Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mogok Makan, Puasa dan Mempuasai Kebenaran

28 Mei 2017   00:20 Diperbarui: 28 Mei 2017   10:26 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://skalanews.com/

Beberapa waktu lalu, belasan siswa di India, berusia 16 hingga 18 tahun melancarkan aksi mogok makan. Aksi itu dilancarkan untuk menentang pelecehan seksual. Mereka berhenti mogok makan kalau pejabat di Distrik Rewari mengeluarkan bukti surat perintah tertulis untuk yang menjamin keamanan mereka saat berangkat sekolah.

Para siswa menolak makan tapi mengonsumsi air. Aksi mogok makan itu didukung oleh para orangtua. Mereka menuntut jaminan nyata dari polisi dan pejabat setempat.

Adalah Marwan Barghout, seorang pemimpin Palestina yang dihukum penjara seumur hidup oleh Israel, memimpin aksi mogok makan. Aksi yang diawali pada 17 April itu diikuti oleh 1.187 tahanan Palestina. Para tahanan menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Menurut Barghout aksi ini berupaya untuk menghentikan penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan Palestina.

Aksi mogok makan bukan cara yang baru untuk mendapatkan perhatian pihak yang menindas mereka. Sejak zaman Mahatma Gandhi aksi mogok makan menjadi salah satu cara setelah upaya diplomatis mengalami kebuntuan.

Aksi damai mogok makan menjadi jalan sunyi—tanpa kata-kata, tanpa teriakan, tanpa tangan mengepal, tanpa gas air mata. Aksi yang secara terang-terangan menyodorkan diri sebagai tumbal bagi jaminan kemanusiaan yang lebih baik. Kalimat yang menggetarkan terucap dari bibir Gandhi. "Kesempatan yang diberikan Tuhan telah datang kepada saya, untuk menawarkan hidup saya sebagai korban terakhir yang tertindas." Gandhi siap menjadi tumbal bagi masa depan kemanusiaan.

Walaupun aksi mogok makan memliki beragam cara untuk disebut tidak makan, gagasan melaparkan diri menjadi cukup efektif sebagai metode perjuangan. Sekejam-kejamnya pihak yang berkuasa dan menindas mereka adalah manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dan hati nurani. Mogok makan menyiratkan sikap optimisme: masih ada manusia di muka bumi ini.

Namun, puasa Ramadhan bukan aksi mogok makan di hadapan Tuhan. Gagasan melaparkan diri menemukan irisan persinggungan bahwa di tengah nafsu yang tidak mengenal batas, manusia perlu menumbuhkan kesadaran batasan-batasan.

Aksi mogok makan dilancarkan kepada kekuatan penguasa yang adigang adigung adiguno: sikap penguasa yang melanggar atau bahkan merobohkan pagar kemanusiaan. Melaparkan diri ternyata tidak hanya berurusan dengan nafsu makan dan minum—dalam ranah, konteks, ruang lingkup yang lebih luas dan dalam, nafsu mengejawantah sebagai sikap mempertahankan kekuasaan politik, nafsu memaksakan kebenaran keluar dirinya, nafsu mengkafirkan pihak yang berseberangan, nafsu memakarkan sekelompok pengacau, nafsu menuhankan materialisme tanpa batas.

Maka, setiap manusia memerlukan metodologi puasa—sikap dan situasi yang menghadirkan kesadaran terhadap batas. Empan papan. Pas. Tengah-tengah. Bahkan kebenaran yang kita yakini perlu di-puasa-i sebagai bukan satu-satunya kebenaran yang harus diikuti oleh orang lain. Mengumbar kebenaran sebagai kebenaran secara telanjang akan menimbulkan sakit hati sosial yang merepotkan banyak orang.

Mempuasai kebenaran adalah meletakkan fakta dan nilai kebenaran sesuai maqamnya. Misalnya kita berjumpa dengan seorang kawan yang kakinya pincang. Fakta bahwa kaki kawan kita pincang adalah kebenaran, tidak usah diucapkan. “Pincang, kamu mau ngluyur kemana?” Tak perlu kita berdebat bahwa sapaan itu menunjukkan sikap jujur, menyatakan pincang sebagai pincang, demi mengamalkan hadist Nabi: berkatalah yang benar walaupun pahit rasanya.

Yang ramai terjadi sekarang adalah klaim kebenaran yang menyatakan “kaki pincang” tanpa menghitung bagaimana perasaan kawan kita. Lalu kawan kita membalas, “Ora usah melu-melu, Cuk!” Misuh dia. Berkata kasar dia. Dan kita sakit hati. Hubungan sosial bebrayan pun jadi chaos.

Puasa dan mogok makan adalah metodologi untuk mengenal batasan dan alat perjuangan yang dijalani tidak selama bulan Ramadhan, atau dilakukan di tengah tekanan kekuasaan yang menghina martabat kemanusiaan. Ibadah mahdloh puasa memang perlu dan wajib dijalankan. Namun, kesadaran akan batasan tidak hanya berlaku selama Ramadhan saja. Di luar bulan yang diyakini penuh berkah ini sadar akan batasan tetap perlu ditegakkan.

Mogok makan bukan hanya milik hati sunyi para demonstran. Mogok makan adalah alat perjuangan kita semua—juga mereka yang berkuasa—untuk benar-benar mogok tidak makan uang suap, tidak makan uang proyek, tidak makan kayu-kayu gelondongan, tidak makan aspal, tidak makan kandungan bumi sambil melupakan jatah rakyat beserta anak cucu di masa depan.

Kita terlanjur melakukan puasa agar bisa berhari raya—bukan menjalani puasa sebagai rangkaian metodologi pengendalian diri. Usai Ramdahan kita lantas berhari raya—merayakan kembali kebebasan yang dibelenggu selama satu bulan. Yang sedang berkuasa menjalankan strategi agar bisa berhari raya setiap saat. Rakyat melakukan hari raya dengan cara khas mereka: pesta dan belanja makanan meningkat selama bulan puasa. Hingga 1 Syawal tiba adalah puncak hari raya kita semua.

Tidak ada lagi jalan sunyi mogok makan. Tidak ada lagi ketangguhan pengendalian diri. Semua sibuk berhari raya. Dan Tuhan termangu menyaksikan itu semua. []

jagalan 27.05.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun