adalah tindakan sembrono, jika tidak ingin disebut bunuh diri.

Maka, diperlukan "aktor" lain, yang dalam idiom kebudayaan Jawa dikenal nabok nyilih tangan. Menampar pinjam tangan orang lain. Dalam dunia maya, aktor itu kadang tampil sebagai anonymous. Beberapa tahun terakhir kita juga diserbu oleh para buzzer yang melakoni peran dan tugas yang sama.

Pemahaman nilai kebudayaan Jawa menyatakan, nabok nyilih tangan merupakan perbuatan tercela. Bukan tindakan ksatria, tidak jantan bahkan pengecut.

Peribahasa dalam Bahasa Indonesia yang serupa adalah lempar batu sembunyi tangan. Keduanya dilakukan sambil sembunyi. Media sosial menjadi ruang pertarungan nabok nyilih tangan.

Apa yang terjadi? Buzzer melawan buzzer, anonymous melawan anonymous, selebriti-mikro melawan selebriti-mikro, pendukung melawan pendukung, rakyat melawan rakyat. Mereka tabok-tabokan, saling menampar, saling melempar isu-isu picisan untuk menjatuhkan musuh.

Adapun Tuan yang dibela, keduanya malah ngopi dan makan malam bareng.

Spiral Kebisuan
Ironisnya, iklim semacam ini akan menumbuh suburkan narasi-narasi kekerasan, sektarian, rasialis.

Anti-Pancasila, anti-NKRI, anti-Bhineka Tunggal Ika, kafir, musyrik, penganut bid'ah, muslim radikal, Islam garis lurus adalah sejumlah narasi yang menjadi polutan bagi udara bumi Nusantara yang dikenal ramah dan damai.

Lalu di manakah suara alternatif? Mengingat polarisasi yang terjadi begitu tajam, mereka cenderung diam. Kalau pun mereka bersuara, suaranya tertindih oleh bising dua kubu yang bersitegang.

The Spiral of Silence atau "Spiral Kebisuan" adalah teori yang menjelaskan bahwa orang yang berada dalam kelompok yang pendapatnya lebih berpengaruh akan lebih berani menyampaikan pendapat di ruang publik. 

Sedangkan orang yang berpandangan pendapatnya kurang berpengaruh akan memilih diam. Mereka menghindari sanksi, ancaman bahkan persekusi.

Meski demikian, saya optimis, mereka yang selama ini tidak turut terpolarisasi akan semakin banyak jumlahnya. Juga semakin berani menampilkan suara-suara alternatif di ruang publik dan media sosial.

Alasannya sederhana. Naluri dasar manusia diciptakan tidak sebagai binatang yang betah berlama-lama hidup dalam konflik. Tidak ada manusia yang kerasan menjalani hidup yang cekak (pendek), cupet (sempit), dan cetek (dangkal).

Kecuali kita sepakat, keserakahan adalah perilaku kita bersama.[]

Jagalan 071019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun