Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah Ramadhan, Mari Jalani Puasa Sepanjang Usia

6 Juni 2019   05:18 Diperbarui: 6 Juni 2019   12:07 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: banjarmasin.tribunnews.com

Apakah puasa telah berakhir? Belum. Puasa belum berakhir. Ramadhan boleh berganti menjadi Syawal. Formalitas larangan tidak makan dan tidak minum setelah Shubuh hingga Maghrib, atau sejumlah aktivitas yang membatalkan puasa lainnya boleh "dilanggar" dan telah kembali ke situasi "normal".

Tapi puasa belum berakhir. Ramadhan bukan hanya salah satu dari sebelas bulan yang lain. Deklarasi kemenangan Idul Fitri segera menjadi absurd kalau Ramadhan dipahami sebagai durasi putaran waktu selama satu bulan.

Ramadhan adalah kesadaran imsak yang dengan susah payah kita tegakkan selama satu bulan penuh. Merayakan kemenangan tidak terutama ditentukan saat menjelang malam 1 Syawal, melainkan menjaga, mempertahankan dan mengupayakan kesadaran imsak tidak kembali ambruk selama sebelas bulan berikutnya.

Ibarat alur pernikahan, Ramadhan adalah prosesi akad nikah. Tanggal 1 Syawal adalah resepsi pernikahan. Sedangkan tegaknya pernikahan kita jaga sepanjang usia, selama-lamanya. Demikian pula kesadaran "pernikahan" Ramadhan pasti tidak lantas selesai usai shalat Idul Fitri. Selama hayat masih dikandung badan kita memanggul kandungan nilai kesadaran Ramadhan.

Kita petik satu saja butir cahaya diantara sejuta miliar butir hujan cahaya selama Ramadhan. Misalnya, selama satu bulan kita dipaksa agar mengerti, memahami, menghayati takdir kita. Bukankah telah terbit dari kesadaran ilmu kita bahwa menikmati hidangan buka puasa secara berlebihan adalah sikap melawan takdir? Mengapa? Perut memiliki batas maksimal menampung makanan dan minuman. Perut tidak sanggup melampaui kadar batas maksimal itu.

Default kesadaran perut adalah "puasa". Ia membatasi dirinya melalui laku puasa karena ia patuh pada hukum Tuhan.

Demikian pula dengan rambut, mata, telinga, darah, paru-paru--mereka semua setia dalam laku "puasa" di hadapan Tuhan demi menjalankan fungsi ketaatan kepada-Nya.

Dapat dibayangkan seandainya telinga tidak mau berpuasa dari keterbatasan mendengar suara dalam hati seorang istri. Ia bisa mendengar suara bisikan hati seorang suami yang sarat dengan imajinasi dan keinginan misalnya mau nikah lagi. Suara itu didengar cukup nyaring oleh telinga istri. "Perang Dunia" pasti terjadi. Pernikahan yang langgeng abadi hanyalah mimpi.

Sama-sama bernama rambut, ada yang tumbuh di kepala, alis, mata atau sudut bagian badan yang lain. Mereka setia menjalani takdir masing-masing---takdir atas ketentuan kadar yang ditetapkan Tuhan. Ada rambut yang diijinkan Tuhan terus memanjang. Ada rambut yang panjang maksimalnya setengah senti. Ada yang tumbuh lurus, ada yang melingkar-lingkar tapi pendek, dan sebagainya. Mereka setia pada mekanisme imsak yang dirancang Tuhan.

Lebih luas lagi, segenap unsur dan partikel di alam semesta juga menjalankan "puasa" dalam bentuk kesetiaan dan ketaatan terhadap fungsi yang ditetapkan Tuhan. Tanah setia menjadi tanah. Air setia menjadi air. Ayam tidak mendadak berperilaku seperti kambing. Kucing tidak lantas menggonggong.

Lalu Tuhan memasang potensi ahsanu taqwim dan asfala safilin pada diri setiap manusia. Pada konteks ini manusia berjuang untuk meraih ahsanu taqwim (analogi prosesnya bergerak naik, atau bahasa Jawanya modhek, lalu kita akrab menyebutnya sebagai mudik). Atau sebaliknya, manusia tersungkur ke dalam jurang asfala safilin ( bergerak turun atau bahasa Jawanya mlorot).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun