Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Ndeso" dan Ruang Gelap Tekstualisme

8 Juli 2017   01:13 Diperbarui: 9 Juli 2017   14:37 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://flipboard.com/

Ruang Gelap Tekstualisme

Tekstualisme kerap menjebak dan mengurung. Kontekstualisasi kata terhadap nuansa dan kontinuasi faktual terhalang oleh ambisi tekstualisme. Ibarat deret ukur yang tiba di angka 5, tekstualisme mantab berpijak di 5, seraya melupakan 4, 3, 2, 1; rabun menatap kemungkinan 6, 7, 8 dan seterusnya.

Tekstualisme adalah seorang pendakwah mendatangi sekelompok anak yang bermain kelereng. Pendakwah menceramahi anak-anak tentang pahala dan dosa, surga dan neraka, nikmat dan adzab. Anak-anak bengong. Tidak ada hujan tidak ada angin---ini orang peduli banget dengan "agama". Sengaja saya pasang tanda petik karena "agama" di-goa-gelap-kan oleh tekstualisme.

Atmosfir tekstualisme menyudutkan kita di ruangan yang serba paradoks. Kebaikan yang dikerjakan seseorang akan menyorong seseorang yang lain pada kutub kesalahan. Mengejar kekayaan ditempuh dengan cara memiskinkan. Menjadi bijaksana dengan cara menyudutkan. Berkuasa dengan cara melemahkan. Mengamalkan ajaran agama dengan cara melemparkan orang lain ke dasar neraka.

Pertengkaran, konflik dan polemik bahkan dimulai sejak dari kata. Kita tidak waspada mencermati akar makna sebuah kata. Yang kita tahu adalah misuh selalu berkonotasi jelek---tanpa mencermati konteks komunikasi. Yang ternyata kita cukup peka adalah siapa dia---kalau sudah kadung cinta, apapun yang disampaikan pasti benar. Kalau sudah kadung tidak suka, apapun yang diucapkan pasti salah.

Subjektivisme bersimbiosis mutualisme dengan tekstualisme. Panglimanya adalah ambisi kepentingan pribadi dan kelompok. Kata, kalimat, slogan, semboyan menjadi sebilah pisau yang kapan saja siap ditikamkan ke ulu hati musuh.

Dasar Ngutho!

Di tengah percepatan arus komunikasi dan teknologi, kata-kata sekadar susunan huruf yang berjubel-jubel di ruang hampa tanpa sandaran pilar kemanusiaan. Kata-kata dan kalimat meluncur cukup dari jari-jari, tidak usah melewati akal dan hati. Ajakan memviralkan sebuah konten tertentu seakan menyimpan sebuah pesan: "Cepat bagikan, tidak perlu berpikir panjang!"

Mereka yang enggan terlibat gerakan viralisasi adalah generasi masa lalu yang ndeso. Berhubung desa adalah sejarah masa silam, ia pantas ditinggalkan atau sesekali saja dijenguk ketika Hari Raya. Selebihnya, sorot mata mantab menatap ke masa depan, karena di sana ada gemerlap lampu-lampu kota, peradaban modern, dan mimpi kekayaan.

Padahal dalam bahasa Jawa Kuno, desa mengandung makna potensi surga: tempat hidup yang layak dan sejahtera. Merdesa bisa berarti men-surga. Othak athik gathuk-nya: ndeso adalah nyurgo: menciptakan dan merasakan suasana hidup surga. Indikatornya sederhana saja. Di desa orang yang menolong datang lebih cepat sebelum yang ditolong minta pertolongan. Kelengkapan perangkat kesadaran filosofis-universal dijumpai di desa.

Lawan ndeso adalah ngutho---situasi hidup yang berkebalikan dengan surga. Egoisme, berhalaisme, wadagisme, atau apapun saja yang menyumbang suhu panas orang menjalani hidup identik dengan situasi neraka. Intoleransi dan sejumlah dehumanisasi yang menistakan martabat manusia adalah pekerjaan utama penduduk neraka. Kapan-kapan olok-olok itu kita ganti saja, misalnya: "Dasar ngutho!" []

Jagalan 15.07.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun