Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gagap Melukis Gagasan dan Serbuan Digitalisasi Audio Visual

14 Oktober 2016   07:57 Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:57 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://news.okezone.com/

Sesekali bertanyalah kepada siswa setingkat SMA tentang apa gagasan mereka yang paling sederhana, misalnya tentang pengertian sukses. Semenit kemudian akan kita jumpai situasi macet berpikir. Lisan mereka seperti terkunci untuk menuturkan pengertian atau bahkan gagasan yang sederhana sekalipun. Di kepala mereka berjubel sangat banyak ide, uneg-uneg, cuatan-cuatan abstrak yang berseliweran, namun tersumbat di tenggorokan.

Komunikasi verbal lisan—salah satu keterampilan berbahasa paling dasar nyaris tak dikuasai. Sekadar mengungkapkan gagasan secara lisan—mulai siswa tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah atas—tak jarang menjadi siksaan tersendiri bagi mereka. Sampai hari ini pendidikan yang mereka jalani di sekolah tidak mengajak siswa berpikir untuk melukis dan merumuskan gagasan diri sendiri. Guru di sekolah cukup rajin bertanya tentang gagasan orang lain yang tertuang dalam teori-teori di buku.

Para guru pun jarang sekali menjenguk apa isi hati dan pikiran siswa. Bahkan sekadar bertanya bagaimana perasaan siswa hari ini merupakan pertanyaan aneh yang subjektif di tengah objektivisme atas nama ilmu dan pengetahuan.

Siswa yang gagap melukis gagasan melalui ungkapan lisan dapat dipastikan gagap pula melukis gagasan melalui tulisan. Kemampuan dasar berfikir hilang. Struktur berpikir mereka berkembang secara acak dan sporadis. Kalimat yang ditulis pendek-pendek. Idenya melompat-lompat. Mencerminkan jiwa yang gelisah namun tidak kunjung menemukan pegangan.

Bisa dibayangkan betapa cukup tersiksa jiwa anak-anak itu. Mereka tidak memperoleh pendampingan dan bimbingan bagaimana merumuskan isi pikiran, mengartikulasi isi perasaan, mencermati desakan-desakan gagasan.

Di tengah kegalauan itu mereka lahir dalam serbuan arus digitalisasi audio visual. Akses terhadap tombol-tombol digital teramat mudah diklik. Foto selfie adalah salah satu bentuk ekspresi kemudahan itu sekaligus merefleksikan bahwa produk digital bisa tampil satu detik atau dua detik kemudian tanpa didahului oleh gagasan yang matang.

Ide, gagasan, proyeksi sikap berpikir yang mendasar apalagi substansial universal menjadi barang langka. Produk digital audio visual berbondong-bondong menyesaki media sosial dengan menampilkan dua tujuan sederhana: narsis atau mendapat uang. Tidak sepenuhnya salah. Namun, kita sedang mengalami dehumanisasi digital yang cukup dahsyat.

Sebuah tema tertentu yang secepat kilat menjadi viral di media sosial bagaikan api yang meluluhlantakkan bangunan nalar objektivitas. Pergerakan arus viral itu sedemikian cepat karena ia tak lebih semacam shortcut yang memangkas kejernihan dan kedalaman berfikir. Para penduduk dunia maya, terutama anak-anak muda, bergerak di permukaan paling elementer. Itu pun hanya sekilas-sekilas. Melompat-lompat. Cepat. Sporadis.

Sebuah 'status' di media sosial tiba-tiba menjadi 'bancakan' untuk dihabisi ramai-ramai. Komentar saling balas, kadang menggunakan ungkapan layaknya bukan manusia, kerap meracuni akal. Kata seorang kawan, “Wani selet wedi rahi.” Berani sama pantat takut berhadap secara langsung. Lempar batu lalu berlari sekecang-kencangnya.

Menurut Pak Toto Raharjo—saat sinau bareng bersama siswa SMK Global Sumobito Jombang jurusan multimedia yang dipandu oleh Mas Harianto di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta—berawal dari kelemahan melukis gagasan melalui ungkapan lisan (oral) adalah salah satu sebab menjamurnya tayangan audio visual tanpa nilai edukasi. Jangan bertanya lagi tentang pesan (universal) sebuah tayangan. Anak muda yang sejak semula gagap melukis gagasan secara lisan akan menanggung beban yang sangat berat ketika menyampaikan pesan melalui tayangan audia visual. Mengapa?

Foto: caknun.com
Foto: caknun.com
Kompleksitas gagasan secara lisan akan meningkat ketika dirumuskan secara tertulis. Demikian pula kompleksitas gagasan secara tertulis akan semakin berat disampaikan dalam bentuk tayangan audio visual. Tidak heran saat kita menyaksikan tayangan di televisi sebagian besar mencerminkan tayangan yang miskin gagasan dan pesan mendidik.

Simbol dan artikulasi secara lisan belum dikuasai benar, para tukang produksi tayangan diberi kemudahan oleh dunia digital tanpa diimbangi oleh kepiawaian merumuskan simbol-simbol audio visual secara mumpuni. Alhasil, kita dibajiiri tayangan-tayangan pragmatis yang berusia sangat singkat karena tidak memiliki sayap universal untuk terbang menjangkau perjalanan ruang dan waktu lebih luas dan lama.

Sinau bareng di Rumah Maiyah itu mengerucut dalam sikap bersama bahwa berpikir secara mendasar lalu menuangkannya menjadi tulisan adalah fardlu ain alias wajib kuadrat, terutama bagi anak-anak penghuni masa depan, sebelum mereka benar-benar dilibas oleh digitalisasi audio visual.

Memang itulah tantangan nyata sekolah di negeri ini. Bukan hanya tantangan bagi siswa SMK yang selama ini merasa cukup dibekali kemampuan teknis fisik. Bukan hanya tantangan bagi siswa SMA yang tenggelam dalam teori dan rumus-rumus mata pelajaran. Bukan hanya tantangan bagi siswa sekolah dasar yang sejak dini sudah dilatih habis-habisan berpikir secara linier. Semua itu adalah tantangan kita semua yang peduli terhadap semakin sedikitnya sisa ruang kemanusiaan di hati para siswa itu.

Mas Harianto menekankan, kemampuan teknis merupakan alat untuk menyampaikan ide, gagasan, pesan. Kemampuan tersebut bisa dipelajari secara otodidak, misalnya melalui berbagai tutorial. Namun, kemampuan merumuskan gagasan dan konsep sebuah produk (audio visual) harus dilatih sendiri, tidak mengandalkan sekolah, mengingat ilmu dan kearifan menjalani hidup tidak sepenuhnya dijumpai di bangku-bangku sekolah.  

Maka, sukses sebuah produk atau hasil karya terutama bukan ditentukan oleh seberapa banyak keuntungan materi yang berhasil diraup, melainkan terletak pada semakin meluas dan mendalam cinta kasih pengabdian kita pada sesama.

Diam-diam saya bergumam, “Ayo kawan, tulis gagasan di kepala walaupun cukup remeh dan sederhana. Bahkan Tuhan pun tidak malu menciptakan seekor semut atau binatang yang lebih kecil lagi." []

Jagalan, dinihari 141016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun